Mohon tunggu...
Tiar Garusu
Tiar Garusu Mohon Tunggu... Penulis - Pemikir

Pembina di Komunitas Literasi Candu Buku, Palu. Pengajar di Al Ikhwan Institute

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keteladanan Buya Hamka

12 Februari 2022   05:55 Diperbarui: 12 Februari 2022   05:59 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masyarakat mengetahui bahwa di antara Sutan Mangkuto dan Ayah, ada pertentangan pendapat dalam organisasi, mungkin juga ada pertentangan pribadi. Untuk menghindari pertentangan itu, Ayah "menyingkir" beberapa lama ke daerah Riau. Namun kemudian, buru-buru kembali ke Padang Panjang karena sangat terkejut mendengar berita bahwa S.J. Sutan Mangkuto terlibat Perkara 3 Maret itu, dan ditahan di rumah tahanan militer Bukittinggi. Ketika setahun kemudian perkara itu dibawa ke Mahkamah, Ayah menyediakan dirinya menjadi pembela, sedangkan semua orang tahu bahwa dia bukan ahli hukum. Perkara itu berhasil dimenangkannya dengan bebasnya seluruh komplotan yang menjadi tertuduh.

"Apa yang mendorong Buya tampil membela perkara itu?" tanya salah seorang muridnya.

Ayah menjawab, "Pertama, karena saya melihat ada usaha-usaha dari pihak lain yang hendak mendiskreditkan Masyumi dan Muhammadiyah menjadi dalang peristiwa itu. Kedua, S.J. Sutan Mangkuto saudara seperjuangan saya dalam Muhammadiyah." 

Dan, Ayah lagi-lagi mengenang hubungannya dengan Sutan Mangkuto.

Demikianlah Buya HAMKA, dia memang orang yang tak pandai berdendam.

Banyak yang bisa saya ceritakan, misalnya ucapan Tengku Jafisham kepada saya tatkala bertemu di lapangan udara Polonia Medan pada 1981, "Ayah saudara adalah seorang yang berbeda paham dengan saya. Kami selalu bertentangan, tapi dia tak pernah dendam. Dan bila bertemu, kami selalu merasa sebagai sahabat."

Tengku yang menjadi pemimpin NU, menceritakan hal itu kepada saya tatkala menghadiri MUNAS Ulama NU di Kaliurang, September 1981. Katanya lagi, dia bertemu dengan Ayah, sebulan sebelum Ayah meninggal di rumah jalan Raden Patah. Begitu bertemu, mereka berangkulan dan sama-sama menangis.

"Meski berbeda paham, dia sahabat baik saya."

Itulah beberapa tabiat Ayah, yang barangkali menyebabkan dirinya menjadi seorang pengarang yang amat peka dalam menangkap kesan, dan menuangkan dalam bentuk tulisan.

Satu kebiasaan yang lain, kedua jari telunjuknya tak pernah diam. Bila duduk seorang diri atau bersama orang lain, kedua jari itu seperti sedang mengetik atau menulis. Kadang-kadang di atas tangan kursi, kadang-kadang di atas meja, atau piring makan. Bahkan menjelang ajalnya, kedua jarinya itu bergerak-gerak terus seperti kebiasaan waktu sehat.

Ada orang yang memperhatikan kedua jari itu waktu Ayah sakit. Katanya, Buya seolah-olah menulis "MPR". Namun, Adinda Afif yang memperhatikan arah dan gerak jarinya itu, membantahnya. Yang ditulis Ayah, ialah, "Allah", karena gerak itu dari kanan ke kiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun