Melihat dunia di pagi hari rasanya sungguh bahagia. Â Langkah kakiku menuju warung tetangga sungguh terasa luar biasa. Â Ada kripik kentang yang meringankan pikiran untuk menyiapkan menu Jumat pagi. Beras sudah siap, tinggal cari abon ke pasar dan bikin kering tempe. Anganku tentang nasi kuning dalam kotak kardus dihias daun sledri membuatku tersenyum.Â
Mengayun langkah menuju rumah, nenek gendut menyandarkan sepeda, di boncengannya ada keranjang nasi rames dan kue-kue.  Aku berhenti sejenak melihat-lihat kue yang ada.  Kucari tahu isi tak ada,  aku ambil nasi rames sebungkus empat ribu perak. Uang lima ribu kembali seribu, dapat  resoles satu dari pada uang kembali.Â
Ada meniran seribuan,  putuayu seribuan,  martabak juga seribuan, jadilah empat ribu empat macam cemilan,  uang  limaribu daripada kembali seribu minta martabak lagi satu.Â
Sesuap demi sesuap nasi rames kunikmati. Â Nasi yang cukup banyak hanya muat separuh di perutku. Â Menggigit martabak sebagai tambahan lauk menambah nikmat sarapan pagi.Â
Gigitan pertama resoles,  pikiranku teringat sang pembuat. Harga seribu perak, di dalamnya ada banyak perjuangan.  Mengupas dan mengiris kentang,  wortel, membuat bumbu,  menggulung kulit yang sudah diisi,  melumuri tepung panir,  menggoreng.  Sungguh perjuangan yang panjang, butuh waktu dan tenaga. Mungkin semalaman kau tidak tidur ya, agar resolesmu pagi-pagi bisa keliling mencari pembeli.  Penjaja  menjualnya seribu perak,  berapa harga darimu pembuat? Untuk makanan yang enak, berapa untungmu?  Sungguh kasihan,  padahal dihargai duaribu pun aku mau.Â
Purwokerto, 10 Nopember 2021