Belakangan ini, hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali menjadi sorotan. Data terakhir menunjukkan bahwa Amerika masih mengalami defisit perdagangan yang besar terhadap Tiongkok. Artinya, AS mengimpor barang dari Tiongkok jauh lebih banyak daripada yang diekspor ke sana. Meski terdengar seperti isu teknis ekonomi, realitas ini punya implikasi politik internasional yang cukup serius.
Isu ini penting bukan hanya untuk mengetahui siapa yang untung dan siapa yang rugi, tetapi juga untuk melihat bagaimana ekonomi dan politik saling tarik-menarik dalam sistem global.
Neraca perdagangan adalah selisih antara ekspor dan impor suatu negara. Jika ekspor lebih tinggi, negara mengalami surplus; jika impor lebih tinggi, negara defisit. Amerika Serikat telah mengalami defisit perdagangan kronis terhadap Tiongkok selama lebih dari dua dekade.
Defisit ini berarti uang dari pasar domestik AS mengalir ke perusahaan-perusahaan Tiongkok. Di sisi lain, banyak industri dalam negeri AS sulit bersaing karena produk dari Tiongkok lebih murah dan mudah diakses konsumen.
Perdagangan internasional sering kali dianggap sebagai aktivitas ekonomi yang saling menguntungkan. Namun, kenyataannya, perdagangan dapat menjadi alat kekuasaan antarnegara.
Dalam hubungan AS--Tiongkok, perdagangan dijadikan instrumen politik. AS menuduh Tiongkok melakukan praktik dagang tidak adil, seperti subsidi industri dan manipulasi mata uang. Sebaliknya, Tiongkok menganggap AS terlalu proteksionis dan menggunakan alasan keamanan nasional untuk menekan ekspor Tiongkok.
Situasi ini menunjukkan bahwa perdagangan tidak sepenuhnya ditentukan oleh pasar, tetapi juga oleh strategi politik dan kebijakan nasional.
GDP (Produk Domestik Bruto) mengukur nilai total barang dan jasa yang dihasilkan dalam negeri, sedangkan GNP (Produk Nasional Bruto) mencakup pendapatan warga negara dari luar negeri.
Ketika suatu negara mengalami defisit perdagangan besar, seperti AS, hal ini dapat memperlambat pertumbuhan GDP karena sebagian besar konsumsi domestik tidak mendorong produksi lokal. Uang yang dibelanjakan konsumen justru menghidupkan industri luar negeri, seperti Tiongkok.
Sebaliknya, negara seperti Tiongkok yang terus memperkuat ekspor dapat mendorong pertumbuhan GDP dan memperluas pengaruh ekonominya secara global.
Negara memiliki peran penting dalam mengatur arah ekonomi. Pemerintah AS, misalnya, merespons defisit ini dengan meluncurkan kebijakan seperti Inflation Reduction Act dan CHIPS Act untuk memperkuat industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada Tiongkok.
Tiongkok pun memperkuat strategi industri nasional melalui inisiatif seperti Made in China 2025 dan memperluas pengaruhnya lewat proyek Belt and Road Initiative (BRI). Tujuannya sama: menguasai rantai pasok global dan mengamankan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Defisit perdagangan antara AS dan Tiongkok bukan hanya masalah ekonomi, melainkan simbol persaingan kekuatan global. Neraca perdagangan, GDP, dan GNP tidak berdiri sendiri sebagai angka, melainkan merupakan hasil dari kebijakan, strategi, dan perebutan pengaruh.
Perdagangan internasional saat ini bukan hanya soal efisiensi, tapi juga soal siapa yang mengatur sistem ekonomi global dan untuk kepentingan siapa sistem itu bergerak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI