Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Serangan Bom Makassar dan Ancaman Konvergensi Aksi Terorisme

30 Maret 2021   21:19 Diperbarui: 31 Maret 2021   05:21 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota polisi berjada di ruas jalan menuju Gereja Katedral Makassar yang menjadi lokasi ledakan bom di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021). Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Pol Merdisyam mengatakan ledakan bom di gereja tersebut mengakibatkan satu korban tewas yang diduga pelaku bom bunuh diri serta melukai sembilan orang jemaat dan petugas gereja. ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/foc.(ANTARA FOTO/ARNAS PADDA)

Perayaan Minggu Palem 28 Maret 2021 di Katedral kota Makassar, dikejutkan oleh serangan bom bunuh diri kurang lebih jam 10:30 seusai misa pertama yang menewaskan sepasang penyerang dan melukai sedikitnya 17 orang. 

Satu unit sepeda motor tampak terbakar di gerbang Katedral Hati Kudus Yesus di Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam waktu singkat beredar video amatir seputar insiden tersebut dan beredar sampai jaringan "The Associated Press" yang memperlihatkan dua tubuh pelaku berserakan.

Suara ledakan terdengar sangat keras yang mengejutkan sebagian umat saat meninggalkan gereja dan menyebabkan banyak kaca pecah, seperti dituturkan pastor Wilhelmus Tulak, pasca merayakan Misa Minggu Palem.

Insiden pagi itu menyebar sangat cepat ke berbagai penjuru dunia, hingga Paus Fransiskus berdoa secara khusus bagi para korban kekerasan di depan Katedral pada akhir Misa Minggu Palem di Basilika Santo Petrus menandai  upacara Pekan Suci di Vatikan.  

Membaca Pesan di Balik Bom Makassar

Dalam hitungan jam pada hari Minggu itu juga, pihak kepolisian sudah berhasil mengidentifikasi kedua pelaku bom bunuh diri sebagai  bagian dari jaringan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Sulsel.

Pada bulan Desember 2020, pemimpin kelompok Aris Sumarsono alias Zulkarnaen ditangkap yang dilanjutkan dengan penangkapan sekitar 64 tersangka anggota jaringan teroris, termasuk 19 orang ditangkap di Perumahan Villa Mutiara Cluster Biru, Makassar.

Insiden Bom Makasar merupakan satu reaksi sporadis anggota JAD atas tindakan cepat Detasemen Khusus Anti Terror menangkap dan mempersempit ruang gerak jaringan teroris di Indonesia. Anggota JAD yang melakukan serangan Minggu itu mengharapkan jatuhnya banyak korban dari umat gereja Katolik tertua di Sulawesi Selatan. 

Gereja Katedral Makassar dibangun pada tahun 1898 oleh Pater Aselbergs,SJ yang dipindahkan dari Larantuka  menjadi pastor di Stasi Makassar sampai kemudian akhirnya berkembang menjadi Keuskupan Agung Makassar. Artinya bahwa tempat terjadinya serangan di Katedral Makassar merupakan tempat strategis yang bersejarah bagi umat Katolik di Sulawesi Selatan.

Momentum "amaliah" dua orang anggota JAD pagi itu, selain berkaitan dengan tempat penting dan bersejarah juga bertepatan dengan waktu perayaan Minggu Palem yang memiliki makna sangat penting bagi umat Katolik di seluruh dunia. Suatu momentum terjadi jika ada pertemuan antara kepentingan, peristiwa yang terjadi, serta ruang dan waktu yang tepat. 

Artinya, peristiwa insiden kemanusiaan yang dianggap sebagai pembalasan dendam oleh dua orang teroris atas penangkapan pimpinan dan kawan-kawan mereka sebelumnya, sangat mungkin sudah direncanakan dengan baik. 

Momentum akan terjadi setelah ada faktor pemicu yang bekerja mengubah energi teror dengan gabungan beberapa elemen di atas. Pesan dibalik ledakan bom di Makassar itu bisa jadi merupakan upaya membayar dendam jaringan teror, sekaligus sebagai bukti eksistensi jaringan bagi para pengikutnya. 

Membaca Pola Aksi Teror di Indonesia
Aksi teror oleh kelompok ekstrim memiliki pola yang identik dengan rencana agenda aksi maupun identitas kelompok teroris. Hal ini menjadi bagian dari analisa intelijen yang sangat penting untuk melakukan pencegahan melalui sistem peringatan dini terhadap aksi terorisme di Indonesia. 

Banyak serangan teror terjadi di Indonesia, pasca tragedi kemanusiaan serangan World Trade Center (WTC) di Manhattan, kota New York pada 11 September 2001, sebagai teror terburuk sepanjang sejarah. Serangan di WTC tersebut telah mengakibatkan 2,977 korban jiwa, lebih dari 25,000 terluka ringan sampai berat, serta rusaknya infrastruktur dan properti senilai lebih dari $10 Milyar. Ada 340 orang aparat keamanan dan anggota pemadam kebakaran yang menjadi korban dalam serangan teror tersebut dan 72 di antaranya meninggal dunia.  

Serangan 911 WTC ini telah merubah lanskap terorisme internasional yang sebelumnya sporadis kurang terorganisir menjadi semakin mengerucut dan lebih terorganisir. Kebijakan Perang Melawan Teror yang dideklarasikan oleh Amerika juga telah banyak mempengaruhi peta isu politik dan keamanan dunia.

Beberapa aksi penyerangan menggunakan bom di Indonesia, nampak semakin sering terjadi pasca insiden WTC. Teror bom tersebut terjadi pada tahun 2002, 2003, 2004, 2005, 2009, 2010, 2011, 2013, 2016, 2018, 2019, dan 2021. 

Serangan bom Bali 1 terjadi tepat 1 tahun, 1 bulan dan 1 hari setelah Serangan 11 September 2011 tepatnya terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002. 

Dalam insiden ini terjadi dua ledakan, pertama  di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, disusul ledakan bom di dekat Kantor Konsulat Amerika Serika yang mengakibatkan 202 korban jiwa dan 209 orang terluka. Insiden ini merupakan peristiwa terorisme paling buruk dalam sejarah teror di Indonesia dan sebagai teror terburuk pertama di dunia pasca insiden 911. Bom Bali 1, menggunakan bom berjenis TNT seberat 1 kg, dan untuk lokasi di depan Sari Club, menggunakan bom RDX berbobot antara 50--150 kg.

Beberapa teror bom berikutnya terjadi antara lain pengeboman Jakarta 2003 (Pengeboman JW Marriott 2003) di kawasan Mega Kuningan, Jakarta,  pada hari Selasa, 5 Agustus 2003 dari ledakan bom mobil bunuh diri dengan menggunakan mobil Toyota Kijang serta menewaskan 12 orang dan mencederai 150 orang.

Pada tanggal 9 September 2004 terjadi serangan bom di Kedubes Australia, kawasan Kuningan, Jakarta. Pihak Indonesia mencatat 9 orang meninggal sedangkan pihak Australia mencatat 11 orang meninggal dan tidak ada korban meninggal dari warga negara Australia. 

Teror bom bunuh diri berikutnya dikenal sebagai bom Bali 2, terjadi satu bom di Kuta dan dua bom di Jimbaran Bali pada tanggal 1 Oktober 2005, serta menyebabkan 23 orang meninggal dunia dan 196 orang terluka.   

Serangan bom bunuh diri kembali terjadi di hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada kawasan Mega Kuningan, Jakarta tepatnya pada hari Jumat pagi, 17 Juli 2009 dan telah menewaskan 9 orang korban serta melukai lebih dari 50 orang lainnya, terdiri dari warga negara Indonesia maupun warga negara asing.

Insiden berikutnya terjadi tanggal 15 April 2010 saat seorang pelaku meledakkan bom di tubuhnya di masjid yang terletak di dalam kompleks Mapolresta Cirebon, Jawa Barat dan melukai 25 orang anggota polisi saat hendak menunaikan ibadah sholat Jumat.  

Teror bom terjadi lagi pada tanggal 29 September 2010,  saat pelaku meledakkan bom di sepeda yang dikendarainya dekat seorang anggota patroli Kapolres Bekasi, saat itu pelaku dan polisi selamat.

Kurang lebih setahun berikutnya pada 25 September 2011, anggota jaringan teroris Cirebon yang melakukan serangan di Mapolresta Cirebon telah meledakkan diri di halaman Gereja Bethel Injili, Solo, Jawa Tengah.   Teror berikutnya terjadi pada 3 Juni 2013 dengan pelaku meledakkan diri di depan Mapolres Poso.

Pada tanggal 14 Januari 2016, ledakan terjadi lagi di Jakarta di dua tempat, yakni di daerah tempat parkir Menara Cakrawala, gedung sebelah utara Sarinah, dan sebuah pos polisi di depan gedung tersebut. Sedikitnya delapan orang (empat pelaku penyerangan dan empat warga sipil) dilaporkan tewas dan 24 lainnya luka-luka akibat serangan ini. Khatibah Nusantara menyatakan bertanggung jawab atas ledakan bomb Thamrin tahun 2016. 

Bom Surabaya 2018 merupakan rangkaian serangan teroris yang awalnya terjadi pada 13 Mei 2018 di tiga gereja di Surabaya. Dua keluarga melakukan serangkaian pemboman bunuh diri yang menewaskan belasan orang termasuk dua gadis muda yang orang tuanya menjadi pelaku salah satu penyerang insiden bom itu dan sekaligus pemimpin organisasi lokal yang berafiliasi ke kelompok Negara Islam yang dikenal sebagai Jemaah Anshorut Daulah.  

Serangan terorisme yang gagal terjadi saat peristiwa aksi demonstrasi penolakan hasil rekapitulasi suara pemilihan umum (Pemilu) 2019 pernah akan dimanfaatkan oleh kelompok JAD  untuk membuat situasi chaos. Hal ini terungkap pasca rencana aksi terorisme yang direncanakan terjadi pada tanggal 22 Mei 2019, telah gagal setelah seorang terduga teroris berinisial DY (anggota JAD) ditangkap. 

Serangan Bom Makassar 2021 ini, menjadi sebuah momentum bagi Indonesia untuk sadar tingginya risiko ancaman terorisme di tanah air sebagai suatu kejahatan transnasional atau disebut "Transnational Organized Crime" (TOC). 

Perubahan Peta Terorisme di Indonesia

Saat ini ada dua organisasi besar yang memiliki potensi melakukan aksi penyerangan menggunakan aksi bom di Indonesia, yaitu pertama Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi ke ISIS dengan jumlah anggota aktif diperkirakan sebanyak 1.200 orang dan kedua adalah jaringan Neo Jemaah Islamiah yang berafiliasi ke Jemaah Islamiah Internasional dengan anggota sekitar 3.500 orang di Indonesia.

Pada dekade pertama pasca serangan Bom Bali 1, sel jaringan Jemaah Islamiyah yang berafiliasi ke Al-Qaeda sangat aktif dan akibatnya sejak desk terorisme terbentuk sampai pasca terbentuknya detasemen khusus anti teror, anggota mereka banyak dilumpuhkan aparat keamanan. 

Hal ini menyebabkan perubahan pelaku teror dari kelompok JI atau Neo-JI ke jaringan Jemaah Ansharut Daulah (JAD) dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang berafiliasi ke ISIS.

Terdesaknya kelompok JAD & MIT di berbagai daerah mengakibatkan juga perubahan strategi & taktik jaringan terorisme. Kedepan akan ada konvergensi serangan taktis yang makin kuat dari pola serangan berbasis isu ideologi ke serangan yang memanfaatkan isu politik praktis dan isu penegakan hukum. 

Jaringan sel terorisme akan bertindak sebagai pressure group yang bisa jadi menggunakan ancaman terlebih dahulu untuk menyandera bagi kepentingan kelompoknya maupun organisasi mitra mereka. Tantangan itulah yang harus kita hadapi untuk mengeliminasi dampak terorisme di negeri kita selain strategi deradikalisasi bagi "combatan & non combatan". 

Deradikalisasi bukan hanya sebuah program strategis tetapi merupakan strategi berkesinambungan baik bagi para napiter ataupun masyarakat luas. (TA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun