Peringatan Hari Batik bukan hanya ajang seremonial memakai kain batik tiap 2 Oktober, melainkan momentum introspeksi, apakah batik masih hidup sebagai simfoni identitas bangsa, ataukah kita membiarkannya tergerus oleh arus industrialisasi dan kehilangan makna historisnya.
Beberapa angka penting yang perlu menjadi perhatian:
1. Jumlah Perajin yang Menyusut
Menurut Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), pada tahun 2020 terdapat 151.565 perajin batik secara keseluruhan.Â
Namun, data terkini menunjukkan bahwa dari jumlah itu, hanya 37.914 perajin yang masih aktif berproduksi.Â
Hal ini berarti lebih dari 75% pembatik tradisional kehilangan aktivitas nyata, suatu indikator regenerasi yang sangat lemah.
2. Kontribusi Ekonomi dan Ekspor
Industri kreatif fesyen, yang meliputi batik, menyumbang 6,92% terhadap PDB industri pengolahan non-migas pada 2024.Â
Ekspor produk batik pada Januari--September 2024 tercatat USD 11,52 juta.Â
Namun, ekspor batik juga mengalami kontraksi: di tahun 2023 turun sekitar 30% dibanding 2022, dan kuartal II 2024 dibanding periode yang sama pada 2023 turun ~ 33,72%.Â
3. Regenerasi dan Usia Pembatik
Di Kabupaten Cirebon, misalnya, jumlah pembatik yang bekerja adalah sekitar 4.700an orang, dan mayoritas mereka berusia di atas 45 tahun.Â
Tak banyak generasi muda yang tertarik menjadi pembatik tradisional karena persepsi usaha yang "berpenghasilan kecil dan tak pasti".Â
4. Perbedaan Nilai Antara Batik Tulis dan Batik Cap
Waktu pengerjaan batik tulis bisa sangat lama---motif kompleks bisa memakan waktu antara beberapa bulan hingga hampir satu tahun.Â
Harga batik tulis jauh lebih tinggi dibanding batik cap. Misalnya, sebuah kain batik cap bisa berkisar Rp 150.000 -- Rp 600.000, sedangkan batik tulis dengan motif rumit bisa berada di angka Rp 500.000 hingga puluhan juta rupiah tergantung kualitas dan motif.Â
Antara Karya Peradaban dan Produksi Industri
Dengan data-data di atas, kita melihat adanya kontras yang tajam:
Batik sebagai Living Heritage dan Maha Karya Peradaban
Batik tulis adalah wadah warisan budaya yang tidak hanya menyimpan motif dan nilai estetika, tetapi juga filosofi, ritual, dan tradisi. Prosesnya panjang, tangan perajin menjadi medium kreatif yang menyiratkan keunikan yang tak bisa digandakan dengan cap atau printing.
Ancaman Industrialisasi: Batik Cap dan kehilangan craftmanship
Batik cap memenuhi kebutuhan pasar massal: harga lebih terjangkau, produksi cepat. Tetapi dalam prosesnya, banyak elemen ritual, filosofi motif, ketekunan tangan perajin, serta kekayaan variasi pola yang hilang atau tereduksi. Data regenerasi yang menyusut menunjukkan bahwa keahlian batik tulis berisiko punah jika tidak dilindungi.
Kesenjangan penghargaan dan ekonomi
Walau sektor batik memberikan kontribusi nyata pada ekonomi (melalui ekspor, penciptaan lapangan kerja, dan PDB), namun para pembatik tradisional seringkali tidak mendapat penghargaan ekonomi yang proporsional. Banyak yang beralih profesi karena pendapatan tak stabil. Ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal keadilan budaya.
Perlukah Kebijakan Proteksi dan Edukasi
Untuk menjaga batik sebagai identitas, maha karya, dan living heritage, diperlukan:
1. Pelindungan regulatif---khususnya untuk batik tulis: subsidi, fasilitasi bahan baku, pajak yang mendorong bukan menghalangi, serta sertifikasi motif dan keaslian.
2. Regenerasi tenaga kerja---program pelatihan bagi generasi muda, insentif agar menarik menjadi pembatik tulis.
3. Pendidikan publik agar masyarakat konsumen paham perbedaan batik tulis vs cap vs printing, memahami motif dan nilai sejarahnya, tidak sekadar membeli karena tren.
4. Dukungan riset dan inovasi---misalnya memperlengkapi pembatik dengan teknologi untuk motif tanpa kehilangan keaslian, riset motif, pengembangan pasaran ekspor agar batik tulis bisa bersaing secara global.
Gagasan Memasukkan Tekstil Etnik ke RUU Pertekstilan
Hari Batik harus jadi momen refleksi bukan sekadar ritual memakai kain. Data 2025 memperlihatkan sinyal positif sekaligus rentetan pekerjaan rumah: ekspor batik meningkat tajam, tetapi tantangan regenerasi, diferensiasi produk, dan perlindungan nilai budaya masih mendesak. Di bawah saya rangkum temuan penting 2025, lalu ajukan gagasan konkret untuk memasukkan perlindungan tekstil etnik (termasuk batik tulis) ke dalam RUU Pertekstilan.
Intisari data 2025 (fakta kunci)
Kenaikan ekspor 2025: Nilai ekspor produk batik pada Triwulan I--2025 tercatat USD 7,63 juta, naik ~76,2% dibanding periode sama 2024 --- indikasi permintaan luar negeri yang bangkit.Â
Skala industri & penyerapan: Direktori sentra BPS (referensi Kemenperin) mencatat ribuan IKM dan puluhan/ ratusan sentra batik; sektor batik menyerap tenaga kerja padat karya (data BPS/Kemenperin 2020--2024 sebagai dasar pemetaan klaster).Â
Regulasi terkait tekstil (2025): Pemerintah mengeluarkan aturan impor terbaru dan ada draf/rumusan RUU Pertekstilan yang sedang digodok---momentum hukum untuk mengintegrasikan klausul perlindungan warisan tekstil.Â
Perbedaan produksi & nilai: Batik tulis membutuhkan proses panjang dan memiliki nilai budaya tinggi; batik cap/printing bersifat industrial --- sama-sama penting tetapi berbeda kelas nilai dan dampak budaya/ekonomi. (analisis industri dan publikasi Kemenperin/media).Â
Opini singkat: mengapa RUU Pertekstilan harus memuat klausul tekstil etnik
Batik adalah living heritage dan sekaligus komoditas. RUU Pertekstilan tanpa pengakuan dan perlindungan tekstil etnik berisiko mendorong homogenisasi produksi (dominasi barang murah berskala besar) yang menggerus craftmanship batik tulis dan melemahkan posisi pembatik tradisional secara ekonomi. Mengintegrasikan perlindungan etnik ke dalam RUU bukan proteksionisme kosong---melainkan kebijakan industri yang bijak: melindungi rantai nilai unik, meningkatkan kualitas ekspor bernilai tambah, dan menjaga identitas budaya nasional.
Gagasan kebijakan & Rancangan klausul yang konkret untuk dimasukkan ke RUU Pertekstilan
1) Bab: Pengakuan dan Perlindungan Tekstil Etnik
Pasal A --- Definisi
Tekstil etnik adalah tekstil yang memiliki kaitan historis, kultural, atau geografis dengan kelompok masyarakat tertentu, dibedakan menjadi: (a) batik tulis, (b) batik cap tradisional, (c) tenun, (d) sulaman/kerajinan tekstil lainnya.
Mengapa: definisi eksplisit memudahkan kebijakan terarah dan perlindungan hukum terhadap motif/teknik tradisional.
2) Sertifikasi Keaslian & Labeling Wajib
Pasal B --- Sertifikasi dan Label Produk
Pemerintah menerbitkan Sertifikat Keaslian Tekstil Etnik (SKTE) yang mengidentifikasi: metode produksi (tulis/cap/print), asal daerah, pembuat/sentra, dan informasi motif.
Produk yang tidak lulus SKTE tidak boleh diberi klaim "tulis" atau klaim identitas etnik dalam label pemasaran domestik/ekspor.
Mengapa: memberi konsumen informasi, mencegah penipuan budaya, dan meningkatkan nilai jual batik tulis. (sejalan dengan kebutuhan membedakan antara craftmanship dan produk industri).Â
3) Insentif Fiskal & Bantuan Teknis untuk Pembatik Tulisan Tradisional
Pasal C --- Insentif dan Pembiayaan
Skema insentif pajak (PPh final/PPN dikurangi atau kredit pajak) bagi IKM bersertifikat SKTE yang mempertahankan metode tradisional.
Dana grant/regenerasi (matching fund pemerintah--donor) untuk program pelatihan, modernisasi alat kerja yang mempertahankan teknik tradisional, dan akses pasar digital.
Mengapa: menaikkan kesejahteraan pembatik dan menjadikan profesi lebih menarik bagi generasi muda. (Data menunjukkan kebutuhan regenerasi klaster).Â
4) Pengakuan Hak Atas Motif (IP Lokal & Geographical Indication)
Pasal D --- Perlindungan Kekayaan Intelektual
Fasilitasi pendaftaran Geographical Indication (GI) untuk motif atau produk batik yang khas suatu daerah.
Mekanisme kolektif untuk pengelolaan hak motif oleh komunitas perajin (koperasi/clan).
Mengapa: mencegah komoditisasi motif tanpa manfaat kembali ke komunitas asal; meningkatkan daya tawar ekspor. (praktik GI berhasil pada produk agro/kerajinan lain).
5) Kuota dan Preferensi Pengadaan Pemerintah
Pasal E --- Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pemerintah pusat/daerah wajib menyediakan kuota pembelian batik tulis/sentra IKM lokal untuk keperluan seragam acara kenegaraan dan ASN (mis. minimal 30% dalam alokasi batik di acara resmi adalah produk ber-SKTE).
Mengapa: pasar domestik stabil membantu keberlanjutan usaha pembatik.
6) Pendidikan, Riset, dan Dokumentasi Digital
Pasal F --- Riset & Pendidikan
Anggaran untuk dokumentasi motif, riset etnografi tekstil, dan kurikulum vokasi yang memasukkan keterampilan batik tulis.
Pendanaan lembaga riset untuk data berkala (indikator jumlah perajin, umur rata-rata perajin, output produksi, nilai ekspor).
Mengapa: data dan pendidikan adalah basis kebijakan yang efektif; riset juga meningkatkan inovasi desain untuk pasar global. (rujukan: keberadaan draf RUU & kebutuhan data untuk kebijakan).Â
Implementasi singkat & mekanisme pengawasan
1. Satuan Tugas Nasional (Task Force): bentukan lintas-kementerian (Kemenperin, Kemendag, Kemenparekraf, Kemenkeu, Kemendikbudristek) untuk rolling plan 3--5 tahun.
2. Sistem SKTE digital: dashboard nasional mencatat penerbitan SKTE, klaster, dan statistik tenaga kerja.
3. Audit reguler & indikator kinerja: mis. jumlah perajin tulis aktif, rasio pendapatan pembatik vs UMR, nilai ekspor batik tulis, persentase produk ber-SKTE di pasar domestik.
Penutup
Momentum RUU Pertekstilan adalah peluang langka: undang-undang yang komprehensif bisa menjadi payung untuk menjembatani dua tujuan sekaligus---menguatkan industri tekstil nasional dan melindungi warisan tekstil etnik agar tidak tercerabut dari akar budayanya. Data 2025 menunjukkan bahwa pasar dan permintaan masih terbuka (naiknya ekspor), namun tanpa kebijakan yang berpihak pada craftmanship, kita berisiko kehilangan maha karya peradaban itu sendiri.
Jika DPR dan pemerintah serius ingin RUU Pertekstilan menjadi instrumen kebangkitan industri yang berkeadilan budaya---masukkanlah pasal khusus tentang tekstil etnik, sertifikasi keaslian, insentif bagi pembatik tradisional, perlindungan motif melalui GI/IP kolektif, serta program regenerasi tenaga kerja. Dengan begitu, Hari Batik tidak hanya menjadi hari memakai kain---tetapi menjadi bukti negara menjaga simfoni identitas bangsa agar terus bergema.
Di Hari Batik ini, kita tidak hanya merayakan kain bermotif warna-warni. Kita merayakan suara leluhur, keindahan karya tangan, dan warisan intelektual budaya yang layak dijaga. Batik cap adalah bagian dari cerita, tetapi tidak boleh menggantikan batik tulis sebagai simbol peradaban.
Jika kita membiarkan jumlah pembatik tradisional menyusut hingga hanya puluhan ribu, jika ekspor terus merosot, dan jika generasi muda tidak merasakan bahwa membatik adalah pekerjaan yang terhormat dan menguntungkan, maka simfoni identitas bangsa ini mungkin terdengar pudar.
Marilah Hari Batik menjadi momentum bukan hanya untuk memakai batik, tetapi untuk menegaskan komitmen kita: melindungi batik tulis sebagai maha karya peradaban, memastikan craftmanshipnya hidup, dan industri batik berkembang namun tetap menghormati akar budayanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI