Tahanan lebih dua tahun ini adalah menjadi salah satu mata rantai kalung keemasan yang ditatahkan pada leher sejarah hidup saya. Ia menjadi lebih indah lagi karena kezaliman dan fitnah ini baru menimpa saya setelah tanah air saya merdeka! (Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar).
Ayah adalah seseorang yang gampang sekali terharu dan menitikkan air mata. Terutama kalau sudah mengingat kebesaran dan kekuasaan Tuhan.
Hampir setiap shalat Maghrib di akhir bulan Sya'ban atau sehari sebelum tibanya puasa, dia menangis saat shalat ketika membaca ayat, suaranya tertahan-tahan menyambut tibanya bulan suci itu. Setiap hari dia membaca Al-Qur'an, adakalanya dia menangis seorang diri. Ketika sampai pada satu ayat yang menggugah hatinya, dia berhenti untuk menghapus air matanya.
Begitu pun tatkala berkhutbah, pidato di atas mimbar. Gampang benar air matanya keluar, berkali-kali dia mengulang sabda Nabi Saw. yang berbunyi:
"Bahagialah orang yang beriman kepadaku dan melihat wajahku. Tapi tujuh kali lebih bahagia orang yang beriman kepadaku, meskipun dia tidak melihat wajahku."
Biasanya jika dia mengulang hadis itu, dilanjutkan dengan riwayat pertanyaan sahabat Nabi Saw.:"Bagaimana engkau mengetahui umatku yang tak pernah engkau kenal itu?"
Lalu Ayah membaca ayat, "Simahum fi wujuhihim min astaris sujud." (tampak bekas sujud di wajah mereka). Ayah menangis setiap menceritakan hadis dan riwayat itu.
Pada waktu umrah 1976 di bulan Ramadhan, tatkala kami sedang berdoa di makam Nabi Ibrahim, kami melihat Almarhum K.H. Bisri Samsuri Rais Aam NU, tawaf seorang diri, dengan langkah-langkah tuanya. Ayah memperhatikan orang tua yang saleh itu. Dia patut menjadi contoh dari ulama-ulama muda.
"Ayah ingin menjadi orang sesaleh kiai itu," kata Ayah dengan air mata yang berlinang. Ayah juga kerap menangis bila teringat ayahandanya, Syaikh Abdul Karim Amrullah.
"Sayang Ayah tak sempat bergaul intim dengannya," ceritanya.
"Dia adalah orang besar di kalangan umat, sehingga perhatian kepada anak-anaknya kurang."