Mohon tunggu...
Tiara May Sari
Tiara May Sari Mohon Tunggu... Mahasiswi

mahasiswi universitas mulawarman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Terowongan Samarinda: Lebih Dari Sekedar Proyek Infrastruktur, Ini Tentang Kolaborasi

12 Oktober 2025   00:06 Diperbarui: 12 Oktober 2025   00:06 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Samarinda hari ini sedang berubah. Kota yang dulu identik dengan sungai Mahakam dan lalu lintas yang padat kini mulai menata dirinya menjadi kota yang lebih terhubung, efisien, dan modern. Salah satu simbol dari perubahan itu adalah Terowongan Samarinda, proyek besar yang menghubungkan kawasan Jalan Sultan Alimuddin dan Jalan Kakap, melewati perbukitan Gunung Manggah.

Proyek ini bukan hanya soal membangun jalan bawah tanah. Lebih dari itu, ini adalah gambaran bagaimana sebuah kota belajar berkolaborasi. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sama-sama menjadi bagian dari perjalanan panjang pembangunan terowongan pertama di Kalimantan ini.

Samarinda dan Tantangan Mobilitas Kota
Sebagai ibu kota Kalimantan Timur, Samarinda terus berkembang menjadi pusat ekonomi baru. Sayangnya, perkembangan ini juga membawa masalah klasik: kemacetan lalu lintas. Pertumbuhan kendaraan tidak sebanding dengan kapasitas jalan, dan titik-titik padat seperti Gunung Manggah sudah lama jadi keluhan warga.

Menjawab masalah itu, pemerintah kota menggagas pembangunan Terowongan Selili pada tahun 2022. Dengan panjang sekitar 700 meter dan biaya sekitar Rp395 miliar, proyek ini sepenuhnya didanai dari APBD Kota Samarinda dan dikerjakan oleh PT Pembangunan Perumahan (PTPP). Targetnya, pertengahan 2025, terowongan ini bisa dilalui warga.

Namun, seperti proyek publik lainnya, perjalanan terowongan ini tidak selalu mulus. Ada perencanaan teknis yang rumit, pembebasan lahan yang sensitif, hingga koordinasi antar instansi yang sering kali menantang. Dari sinilah cerita kolaborasi itu dimulai.


Kolaborasi di Balik Beton dan Aspal

Di atas kertas, pemerintah kota memang menjadi penanggung jawab utama proyek ini. Tapi pada praktiknya, ada banyak pihak lain yang ikut terlibat. Pemerintah provinsi harus ikut turun tangan, terutama karena sebagian area proyek beririsan dengan aset milik daerah, seperti lahan sekitar Rumah Sakit Islam Samarinda. Proses administrasi yang belum tuntas sempat membuat pekerjaan dihentikan sementara.

Situasi ini memperlihatkan satu hal: pembangunan publik tidak bisa dikerjakan sendiri.
Keterbatasan sumber daya, waktu, dan kewenangan membuat pemerintah harus berjejaring. Di situlah muncul sinergi antara banyak aktor, mulai dari pemerintah daerah, perusahaan pelaksana proyek, hingga masyarakat yang terdampak.

Namun, kolaborasi bukan berarti tanpa tantangan. Di lapangan, muncul beragam pandangan. Pemerintah ingin proyek selesai cepat, kontraktor fokus pada efisiensi dan standar teknis, sementara masyarakat berharap tidak ada dampak lingkungan atau sosial yang diabaikan. Perbedaan kepentingan inilah yang membuat proses pembangunan menjadi ajang negosiasi yang panjang.

Belajar dari Tantangan Tata Kelola
Kendala terbesar dalam proyek publik sering kali bukan soal teknologi, tetapi soal koordinasi dan komunikasi.
Terowongan Samarinda membuktikan hal itu. Di tengah proyek yang berjalan, ada banyak tumpang tindih kebijakan antar lembaga. Pemerintah kota, provinsi, hingga kementerian harus duduk bersama untuk menyamakan langkah. Di sinilah muncul nilai kolaborasi yang sesungguhnya: bekerja bersama, bukan bekerja sendiri.

Meski begitu, pemerintah kota tetap berupaya menjaga transparansi. Melalui Dinas Kominfo, perkembangan proyek rutin diumumkan kepada publik. Pada akhir 2024, progres fisik dilaporkan sudah mencapai 85 persen, dan Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menegaskan bahwa keselamatan warga tetap menjadi prioritas utama.
"Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi," ujarnya saat meninjau lokasi pembangunan yang sempat mengalami longsor.

Namun, komunikasi satu arah saja tidak cukup. Sebagian warga masih menilai sosialisasi pemerintah belum sepenuhnya menyentuh masyarakat terdampak. Harapan publik jelas: kolaborasi harus dirasakan, bukan hanya diumumkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun