Manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) yang memiliki watak dasar rakus, menciptakan teori pertumbuhan ekonomi sebagai instrumen untuk meraih kemakmuran.Â
Teori itu dipercaya dan digunakan sebagai instrumen pembangunan ekonomi oleh hampir semua negara di dunia. Setiap negara yang menggunakan teori tersebut terus berpacu dan berusaha untuk membuat dan menjaga pertumbuhan ekonomi tinggi.Â
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berkorelasi dengan banyak hal, misalnya pertumbuhan industri, pertumbuhan angkatan kerja, dan pembangunan infrastruktur.Â
Pandemi covid-19 telah memporak porandakan bangunan ekonomi dunia. Pertama kali dalam sejarah, minyak mentah diperdagangkan dengan harga terendah antara tanggal 10-20 April 2020 di America pada harga -US$ 30 / barrel.Â
Meskipun ekonomi runtuh, namun kita tidak perlu kawatir berlebihan sebagai makhluk sosial "homo homini socius" yang memiliki naluri untuk saling menolong dan berbagi.
Kita telah mengenal sistem barter yang nampak kuno dan usang, namun kini dalam momentum pandemi covid-19, sistem barter banyak dihidupkan kembali dan terbukti bisa bertahan menyelamatkan kehidupan.
Pertumbuhan Ekonomi memang membawa banyak manfaat, namun  di sisi lain juga membawa berbagai permasalahan ekologi. Salah satu konsekuensi pertumbuhan ekonomi tentunya adalah eksploitasi sumber daya alam secara masif sebagai bahan baku dari suatu siklus rantai produksi hulu sampai ke hilir.
Haruskah kita cemas dengan pertumbuhan ekonomi yang menurun?Â
Dampak pandemi covid-19 memang membawa konsekuensi berat dan mengancam penduduk dunia. Mayoritas negara dunia mengalami perlambatan ekonomi, dan bahkan beberapa negara mencatat pertambahan ekonomi di bawah nol. Â
Bhutan sebagai negara yang dianggap tidak "kaya" pasti tidak sangat cemas. Mereka tidak cemas dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi, karena memang mereka menganut faham yang kira-kira sejalan dengan konsep "Zero Growth".Â