Mohon tunggu...
Tiar Garusu
Tiar Garusu Mohon Tunggu... Penulis - Pemikir

Pembina di Komunitas Literasi Candu Buku, Palu. Pengajar di Al Ikhwan Institute

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keteladanan Buya Hamka

12 Februari 2022   05:55 Diperbarui: 12 Februari 2022   05:59 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kadang-kadang, Ayah didatangi oleh kakak perempuannya, Ummi Fathimah, istri Buya Sutan Mansur yang sudah mendekati umur 80 tahun, atau adiknya, Asma yang sepanjang hidupnya selalu kekurangan. Kedua saudara perempuannya itu diciumnya sambil meneteskan air mata.

Sahabatnya, Buya Zainal Abidin Syu'aib, yang kami panggil Buya Zas, kerap datang dari Padang, singgah dan makan di rumah. Mereka membicarakan keadaan negeri asal mereka Minangkabau, tentang ulama-ulama yang sudah makin menipis, pergaulan pemuda-pemudi yang sudah sangat bebas, adat yang tak dihiraukan lagi dan berita-berita kejahatan yang memenuhi koran-koran setiap hari.

Cerita-cerita sambil lalu itu pun bisa membuat Ayah menitikkan air mata. Terkadang saya merasa Ayah berlebihan dalam rasa harunya, cepat sekali mengeluarkan air mata.

Saya teringat tatkala mantan Presiden Soekarno meninggal. Ayah tentu belum melupakan bahwa Soekarno dipuncak kekuasaannya sangat membenci dan menaruh dendam kepadanya.

Pidato Ayah di dalam Sidang Konstituante yang menolak konsepsi Soekarno, pasti sangat menyakitkan hatinya.

Satu kali Soekarno bicara, "Kapan kita mulai menggali api Islam?"

Ayah dalam kesempatan lain menjawab, "Tunggu tanggal mainnya!"

Tentang konsepsi Demokrasi Terpimpin, Kabinet Kaki Empat yang menjadi gagasan Soekarno, dikatakan olehnya sendiri: "Itulah jalan lurus, assirathal mustaqim."

Tapi Ayah menjawab, "Itulah Assirat ilal jahim", alias jalan menuju neraka.

Selanjutnya seperti telah kita ketahui, Soekarno kemudian membungkam dan menangkap Ayah selama hampir 3 tahun. Namun mendengar Soekarno sakit dalam situasi kritis, Ayah menangis. Bahkan dia mengimami shalat jenazah Soekarno. Dia tak peduli kritik dan celaan orang banyak atas perbuatannya itu. Setelah meninggalnya Soekarno, tidak pernah saya dengar Ayah mencela kehidupan Soekarno. Seolah-olah dia benar-benar telah lupa bahwa Soekarnolah yang menangkapnya berdasarkan undang-undang anti subversi yang terkenal dengan nama Penpres No. 11 itu.

Dan bukan cuma kepada Soekarno, terhadap pendukung Soekarno yang menjebloskannya ke dalam tahanan, dia bisa bersikap baik sampai akhir hayatnya. Saya teringat sekitar tahun 1974 di Bukittinggi, tatkala Ayah menjadi pembela peristiwa perkara politik yang terkenal di Sumatra Barat, "Peristiwa 3 Maret". Salah seorang yang terlibat perkara itu dan diadili di depan Mahkamah, ialah Almarhum S.J. Sutan Mangkuto, seorang tokoh Muhammadiyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun