Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang diskusi publik yang amat besar. Namun, ironisnya, tidak semua orang merasa bebas menyuarakan opininya di sana. Fenomena ini dikenal sebagai "Spiral Keheningan", sebuah teori komunikasi yang diperkenalkan oleh Elisabeth Noelle-Neumann pada tahun 1974. Teori ini menjelaskan bagaimana individu memilih untuk diam karena takut dikucilkan akibat perbedaan pendapat. Ketika seseorang merasa pandangannya bertentangan dengan mayoritas, ia cenderung menghindari diskusi publik. Dalam konteks media sosial, hal ini berarti banyak pengguna lebih memilih menjadi "pengamat pasif" daripada "partisipan aktif".
Fenomena Spiral Keheningan semakin relevan ketika dikaitkan dengan iklim digital yang sering kali tidak ramah. Komentar bernada kebencian, doxing, hingga pembatalan (cancel culture) adalah risiko nyata yang dihadapi pengguna saat menyampaikan opini yang berbeda. Menurut Noelle-Neumann (1974), kecenderungan untuk diam ini berasal dari ketakutan akan isolasi sosial, yang dalam konteks digital dapat berupa perundungan atau pengucilan daring. Ketika individu merasa opini mereka tidak populer, mereka akan berhenti menyuarakan pendapat demi menjaga kenyamanan sosial. Hal ini menyebabkan dominasi narasi tertentu dan mematikan keberagaman suara dalam diskursus publik.
Dari perspektif psikologi komunikasi, Spiral Keheningan berkaitan erat dengan persepsi individu terhadap opini mayoritas. Persepsi ini terbentuk melalui observasi terhadap lingkungan komunikasi, baik daring maupun luring. Menurut Arifin (2011), komunikasi dipengaruhi oleh faktor internal seperti emosi, persepsi, dan motivasi, serta faktor eksternal seperti lingkungan sosial. Dalam kasus media sosial, persepsi terhadap opini mayoritas terbentuk dari jumlah likes, komentar, dan retweet yang terlihat jelas secara kuantitatif. Akibatnya, individu tidak lagi menilai kebenaran dari isi pesan, tetapi dari seberapa banyak orang yang mendukung pesan tersebut.
Implikasi dari Spiral Keheningan dalam kehidupan demokratis cukup serius. Ketika opini minoritas tidak mendapat ruang, maka diskursus publik menjadi timpang. Demokrasi yang sehat seharusnya mengakomodasi berbagai pandangan, termasuk yang tidak populer. Namun, ketika pengguna media sosial merasa suara mereka tidak aman, maka partisipasi publik menjadi selektif dan tidak merata. Menurut McQuail (2011), komunikasi massa idealnya menjadi arena pertukaran pendapat yang seimbang dan terbuka. Jika tidak, maka yang terjadi adalah dominasi opini yang semu, bukan konsensus yang sejati.
Mengatasi Spiral Keheningan di media sosial memerlukan pendekatan dari dua arah: individu dan platform. Dari sisi individu, perlu adanya penguatan literasi komunikasi dan keberanian dalam menyampaikan pendapat secara etis. Menurut Sams (2010), hasil belajar adalah suatu kemampuan yang berupa keterampilan dan perilaku baru sebagai akibat dari latihan atau pengalaman yang diperoleh. Dalam hal ini, kemampuan menyampaikan opini secara santun dan argumentatif adalah keterampilan yang bisa diasah. Sementara itu, dari sisi platform, penting untuk menyediakan ruang diskusi yang aman, seperti fitur moderasi komentar atau algoritma yang tidak hanya mengutamakan viralitas.
Selain itu, Spiral Keheningan juga menunjukkan bagaimana opini publik bisa dikonstruksi secara tidak alami. Jika hanya opini mayoritas yang terlihat, maka muncul kesan seolah-olah semua orang sepakat, padahal kenyataannya tidak demikian. Menurut Katz dan Lazarsfeld (1955), opini publik sangat dipengaruhi oleh opinion leader, yaitu individu yang memiliki pengaruh besar terhadap orang lain dalam lingkungannya. Di media sosial, mereka adalah para influencer, selebtweet, atau tokoh publik yang bisa membentuk persepsi dominan. Oleh karena itu, penting bagi opinion leader untuk membuka ruang dialog, bukan sekadar menyuarakan pendapat sepihak.
Sebagai penutup, Spiral Keheningan bukan hanya sekadar teori klasik, tetapi realitas yang semakin kuat di tengah kemajuan teknologi komunikasi. Masyarakat digital harus menyadari bahwa kebebasan berpendapat bukan hanya soal legalitas, tapi juga soal keberanian dan rasa aman. Ketika orang-orang mulai memilih diam, maka ruang publik kehilangan fungsinya sebagai tempat pertukaran ide. Tugas kita bersama adalah menciptakan iklim komunikasi yang inklusif, agar setiap suara, sekecil apapun, dapat didengar tanpa rasa takut. Sebab dalam keberagaman pandangan, di situlah kekuatan demokrasi sesungguhnya.
Daftar Pustaka: