Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Semangat Jahat Legalisasi "Sweatshop" dalam RUU Cipta Kerja

20 Februari 2020   18:28 Diperbarui: 20 Februari 2020   19:47 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi tolak sweatshop [labornotes.org]

Pilger melihat langsung,  memvideokan, dan mewawancarai sejumlah buruh.

Terbongkarlah bahwa merek-merek ternama yang harga satuannya di toko-toko luar negeri 150 kali upah bulanan buruh Indonesia; merek-merek yang memiliki code of conduct tidak mengeksploitasi buruh berlebihan, nyatanya dikerjakan oleh pabrik-pabrik sweatshop di Indonesia.

Pabrik-pabrik sweatshop di kawasan industri seperti Cakung dan Kapuk ini mempekerjakan buruh dengan upah murah, dalam kondisi pabrik sangat tidak nyaman (ruang bersuhu hinggaa 40 derajat), dan sering harus bekerja lembur long-shift hingga 24 jam; bekerja dari jam 8 hingga jam 12 malam berdiri, tidak pernah duduk.

Video dokumenter Pilger,The New Rulers of the World bisa ditonton di sini.


Saya ingat, di KBN Cakung saya pernah memanjat pagar kawat pabrik, berteriak-teriak memanggil mandornya, seorang Korea Selatan, agar keluar menjumpai buruh. Di pabrik itu hak untuk pipis dijatah hanya sekali, pakai tiket. Yang pipis diam-diam karena kebelet tak tertahan, bisa kena peringatan atau dipotong upahnya. Jika buruh lupa membawa gunting, upah mereka dipotong Rp 5.000,-.

Maraknya praktik sweatshop di masa itu dilatarbelakangi oleh masih lemahnya gerakan buruh dan aksi tutup mata disnaker terhadap kondisi di pabrik-pabrik.

Saat itu buruh tidak mudah mendirikan serikat. Yang diperbolehkan di tingkat pabrik hanya serikat buruh kuning, SPSI, yang saat itu belum bisa membebaskan diri dari kontrol negara, dari wataknya sebagai antek-rejim. Serikat buruh di luar SPSI baru ada beberapa; jangankan konfederasi, federasi pun---di luar grup SPSI--belum ada. 

Saat itu mobilisasi kekuatan buruh dalam momentum "lebaran buruh" 1 May belum umum. Agar ribuan turun ke jalan, praktik gedoran pabrik---tradisi Bandung yang disebarluaskan ke kota-kota lain---harus dilakukan.

Sekian tahun terakhir, buruh sudah jauh lebih merdeka untuk mendirikan dan bergabung dengan berbagai macam serikat buruh. Pecahan-pecahan SPSI berubah progresif. Pemogokan-pemogokan tidak lagi sering dihantui kehadiran tentara. Satu Mei diliburkan pemerintah. Mobilisasi puluhan ribu buruh dalam perayaan kembali jadi tradisi. Dalam sejumlah momentum politik, kekuatan sosial-politis buruh---yang direpresentasi oleh serikat-serikat mainstream---cukup diperhitungkan. Hal ini turut berpengaruh terhadap pengawasan praktik dan kondisi kerja di pabrik-pabrik, melenyapkan tau setidaknya menekan keberadaan sweatshop.

UU Cilaka Berpotensi Menghadirkan Kembali dan Melegalisasi Sweatshop

RUU Cipta Kerja membawa serta potensi bahaya kembalinya praktik sweatshop di Indonesia, bahkan membuatnya menjadi marak, menjadikannya wajah baru industri Indonesia. Jika dahulu sweatshop ada karena kurangnya pengawasan---oleh Diskaner yang tutup mata dan serikat buruh yang dibatasi--, kini sweatshop justru akan dilegalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun