Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sebab Buruh Bukan Tomat Busuk

9 November 2020   03:45 Diperbarui: 13 April 2024   21:50 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Tomat Pagaralam membuang hasil panen di jalan [Foto: Sripo Wawan Septiawan via Tribunnews]

Secara default, untuk pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus---mayoritas pekerjaan buruh--, nilai labour power setara jumlah minimum yang dibutuhkan pekerja untuk hidup. Kata Engels, "be the lowest, the minimum, required for the maintenance of life," yaitu "the quantity of means of subsistence necessary to enable the worker to continue working, and to prevent the working class from dying out" (1847).

Ketika komoditas dipertukarkan di pasar, terjadi proses perubahan nilai yang Marx sebut sebagai problem of transformation, yang mengubah nilai alamiah (sebagaimana labour theory of value) menjadi harga (nilai pasar).

Harga sejatinya bukan indikator nilai barang, melainkan distorsi terhadap nilai. Sebagai distorsi, harga bergerak bagai pendulum di sekitar nilai natural komoditas (nilai yang dihasilkan kerja buruh). Gerak pendulum di sekitar titik default itu---yang merupakan equilibriumnya---dipengaruhi oleh pertempuran antara kekuatan permintaan dan penawaran.

Ketika suplai berkelimpahan, harga jatuh, bahkan lebih rendah dibandingkan nilai natural, menyebabkan produsen mengurangi pasokan. Untuk produk-produk pertanian, membuang begitu saja kelimpahan produksi adalah langkah masuk akal untuk mengurangi permintaan. Dengan jalan itu, harga akan terdorong bergerak agar setara atau lebih tinggi dari nilai natural-nya.

Sebagai komoditas, harga tenaga kerja tidak bisa dikendalikan serupa cara petani menjaga harga komoditas perkebunan. Kelimpahan penawaran tomat bisa diatasi dengan membuang separuh tomat, membiarkannya hancur dilindas roda kendaraan yang lalu-lalang. Demikian pula pernah kita dengar aksi membuat produk dilakukan petani berbagai komoditas lainnya. Tetapi tidak bisa begitu dengan kelebihan pasokan tenaga kerja.

Memang, jika mengacu kepada hukum besi Lassale, upah sebagai harga pasar labour power---dalam terminologi Ricardo, upah disebut harga pasar, yang selalu lebih tinggi dari harga natural (nilai tukar tenaga kerja)---tidak akan pernah lebih rendah dari nilai minimumnya. Itu karena jika upah jatuh di bawah nilai minimum, tenaga kerja tidak bisa diproduksi. Lihat yang Engels katakan di atas, nilai minimum adalah jumlah duit (atau inkind makanan) yang buruh butuhkan agar tidak mati dan tetap bisa bekerja.

Namun upah, secara jangka panjang, tidak pernah jauh melampaui nilai minimum. Berbeda dengan Malthus dan Ricardo yang menjadikan populasi sebagai variabel independen, Marx menjelaskan hal ini disebabkan oleh jumlah pekerja yang bersedia menjual tenaga kerjanya selalu lebih banyak dibandingkan lapangan kerja yang tersedia. Dengan kata lain, tingkat upah ditentukan oleh ukuran industrial reserve army. Lebih detil tentang ini, bisa sobat baca di Kapital Volume I, Bab 25.

Jika demikian, bagaimana caranya agar upah buruh dapat menyejahterakan, bukan sekadar demi sesuap nasi sebagai sumber tenaga untuk terus bekerja? Bagaimana caranya agar tingkah upah mampukan buruh membeli rumah, memupuk investasi sebagai jaminan penghasilan di hari tua, menabung untuk kelak bertamasya ke tempat-tempat menarik? Bagaimana caranya agar tingkat upah bisa memanusiakan buruh?

Jalannya cuma satu. Penentuan tingkat upah tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Negara harus dipaksa tanggungjawabnya untuk menetapkan standar upah yang mampu memenuhi kebutuhan hidup layak.

Akan tetapi beberapa pelajar pernah bertanya, bukankah menuntut kenaikan upah berkonsekuensi kapitalis menaikkan harga barang sebab dasar pembentukan nilai tukar adalah nilai tenaga kerja? Jika kapitalis menaikkan harga barang, bukankah itu berarti kenaikan upah buruh akan tidak berarti sebab harga-harga juga naik?

Ini pertanyaan menarik.

Salah kaprah seperti ini sudah Marx jelaskan dalam Value, Price and Profit (1898), sebelum lebih merincinya dalam Kapital Volume I. Dalam manuskrip tersebut Marx mengkritik pandangan Citizen Weston dan para pendukung teori Wage Fund--salah satunya John Stuart Mill.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun