Mohon tunggu...
Tigaris Alifandi
Tigaris Alifandi Mohon Tunggu... Teknisi - Karyawan BUMN

Kuli penikmat ketenangan. Membaca dan menulis ditengah padatnya pekerjaan | Blog : https://tigarisme.com/ | Surel : tigarboker@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Coblos Siapa?

30 Maret 2019   19:10 Diperbarui: 30 Maret 2019   19:29 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iliustrasi surat suara pasangan capres-cawapres. Gambar dari style.tribunnews.com

Sudah lama saya tidak menulis di Kompasiana. Apalagi yang berkaitan dengan politik. Perusahaan tempat saya bekerja melarang dengan keras untuk berkampanye ataupun melontarkan kata-kata tidak pantas di berbagai platform media sosial untuk condong ke salah satu paslon. Kita sebagai karyawan BUMN dilarang berkampanye berdasarkan Peraturan KPU No 23 Tahun 2018 pasal 68 ayat (2) poin (d).

Bukan berarti yang dilarang berkampanye tidak boleh memilih salah satu paslon, akan tetapi yang dimaksud tidak boleh terjun dalam segala kegiatan kampanye pemilu.  Untuk pilihan sebaiknya dirahasiakan sebagai bentuk profesionalisme dan netralitas di tengah tahun politik. Sekalian bakti terhadap masyarakat, menjaga tahun politik agar tidak terlalu panas.

Entah saya sendiri masih tergolong undecided voters atau swing voters. Jujur saja sampai saat ini pun saya belum menentukan pilihan. Bahkan saya berencana golput 17 April nanti.

Padahal, Romo Franz Magnis Suseno, dalam tulisannya di Harian Kompas (12 Maret 2019) menjelaskan bahwa memilih salah satu paslon adalah kewajiban moral. Abstain bukan pilihan yang tepat untuk mendukung calon terbaik. Memilih ataupun golput, apapun hasilnya nanti pasti salah satu di antara Jokowi dan Prabowo yang menjadi presiden sampai tahun 2024. Bahkan kata rohaniawan yang juga peraih doktor ilmu filsafat dari Universitas Muenchen itu, dengan keras menyatakan, bahwa hanya ada tiga kemungkinan bagi orang yang tetap memutuskan untuk golput. Yaitu hanya bodoh, just stupid; berwatak benalu; ataupun bermental lemah, psycho-freak. 

Saya sendiri sangat setuju atas opini dari Romo Magnis Suseno. Apapun alasannya, golput itu tidak benar. Hukum tidak mengaturnya tapi kita punya pertanggungjawaban moral. Tidak ada sosok pemimpin yang sepenuhnya tanpa cela. Pasti ada kekurangan yang melekat. Setidaknya, kata budayawan dan pemikir kelahiran Silesia Jerman itu, dengan memilih salah satu kita mencegah yang terburuk untuk memimpin bangsa kita lima tahun ke depan.

Ketika semua orang bertanya kepada saya: "Coblos siapa nanti?". Saya pun selalu menjawab dengan pedenya, "Golput, dua-duanya saya pilih". Ada satu alasan kuat yang akan saya tuliskan. Golput versi saya tidak akan membiarkan kertas suara nanti kosong, namun saya akan tetap datang ke TPS untuk mencoblos semua paslon nanti. Bagaimanapun, menurut saya, jangan biarkan kertas suara kosong. Karena kertas suara kosong adalah ladang empuk terjadinya kecurangan pemilu.

Berawal dari Tulisan Dahlan Iskan

Inilah alasan kuat yang membuat saya berencana dengan yakin golput. Saya sendiri adalah penikmat tulisan Dahlan Iskan sejak mengisi rubrik khusus di Jawa Pos, hingga sekarang beralih menjadi blog dengan pembaca lebih dari lima juta orang. Saya sendiri juga kagum atas sosok Dahlan Iskan. Bicara seadanya, realitas, tanpa dibuat-buat. Apalagi tulisan Pak Dahlan memang renyah, runtut, tidak menggurui, dan tidak membosankan meskipun membahas perkara berat macam politik  dan geopolitik internasional.

Ada satu tulisan Dahlan Iskan yang paling membekas di hati saya. Judulnya "Bagaimana Menjaring Orang Mampu". Tulisan tersebut adalah bagian kedua dari tiga seri tulisan Dahlan Iskan dengan tema yang sama. Bagian pertamanya berjudul "Upaya Mencari Pemimpin Mampu di Era Demokrasi". Bagian terakhirnya berjudul " Bagaimana Memopulerkan Orang Mampu". Saya lupa persisnya tanggal berapa tulisan tersebut dimuat di harian Jawa Pos. Sekitar tahun 2013-2014, ketika saya beranjak dari bangku SMP ke tingkat SMA. Bisa anda baca tulisan selengkapnya.

Dikisahkan oleh Abah Dahlan kalau SBY dihinggapi kegelisahan mengenai penerus dirinya kelak. Dua periode SBY bisa dibilang cukup berhasil mengangkat perekonomian Negara. Masuk menjadi salah satu negara G-20. Atas segala pencapaiannya tersebut beliau takut sosok penerusnya malah tidak mampu mempertahankan prestasi yang telah diraih. Hingga periode akhir jabatannya SBY masih mengamati beberapa nama yang muncul untuk menjadi kandidat presiden selanjutnya. Dan ternyata yang melambung ke permukaan masih diragukan kapasitasnya untuk memimpin negara sebesar Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun