Mohon tunggu...
Siti Rahmadani Hutasuhut
Siti Rahmadani Hutasuhut Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis puisi, cerpen dan opini sosial-hukum-budaya

Im interested in social phenomena, deep thoughts and mentality

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Pikir Embun Mirip Dia

27 November 2017   08:26 Diperbarui: 27 November 2017   09:27 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terlalu suka dengan pagi. Satu-satunya waktu yang bisa mempertemukan aku denganmu. Hanya sebentar bahkan terkadang hanya sekilas aku bisa merasakan hadirmu, walau aku harus menunggu sebelum pagi tetap saja kesempatan bersamamu tidak pernah berubah. Hanya sebentar bahkan terkadang hanya sekilas aku bisa melihatmu tersenyum padaku. Tidak setiap pagi, karena itu aku tidak pernah puas walau aku harus berjalan lebih cepat sampai kudapati ujung aspal atau ujung lorong untuk kemudian aku menoleh ke belakang mendapatimu tengah berdiri di antara kesibukan pagi. Aku menamaimu, Embun. Diantara kesibukan di pagi hari ada seberkas kesejukan yang aku tunggu. Embun.

"Kau melihatnya? Di ujung sana?" pertanyaan yang sering aku lontarkan pada Po tiap kali aku melihat Embun. "Sampai kapan kau berpura-pura menyukainya?" pertanyaan yang selalu Po beri padaku, membuatku terdiam dan tersadar Embun ternyata sudah menghilang. Aku katakan pada Po untuk tidak menanyakan hal itu. Aku tidak ingin mengerti arti berpura-pura. Po tidak pernah tahu sebanyak apa aku merindukan Dia, kekasihku. Lalu aku bertemu Embun, yang ku lihat begitu mirip dengan Dia. Setiap tatapan mata Embun, terasa seperti tatapan mata Dia. Terakhir kali aku berbicara dengan Dia, di suatu malam yang dingin berteman bintang-bintang yang membisu membentuk beberapa rasi. "Kau tau aku begitu menyukai bintang?" tanya Dia.

"Kau sudah mengatakan itu sejak awal kita kenal. Hal yang akan kau lakukan ketika kau merindukanku, kau akan melihat ke langit ketika ada banyak bintang disana. Katamu bintang bisa berwarna putih, kuning, biru dan merah. Waktu itu kau memintaku memilih bintang warna apa yang ku suka. Karena kau memilih bintang warna merah, yang paling terang dan cantik, sepertiku. Bukankah begitu?" responku dengan tersenyum. "Iya sayang. Kau masih mengingatnya dengan benar. Karena itu, kau juga bisa melakukan hal yang sama ketika kau merindukanku. Setuju?" tanya Dia dan aku mengangguk setuju. Sejak saat itu aku tidak mendengar kabar Dia lagi. Tapi aku percaya, Dia segera pulang. Selama bintang masih tetap menghiasi malam, aku menunggu Dia dengan segenap rindu yang tiada terkira jumlahnya.

Po mengerti dengan jelas setiap arah dari pembicaraanku. Terkadang aku memaksakan untuk berhalusinasi tentang kemiripan Dia dengan Embun, atau memaksakan untuk berpura-pura menyukai Embun. Tetap saja Po tidak berubah pikiran untuk menghentakkan aku dari halusinasi dan pura-pura itu. Tapi aku tidak ingin tersadar. Aku pikir Embun nyata adanya dan aku benar menyukai Embun karena mirip dengan Dia. Pernah suatu pagi aku mengajak ngobrol Embun. Kami hanya memiliki waktu yang singkat. Aku ingat pembicaraan itu, Embun mencintai seseorang yang tidak mencintanya. Sejak lama Embun hanya menyimpan perasaan itu. Betapa sedihnya Embun, merindukan seseorang yang bukan miliknya di setiap malam. Aku menghibur Embun dengan mengatakan bahwa aku juga sedang merindukan seseorang yang tidak pernah kudapati lagi hadirnya di setiap malam. setelah kejadian itu aku dan Embun sering berjumpa.

Aku selalu menceritakan kedekatanku dengan Embun pada Po. Tapi Po masih sama, dia tidak pernah percaya bahwa Embun nyata adanya. Embun ada diantara kami, melihat kami yang sedang berdebat tentang nyatanya Embun, mendengarkan kami yang tidak pernah sejalan tentang menafsirkan arti berpura-pura. Aku dan Embun semakin dekat. Embun menyebut namanya Harr. Kami bercerita banyak hal sampai kepada suatu hal yang menunjukkan semakin banyaknya perbedaan karakter antara Embun dan Dia. Ntah karena apa Harr bercerita tentang Hitler, seorang politisi Jerman dan Ketua partai Nazi. Siapa yang tidak mengenal Hitler? Hitler terkenal sebagai sang diktator, biang keladi pecahnya Perang Dunia II. Berbeda dengan Harr, Hitler menjadi idola favoritnya.

Waktu itu aku tertarik untuk mempermasalahkan idolanya. Aku katakan padanya bahwa Hitler adalah orang yang kejam. Terjadi pembantaian massal kaum Yahudi oleh Hitler, membuat kamar gas untuk membunuh orang yang ada di dalamnya, jutaan orang di kurung dan mengalami pelecehan, dan hal ini bukan suatu yang tidak serius. Mendengar responku lalu dia bercerita bahwa Hitler adalah seorang yang pemberani dan memiliki tekad yang kuat, karena Hitler lah yang mampu membangun kembali Jerman dari keterpurukan akibat kekalahan mereka di Perang Dunia I. "Aku ingin seperti Hitler. Tapi aku selalu kalah dengan hati." Kata Harr dengan suara yang pelan. "Aku berusaha mengerti maksud pembicaraan Harr. "Tidak sedikit orang yang menilai dari kesalahan. Padahal mereka mengerti bahwa setiap hal selalu memiliki antonim. Mereka memilih untuk menutup mata dari kenyataan. Sepertimu, kenyataan yang tidak pernah kau terima bahwa kau berpura-pura menyukaiku. Kesalahan Hitler, dikenang besar. Tapi kegigihan dia? Bukankah disetiap sisi buruk seseorang pasti ada sisi baik? lalu hal apa yang menjadi tidak wajar dari Hitler sehingga kau begitu membencinya?" sambung Harr membuat aku semakin bingung.

"Maksudmu, kau ingin berani dan memiliki tekad kuat untuk menyampaikan perasaanmu kepada seorang yang kau sebut itu? Lalu memerangi hatimu yang selama ini sebenarnya tidak sabar dengan rindu. Kau rampas dan kau bantai semua perasaan sedihmu itu? Analogi imajinasi dari kata-katamu, begitukah?" responku untuk memperjelas pembicaraan ini. "Tentang aku yang berpura-pura menyukaimu? Kau tidak usah ikut campur. Ini masalahku. Aku sedang bermain dalam imajinasiku seperti yang sekarang kau lakukan padaku."sambungku dengan suara yang sedikit terdengar parau. "Baiklah. Kita biarkan saja imajinasi bergelut sesukanya. Aku tidak keberatan dengan keputusanmu." jawab Harr gemetar. Lalu aku meninggalkan Harr, Embun yang pernah aku dambakan di setiap pagi karena aku pikir mirip dengan Dia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun