Mohon tunggu...
Tiara Fitriyani
Tiara Fitriyani Mohon Tunggu... Freelancer - sedikit cemas, banyak tertawanya

satu-satunya jalan untuk mendapatkan jawaban adalah dengan mencoba

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Hubungan antara Patah Hati dan Berat Badan

8 Oktober 2019   15:15 Diperbarui: 8 Oktober 2019   19:23 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Unsplash.com Riley Briggs @rileybriggs

Sampai di sini, saya bisa simpulkan bahwa sulit tidur yang saya alami selama beberapa bulan setelah kejadian keputusan ternyata merupakan reaksi biologis yang bisa dijelaskan oleh sains, bukan hanya karena saya masih menginginkan si dia. 

Gejala lain yang juga muncul dan menjadi dalang penurunan berat badan saya adalah hilangnya nafsu makan. Normalnya, saya bisa sarapan nasi uduk, makan siang ayam geprek plus tahu dan tempe, dan makan malam nasi goreng.

Namun setelah patah hati, saya hanya sanggup makan setengah porsi makanan berat satu kali sehari, itu pun karena saya diingatkan oleh asam lambung saya yang sudah sampai leher dan terasa di mulut. 

Tenang, hilangnya selera makan saya bukan karena tidak ada yang menemani makan. Menurut wawancara jurnalis Iris Bouwmeester dengan Gert ter Horst, seorang profesor neurobiologi sekaligus Direktur Neuroimaging Center di Groningen, perubahan nafsu makan adalah salah satu mekanisme tubuh untuk merespons patah hati. 

Mengutip kata-kata sang profesor, kehilangan cinta menimbulkan stres, sehingga secara biologis tubuh kita bereaksi dengan melakukan hal-hal yang dilakukan untuk merespons stres secara umum.

Detak jantung menjadi lebih tinggi, kadar hormon kortisol dan adrenalin dalam tubuh pun meningkat. Akibatnya, kita jadi susah tidur dan perut terasa tidak nyaman namun terus menolak diisi makanan.

Episode menolak makan ini terjadi karena tubuh kita masuk ke dalam mode survival. Tanda-tandanya adalah sistem syaraf menjadi lebih awas, pupil membesar, dan detak jantung meningkat. Dalam mode ini, makan menjadi kebutuhan sekunder. 

Tak hanya itu, makanan favorit pun tak lagi menggiurkan karena ternyata bagian otak yang bertanggung jawab atas emosi adalah regulator atas cara makan, kebutuhan akan makanan, dan rasa makanan yang kita kecap juga. 

Lebih canggih lagi, tubuh pun merespon kondisi ini dengan menekan rasa lapar lewat penyempitan dan relaksasi otot di dalam perut dan usus yang membuat pencernaan makanan menjadi lebih lambat. Betapa tubuh pun berkonspirasi untuk menjaga kita tetap bertahan di suasana hati yang hancur sejadi-jadinya. Hebat, bukan?

Masih menurut Horst, tantangan justru hadir ketika selera makan sudah kembali. Tubuh kita yang beberapa waktu belakangan sedang dalam mode survival dan tertekan, kini menginginkan lebih banyak kalori. Pizza, ayam goreng, dan minuman manis pun menjadi pilihan makanan untuk proses pemulihan ini. Jika tidak hati-hati, hal ini bisa menjadi bumerang dan menggeser jarum timbangan terus ke kanan. 

Satu hal yang untungnya saya sadari saat itu adalah suasana hati saya bukan hanya ditentukan oleh faktor eksternal, namun juga faktor internal biologis berupa hormon. Berdasarkan analisis bodoh-bodohan saya, putus cinta membuat hormon saya tidak karuan dan kadar kortisol saya meningkat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun