Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Masalah Berbahasa dan Mitos Menulis Itu Mudah

8 Juni 2018   14:13 Diperbarui: 8 Juni 2018   16:56 2465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penguasaan keterampilan berbahasa adalah salah satu kendala dalam menulis [Ilustrasi diolah dari tesseraguild.com]

Saya sering cemburu membaca orang menulis bahwa menulis itu gampang. "Terberkati sekali orang-orang ini, sungguh mujur berkemampuan begitu, sangat berbakat. Indah nian hidup saya andai bisa seperti mereka." Begitu suara batin saya.

Benar bahwa saya sering menulis. Tidak terlalu mengecewakan juga kemampuan saya. Jika mood sedang cakep, duduk sejam saya bisa menulis satu bahkan dua artikel berstatus headline di Kompasiana. Tetapi itu bukan berarti mudah saja saya melakukannya atau bahwa artikel itu beres dan baik-baik saja.

Kelak saat saya baca lagi artikel-artikel itu, saya temukan banyak kekeliruan sintaksis dan semantik. Segera saya perbaiki. Eh, besok masih saja ada kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu seperti daki di punggung yang kita pikir sudah luruh utuh setelah badan digosok pakai sikat atau lempeng batu dari pantai.

Menyebalkan, kesalahan yang banyak itu sedikit-sedikit terkuaknya. Mengapa tidak bisa sekaligus saja saya temukan? Padahal sebelum tayang, artikel sudah saya periksa dua kali.

Terkadang saya sulit percaya kenyataan ini, sampai-sampai saya berprasangka jangan-jangan penyebabnya ada admin yang utak-atik dan salah pencet. Heh!

Sebenarnya sebagian kesalahan berbahasa ragam tulis itu berupa cacat ringan saja, seperti jelaga pabrikan--eye shadow kah namanya?--yang ditorehkan perempuan penderita parkinson pada garis alis atau tepi kelopak matanya. Meski begitu saya terganggu dan merasa malu menemukannya di dalam artikel-artikel saya.

Umumnya  masalah saya dalam menulis artikel berbahasa Indonesia ada empat macam: saltik (typo); diksi kurang pas; kalimat tidak sangkil-mustajab; serta struktur kalimat melencengi kaidah.

Saya tidak akan membahas terlalu banyak masalah saltik dan diksi. Sudah banyak orang membicarakannya sebab sudah masalah umum.

"Kak, dia tidak bisa membedakan di yang kata depan dan yang awalan. Selalu terbalik perlakuannya." Suatu malam seorang editor majalah sastra tingkat komunitas curhat penilaian soal kesalahan berbahasa tulisan seorang doktor bahasa Indonesia kenalan saya.

"Ah, itu karena  fatique saja. Saya juga biasa begitu, kok." Saya membela doktor bahasa Indonesia itu.

"Kalau karena lelah salahnya tidak konsisten berulang. Kakak periksa saja status-status di facebook dia." Si redaktur keukeuh.

Yaelah. Saya bakal disangka stalker jika turuti sarannya. Yang pasti, kasus si doktor bahasa adalah bukti bahwa persoalan saltik yang terpaut lelah atau buru-buru sehingga kurang teliti adalah masalah jamak. Saya kira semua orang mengalaminya.

Saya sudah menyerah dengan masalah ini, merasa tidak bisa diperbaiki lagi selain dengan membiasakan diri memeriksa kembali artikel seusai ditulis.

Saya sudah cari referensi ke mana-mana soal masalah saltik yang saya derita. Apakah karena saya orang kidal? Atau karena sering saat jemari bergerak mengetik, otak saya sudah memikirkan ide untuk artikel lain? Atau karena dulu saya diajarkan mengetik buta sepuluh jari dan berirama, sehingga ketika kini menggunakan laptop yang papan ketiknya berukuran beda-beda, jemari kerab salah mendarat?

Tidak ada artikel yang memuaskan penjelasannya selain bahwa saltik adalah masalah normal.

Demikian pula soal diksi, kerap kurang saya perhatikan.

Kasus paling sering adalah penggunaan kata-kata umum padahal ada kata lebih khusus yang mampu memberi efek visual dan menegaskan maksud. Contohnya sering saya ketikkan "melihat" untuk hal yang sebaiknya saya pilih "menatap" atau "melirik" atau "mendelik" atau "memandang" atau bentuk-bentuk khusus lainnya.

Tidak mengapa. Soal diksi ini hemat saya bahkan bukan cacat. Ini hanya seumpama kekasih yang mengusapkan bedak tanpa mengalasnya dengan foundation. Dampaknya hanya pada kecantikan artikel yang jadi kurang kilau-kemilau.

Masalah yang kurang normal, dalam arti mungkin hanya saya dan segelintir orang yang mengalami---sebab tampaknya tidak banyak Kompasianer mengulas ini--adalah masalah ketiga dan keempat, yaitu kalimat yang bertele-tele, kurang sangkil-mustajab dan struktur kalimat yang melencengi kaidah sintaksis.

Baiknya dalam membahas ini kita gunakan contoh konkrit agar maksud saya klop dengan pemahaman Om-Tante.

Kita gunakan saja artikel "Tunjangan Hari Raya Tuan Huber." Artikel ini sudah saya edit sehari setelah penayangan. Kekeliruan dan kekurangannya saya dokumentasikan sebagai tangkap-layar.

Sintaksis kurang baik: kalimat yang tidak efektif dan efisien.

Lihat contoh kalimat bahasa Indonesia pada tangkap-layar artikel "Tunjangan Hari Raya Tuan Huber" berikut:

contoh kalimat bahasa Indonesia ragam tulis yang tidak efektif dan efisien
contoh kalimat bahasa Indonesia ragam tulis yang tidak efektif dan efisien
Kalimat dalam contoh pertama mengandung 15 persen pemborosan. Tidak sangkil. Ia dapat diringkas lagi menjadi,

"Beberapa kali Tuan Huber tersandung sebab baterai senter yang ia bawa sudah aus, hanya menghasilkan cahaya temaram."

Bagian "dan karena itu" yang menjelaskan hubungan sebab akibat dapat saya hapus, diganti cukup dengan tanda koma. Jadi ringkas tetapi efektif. Pembaca tetap paham adanya hubungan sebab-akibat tiga lapis: baterai aus menyebabkan cahaya senter temaram, selanjutnya menyebabkan permukaan jalan tidak tampak jelas, dan akhirnya menyebabkan Tuan Huber tersandung beberapa kali.

Contoh kedua juga boros sebab kata "sehari-hari" dan "terbiasa" bermakna sama. Kata "terbiasa" sebaiknya dihapus. Kepergiannya tidak akan berkonsekuensi apa-apa.

Jika kata "sehari-hari" yang dihapus--menjadi "Tuan Huber terbiasa berjalan kaki"--orang akan bertanya, seberapa terbiasa? Mengapa dikatakan terbiasa?

Dengan kalimat "Sehari-hari Tuan Huber berjalan kaki," orang mengerti, "Oh, dia terbiasa berjalan kaki." Kebiasaan adalah hal yang dilakukan secara rutin.

Kalimat itu sudah saya edit menjadi "Sehari-hari Tuan Huber jalan kaki pulang-pergi kantor."

Saya menghapus "terbiasa" dan menambahkan "pulang-pergi kantor" agar menjadi jelas bahwa pengetahuan saya soal kebiasaan Tuan Huber terbatas dalam hal pulang-pergi kantor. Saya tak tahu untuk soal lain, misalnya ke kebun atau ke kota kecamatan, apakah Tuan Huber juga berjalan kaki atau menumpang kendaraan.

Saya juga menghilangkan awalan ber dalam frasa "berjalan kaki" sebab yang ingin saya tekankan bukan aktivitas berjalan-nya melainkan jalan kaki sebagai cara Tuan Huber mencapai kantor atau rumah.

Baiklah. Itu contoh kecil soal kalimat yang kurang efektif dan efisien. 

Kesalahan Sintaksis: Kalimat yang tidak lolos persyaratan

Yang berikut ini cacat fatal, menyalahi kaidah bahasa dan karena itu terasa memalukan bagi saya.

Saat marah-marah karena kami salah menerapkan kasus dan deklinasio kata, guru bahasa Latin semasa SMA dulu selalu katakan, "Bahasa itu logika. Saya tidak percaya kalian pandai matematika jika bahasa Latin kalian buruk."

Pernyataan itu sangat mempengaruhi saya. Hingga kini saya merasa malu jika menemukan kalimat dalam artikel saya tidak sesuai tata bahasa Indonesia. Hal yang sering saya jumpai adalah tidak terpenuhinya unsur-unsur syarat penyusun kalimat.

Contoh kesalahan sintaksis kalimat bahasa Indonesia. dokpri
Contoh kesalahan sintaksis kalimat bahasa Indonesia. dokpri
Pada contoh 1, "Berjalan kaki saja" bukan kalimat.  Bahkan sebagai klausa pun ia tidak memenuhi syarat. Di mana subjeknya?

Kalimat itu baru jadi benar setelah diperbaiki dengan dua opsi. Pertama, tanda titik setelah "rumah" saya ganti dengan tanda koma, menjadi "Bubaran kerja Tuan Huber kembali ke rumah, berjalan kaki saja."

Pilihan kedua, saya tambahkan subjek, menjadi "Ia berjalan kaki saja."

Contoh kedua.

Paragraf pada contoh 2 seolah-olah terdiri dari dua kalimat. Sebenarnya hanya satu kalimat yang memenuhi syarat sintaksis, "Selanjutnya Tuan Huber kembali bekerja seperti biasa."

Sementara yang panjang itu, sejak "memperhatikan" hingga "saja" hanya rangkaian kata dan frasa yang tidak memenuhi syarat sebagai kalimat, bahkan belum juga sebagai klausa. Sebabnya sama seperti contoh pertama, ketiadaan subjek.

Rangkaian kata dan frasa itu akan menjadi benar jika kalimat pertama tidak saya akhiri melainkan mengganti tanda titik dengan koma. Atau saya tambahkan subjek sebelum kata "memperhatikan" pada kalimat kedua.

Apa yang akan saya gunakan sebagai subjek? Tuan Huber atau ia? Tidak! Meski secara kaidah sintaksis  tidak salah, subjek Tuan Huber--atau ia sebagai pengganti--menyebakan kalimat itu keliru semantik.. Kalimat pertama dan kedua menjadi tak berhubungan, sekedar dua peristiwa yang kebetulan sama-sama bersubjek Tuan Huber.

Lebih tepat jika saya pakai subjek "pekerjaannya" sehingga kalimat itu menjadi  "Pekerjaannya memperhatikan kendaraan... ." 

Dengan begitu kalimat pertama dan kedua memiliki hubungan makna yang mendukung pokok pikiran paragraf. Kalimat kedua menjelaskan hal "bekerja seperti biasa" dalam kalimat pertama.

Nah, demikian beberapa contoh kesalahan saya berbahasa Indonesia dalam ragam bahasa tulis. Semua artikel saya di Kompasiana mengandung kesalahan-kesalahan ini. Ada yang sudah saya perbaiki, ada yang belum. Banyak yang baru tersadari kemudian, nanti saat saya membacanya lagi.

Ada pula kasus hiperkorek. Sudah betul, saya betulkan, eh malah jadi salah.

Heuh. Saya yakin akan ditemukan kesalahan lebih banyak lagi jika artikel-artikel saya diperiksa pakar bahasa.

Itulah sebabnya Om-Tante, mengapa senantiasa terbit cemburu di hati saya saat membaca artikel yang menyatakan menulis itu mudah.

Tetapi Om-Tante yang mengalami kesulitan-kesulitan seperti saya tidak perlu berkecil hati. Jangankan kita, para guru bahasa pun banyak keliru di dalam artikel-artikel atau makalah bahkan ketika mereka sedang membahas permasalahan kebahasaan Indonesia.

Meski menulis ternyata tidak mudah, jangan menyerah. Kita menulis bukan karena mudah, bukan? Kita melakukannya karena kita suka. Bisa juga karena suatu saat mungkin hobi menulis ini bermanfaat lebih dari sekedar menggembirakan hati dan mempengaruhi orang banyak.

Tabik. Sila lanjutkan aktivitas menulisnya. Let the ball rolling. [2018/06/07. Twitter:@tilariapadika]

Baca artikel-artikel Seri Tilaria Padika tentang MENULIS

share artikel yang kamu suka
share artikel yang kamu suka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun