Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mencegah Efek Domino Kasus George Floyd di Indonesia

6 Juni 2020   07:27 Diperbarui: 6 Juni 2020   19:33 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source : The Economist

Saya tinggal ribuan miles dari Minneapolis Amerika dan spontan menjadi ingin marah sesudah melihat video bagaimana George Floyd teraniaya dan akhirnya terbunuh oleh polisi Derek Chauvin, J. Alexander Kueng, Thomas Lane, dan Tou Thao, meski sudah menyerah dan berteriak "I can't Breathe".

Negara Amerika Serikat tengah didera permasalahan dalam negeri paling pelik sekurangnya selama lima dekade ini dengan tekanan dampak ekonomi akibat pandemi dan kerusuhan politik yang dipicu oleh kematian George Floyd. Dua hal itu memang berbeda namun saling terkait. 

Menguraikan keterkaitan antara kejadian pandemi covid-19 dengan kerusuhan di Amerika serikat tidak sesulit menguraikan Quantum Entanglement Theory, di mana beberapa hal di dunia ini bisa saling mempengaruhi dalam waktu yang sangat cepat melebihi kecepatan cahaya. 

Pandemi Covid-19 sebagai sebuah bencana kesehatan global telah menjadi suatu peristiwa yang bisa menelanjangi satu negara di mata dunia, tidak terkecuali Negara Amerika Serikat.

Sistem kesehatan nasional memang menjadi faktor utama dalam kedaruratan kesehatan ini. Namun sistem kesehatan juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, keamanan, pendidikan, dan kemajuan teknologi. 

Karut marut penanganan Covid-19 di Amerika sekaligus memperlihatkan potret buram kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan, dan akses kepada keadilan Negeri Paman Sam. Mayoritas warga kelas menengah ke bawah di Amerika tidak bisa bertahan hidup dengan pemberlakuan protokol "physical distancing" yang telah menghentikan sebagian kegiatan ekonomi dan bisnis mereka.

Realita persoalan ekonomi pasca Pandemi Covid-19 membuat kesenjangan sosial di Amerika semakin bertambah buruk. Isu sentral dalam kesenjangan sosial ini adalah kesenjangan berbasis isu rasial. 

Kemarahan atas kematian George Floyd menjelaskan betapa kesenjangan ekonomi, kesehatan, dan akses yudisial di Amerika antara kulit berwarna dan kulit putih sangat tinggi. Menurut Biro Sensus, orang Afrika-Amerika berpenghasilan tiga per lima dari jumlah penghasilan orang kulit putih non-Hispanik.  

source : The Economist
source : The Economist
Pada 2018 rata-rata pendapatan rumah tangga kulit hitam adalah $ 41.400, dibandingkan dengan $ 70.600 untuk orang kulit putih. Kesenjangan ekonomi itu lebar. Di Inggris, sebagai perbandingan di mana hubungan ras juga tegang, orang kulit hitam berpenghasilan 90% dari orang kulit putih.  

Namun figur kesenjangan di Amerika itu lebih sempit daripada kesenjangan pada tahun 1970, ketika orang Afrika-Amerika hanya mendapat setengah dari jumlah penghasilan orang kulit putih. Banyak upaya  perbaikan terjadi antara tahun 1970 sampai 2000. Pasca tahun 2000 sayang segalanya memburuk lagi. 

Orang Afrika-Amerika memiliki banyak pekerjaan rendah (non-skilled job) yang paling rentan terhadap resesi ekonomi akibat tekanan persoalan pandemi covid-19. 

Ketimpangan di Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dalam proses pembangunannya secara geografis tentu memiliki tantangan lebih berat untuk mempersempit kesenjangan wilayah (regional disparities) dibanding negara Amerika atau negara di benua lain.

Ketimpangan rasial (racial inequalities) merupakan tantangan terberat di Amerika saat ini (The Economist, June 2020), yang telah memicu kerusuhan berbasis isu rasial pasca-kematian George Floyd. 

Sementara itu tantangan terberat Indonesia adalah tingginya kesenjangan (disparitas) pembangunan dan kesenjangan antarwilayah yang berimplikasi pada kesenjangan sosial-ekonomi serta taraf kesejahteraan rakyat.

Kesenjangan antar wilayah ini menggambarkan perbedaan intensitas pembangunan (OECD, 2003), sekaligus kinerja ekonomi dan tingkat kesejahteraan (ILO, 2002) di wilayah-wilayah tersebut dalam satu negara. 

Wiliamson (1965) menyampaikan satu model untuk mengukur tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah melalui indeks Williamson yang digunakan Indonesia. Indeks Williamson dengan model Vw (weighted index terhadap jumlah penduduk) dan Vuw (un-weighted index) cukup representatif untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan per kapita suatu negara pada waktu tertentu. 

Indeks ini jika mendekati nol (0) berarti sangat merata dan jika mendekati satu (1) berarti sangat timpang. Saat ini kesenjangan antar wilayah di Indonesia masih tinggi, khususnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur
Indonesia (KTI). 

Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) KBI sangat dominan dan tidak pernah kurang dari 80 persen terhadap PDB Nasional untuk periode waktu 30 tahun (1986-2016).

Kontribusi tersebut memang tidak otomatis mencerminkan dan berkorelasi langsung pada tingkat kesejahteraan rakyat seperti disampaikan Lincolin Arsyad (1999) bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak cukup signifikan manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. 

Indonesia saat ini memiliki 415 kabupaten, 1 kabupaten administrasi, 93 kota, dan 5 kota administrasi di 34 provinsi. Ada 122 kabupaten yang termasuk daerah tertinggal. Tingginya kesenjangan antar wilayah ini berimplikasi pada tingginya potensi gangguan stabilitas keamanan wilayah yang mungkin dipicu oleh kecemburuan sosial..

Sensitivitas Isu Antar Agama
Hal lain yang sangat sensitif di Indonesia dan beresiko tinggi untuk terjadinya kerusuhan adalah soal isu antar agama. Pemahaman keberagamaan yang lebih mendalam dan inklusif serta toleran masih perlu dikuatkan.

Kita masih ingat tragedi kemanusian kerusuhan di Poso dan Ambon yang berlangsung pada bulan Desember 1998, berlanjut pada bulan April 2000, dan yang terbesar terjadi pada bulan Mei hingga Juni 2000.

Kerusuhan yang melibatkan kelompok Islam dan Kristen ini kemudian diakhiri dengan perjanjian Malino yang difasilitasi oleh Menkokesra waktu itu Jusuf Kalla, mewakili Pemerintah Indonesia pada 20 Desember 2001 di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi.

Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag, melakukan survei pada 16 Mei-19 Mei 2019 dan 18-24 Juni 2019 dengan jumlah responden 13.600 orang dari 136 kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi. Survei Kerukunan Umat Beragama menyoroti 3 hal utama yaitu toleransi, kesetaraan, dan kerja sama di antara umat beragama.

Berdasarkan survei tersebut Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) untuk tahun 2019, nilai rata-rata nasional di angka 73,83 untuk rentang 1 sampai 100.

Terdapat sejumlah Provinsi yang berada di bawah rata-rata nasional yaitu Jawa Timur (73,7), Kalimantan Timur (73,6), Gorontalo (73,2), Kepulauan Bangka Belitung (73,1), Lampung (73,1), Kepulauan Riau (72,8), Maluku Utara (72,7), Kalimantan Selatan (72,5), Sumatera Selatan (72,4), Bengkulu (71,8), DKI Jakarta (71,3), Jambi (70,7), Nusa Tenggara Barat (70,4), Riau (69,3), Banten (68,9), Jawa Barat (68,5), Sumatera Barat (64,4), Aceh (60,2).

Mencegah Efek Domino Kerusuhan Rasial
Kejadian kerusuhan di Amerika berjalan meluas di lebih dari 20 negara bagian dengan cepat sebagai satu efek domino yang dipicu permasalahan ketimpangan rasial. Indonesia dan Amerika memiliki banyak kesamaan dari faktor demografi.

Peristiwa kerusuhan tersebut harus dicegah secara proaktif dengan pendekatan komprehensif dan kontekstual agar tidak menular di Indonesia. Potensi persoalan yang bisa memicu konflik dan kerusuhan di Indonesia sebagaimana uraian di atas yaitu ketimpangan sosial-ekonomi, kesenjangan antar wilayah, serta isu SARA harus diredam. 

Mempersempit ketimpangan ekonomi dan kesenjangan antarwilayah harus menjadi prioritas kebijakan pembangunan di era New Normal. Pembangunan infrastruktur perlu dilanjutkan dengan berbagai strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia dengan kepentingan nasional sebagai pijakan bersama.

Kedua strategi tersebut harus berdasarkan pada Pancasila sebagai ideologi negara. Semangat menjalin persaudaraan sejati meski beda SARA harus terus bergelora.

Slogan beda sara tetap saudara perlu dipopulerkan dengan berbagai cara dan media kreatif serta kontekstual. Saudara kita di Ambon punya ungkapan "Mari Katong Samua Basudara" yang pasti juga bisa ditemukan dari saudara kita di Aceh, Papua, Bali, Batak, Jawa, dan banyak lagi. 

Mempersempit ketimpangan ekonomi harus simultan dengan implementasi strategi restorasi sosial dan ideologisasi Pancasila. Berbagai indeks ketimpangan dan indeks kerukunan umat beragama, serta indeks lainnya merupakan indikator yang sekaligus bisa dikembangkan sebagai bagian dari sistem peringatan dini (early warning system) bencana sosial.

Kita jangan berhenti pada menciptakan dan melaporkan status indeks indeks tersebut. Bermaknanya indeks tersebut adalah pada laporan rekomendasi monitoring dan evaluasi sesudah indeks tersebut terbaca, sebagai kebijakan yang harus dilakukan penyesuaian jika terjadi permasalahan. (TA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun