Mohon tunggu...
Tino Watowuan
Tino Watowuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - MDW

Orang kampung; lahir, tinggal, dan betah di kampung.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pilkades Tak Ubahnya Memilih Pasangan Hidup

5 Oktober 2021   21:56 Diperbarui: 5 Oktober 2021   22:21 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Antaranews.com

Genderang kontestasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak tahun 2021 sudah ditabuh. Di Kabupaten Flores Timur, NTT ada 118 Desa yang menyelenggarakan hajatan demokrasi di wilayah administrasinya masing-masing. 

Tak lama lagi masyarakat pemilih ramai-ramai ke TPS. Tensinya sudah mulai terasa hangat. Figur-figur dari kalangan usia muda pun bermunculan. Ya, orang muda semestinya lebih banyak yang mengambil peran dari Desa. Sebab Desa adalah jantung Indonesia.

Memang orang muda diyakini memiliki idealisme yang tinggi, integritas yang kuat, arah pandang yang visioner, daya juang yang tangguh, serta memiliki koneksi dan relasi. Namun bukan berarti golongan tua luput dari hal tersebut. Usia bukan jadi ukuran. Tua atau muda bukan jaminan.

Kendatipun hanya enam tahun, Pilkades tak ubahnya memilih pasangan hidup. Sebagaimana memilih calon kepala keluarga yang bertanggung jawab. Pilihan yang berlandaskan cinta. Memilih calon pemimpin yang memiliki cinta yang murni dan tulus tanpa ada motivasi gelap.

Lantas, cinta yang murni dan tulus dari seorang pemimpin itu seperti apa? Tidak lain, ia yang rela berkorban demi kepentingan masyarakat banyak. Memiliki visi, misi, dan program kerja yang realistis lagi proporsional sesuai skala prioritas; kebutuhan penting dan genting. Baik pembangunan fisik, maupun non fisik.

Selain memiliki kemampuan menejerial yang baik, mulai dari tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan, sampai tahap evaluasi, menjadi seorang pemimpin ia mesti memiliki strategi yang mampuni dalam membangun Desa.

Sebagai misal, bila Pendapatan Asli Desa (PAD) yang minim, bahkan kosong melompong di tengah pandemik Covid-19, strategi dan solusi pemecahan masalah seperti apa yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin? Program dan anggaran bidang pemberdayaan dan ekonomi produktif menjadi titik bidik, bukan?

Lain lagi, apa alternatif solutif bila belanja operasional dan insentif RT, RW, Linmas dan Lembaga Kemasyarakatan lainnya yang masih jauh dari kata pantas untuk tidak dibilang kasihan, karena didikte dengan regulasi prioritas penggunaan Dana Desa (DD)? Apa mungkin belanja perjalanan dinas atau konsumsi rapat dapat ditaktisi? Relakah?

Bagaimana caranya bila kesejahteraan guru honorer SD, gedung sekolah,  atau gereja yang sudah reot, namun tidak dapat dipangkukan dalam APBDes karena tidak sinergis dengan nomenkelatur dan parameter?

Bila demikian, apakah terus menunggu pemerintah daerah dan pemerintah pusat? Dan masih banyak persoalan mendesak lain yang tidak sedikit ditangguhkan oleh karena sistem dan aturan yang jelimet, cenderung kaku dan berubah-ubah.

Bahwa seorang pemimpin yang memiliki cinta yang murni dan tulus dituntut untuk tidak sekadar menjalankan demokrasi yang prosedural semata, lalu mengabaikan demokrasi yang substantif. Demokrasi yang prosedural hanya akan melahirkan karakter dan arah pembangunan yang pasif.

Ia yang memiliki cinta yang murni dan tulus tentu selalu punya naluri yang tajam, juga nyali yang besar untuk membuat terobosan dalam upaya peningkatan pendapatan ekonomi desa. Ia yang tangkas dan berani mengambil siasat dan kebijakan demokratis tanpa tedeng aling-aling demi kepentingan masyarakatnya.

Masyarakat pemilih tentu berharap tidak salah menaruh hati. Tidak salah meletakan harapan. Agar terciptanya kehidupan desa yang harmonis. Satu menit menjadi penentu baik-buruknya tata kelola pemerintahan dan pembangunan desa selama enam tahun.

Selain dijadikan momentum evaluasi, Pilkades bukan soal memilih calon pemimpin yang terbaik. Melainkan agar yang tidak baik tidak terpilih menjadi pemimpin. Bukan hanya visi, misi, dan program kerja, rekam jejak pun menjadi rujukan.

Rasa-rasanya menjadi pemimpin di desa jauh lebih berat dari pada kerjanya bapak/ibu yang ada di gedung de-pe-er. Di sana tidak sedikit yang datang hanya ketawa-ketiwi, terima suap, tidur-tiduran, lalu pulang. Tiap bulan terima duit. Enak.

Seorang kepala desa tidurnya tidak akan pulas. Sebab, ia berada di tengah-tengah masyarakat. Selau mendengar kasak-kusuk dan keluhan. Mata dan telinganya nyaris aktif dua puluh empat jam. Ia selalu diawasi oleh masyarakatnya.

Segala macam persoalan di Desa diletakan di atas pundaknya. Hanya cinta yang murni dan tulus membuat semuanya menjadi ringan. Sebagai seorang pemimpin, siap tidak siap, harus siap. Siap memikul beban. Siap menjalankan amanah penuh cinta.

Dalam sebuah kontestasi, ada menang dan kalah. Namun Pilkades bukan Pil-KB, bukan pula ajang adu jotos. Menang siap merangkul yang tercecer, sedang yang kalah harus legowo. Namun, jika ada indikasi kecurangan, wajib digugat.

Rekonsiliasi pasca Pilkades menjadi perlu. Agar masyarakat tidak menjadi korban. Agar terciptanya kerukunan dalam kehidupan berdesa. Kritik dan saran adalah roh demokrasi, maka ruang partisipasi mesti dibuka. Agar gotong royong tetap tumbuh. Agar roda pembangunan dapat berjalan sesuai harapan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun