Drama adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengeksplorasi konflik dan emosi manusia melalui sebuah dialog, aksi, dan ketegangan. Sebuah naskah drama biasanya ditulis sejalan dengan tujuan untuk dipentaskan. Ketika masih berbentuk naskah, drama termasuk kedalam sebuah karya sastra, sedangkan ketika dipentaskan drama termasuk kedalam seni pertunjukan.
Sebuah drama biasanya dipentaskan dalam suatu pergelaran, menurut Muhyani pergelaran adalah sebuah media agar rasa, cipta, dan karsa manusia dapat diekspresikan. Pergelaran didefinisikan juga sebagai sebuah kegiatan yang bertujuan untuk memperkenalkan atau menunjukkan hasil karya seni musik, tari, drama/teater dan lainnya kepada masyarakat luas.
Di Universitas Pendidikan Indonesia atau lebih tepatnya di departemen pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, pergelaran diadakan setiap satu tahun sekali sebagai sebuah bentuk kreativitas dan aktualisasi mahasiswa dalam berkarya dan berinovasi.
Salah satu drama yang berhasil menarik perhatian saya untuk diapresiasi setelah menonton pergelaran sastra selama 4 hari berturut-turut adalah drama berjudul “1&3” atau dibaca “Siji dan Telu” yang dipentaskan oleh kelas Dik 4-C.
Drama “Siji dan Telu” merupakan sebuah alih wahana dari puisi “Pada Suatu Hari Nanti” Karya Sapardi Djoko Damono. Meskipun merupakan sebuah alih wahana, penulis naskah dalam drama ini menambahkan nilai adat dan budaya Jawa yang semakin meningkatkan daya tarik dari drama ini.
Drama “Siji dan Telu” yang dipentaskan oleh mahasiswa program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia kelas 4-C ini menceritakan mengenai perjalanan kisah cinta antara tokoh Ajeng dan Bima yang tidak mendapatkan restu karena sebuah mitos dalam adat Jawa yang masih dipercayai dan dipegang erat oleh kedua keluarga, baik keluarga Ajeng maupun Bima.
Pementasan drama yang naskahnya ditulis oleh Dilla Nur’asa, Kayla Nafrani Damayanti, dan Sofia Ihsani Muhammad ini diawali dengan adegan dimana tokoh Diajeng Sekar Ayu atau Ajeng yang diperankan oleh Kayla Nafrani hendak memberitahukan kabar mengenai hubungan yang tengah dijalaninya dengan Bima Setiadi yang diperankan oleh Ilham Nurhusein yang merupakan seorang penulis populer kepada keluarganya, yaitu pada Eyang yang diperankan oleh Yuza Yushita, Romo yang diperankan oleh Ivan Yeremia, Ibu yang diperankan oleh Layyina Erwida, dan Kusuma—diperankan oleh Shofa Sadrina—yang merupakan Bude dari Ajeng.
Ajeng hendak memberitahukan kabar mengenai kemungkinan besar hubungannya dengan Bima akan beranjak ke jenjang yang lebih serius. Reaksi berbeda ditunjukkan oleh keluarganya ketika mendengar kabar tersebut, akan tetapi pada akhirnya Eyang menyarankan Ajeng untuk segera mengundang Bima dan keluarganya untuk datang ke rumah mereka.
Konflik dimulai ketika pertemuan kedua keluarga berlangsung, saat Eyang bertemu dengan Bintari—diperankan oleh Dilla Nur’asa—dan mengetahui fakta bahwa Bima adalah seorang anak pertama. Berbagai pertentangan muncul dari Eyang dan Ibu Ajeng, begitu pula ketika Ibu Bima—diperankan oleh Sylvia Azzahra—mengetahui bahwa Ajeng merupakan anak ketiga di keluarganya, Ibu Bima juga tak segan-segan ikut menentang hubungan antara putranya dengan Ajeng.
Pertentangan-pertentangan itu muncul sebab para tetua baik di keluarga Ajeng maupun Bima masih memercayai dan memegang erat mitos adat Jawa yang mengatakan bahwa pernikahan jilu (siji dan telu) tidak boleh dilaksanakan. Mitos larangan pernikahan jilu adalah sebuah larangan dimana seorang anak pertama tidak boleh menikah dengan anak ketiga, karena hal tersebut dipercaya akan menimbulkan sebuah penderitaan dan kemalangan.
Sebagai pasangan muda, Ajeng dan Bima jelas tidak bisa menerima alasan pertentangan yang diberikan oleh keluarga mereka. Malam hari setelah pertemuan kedua keluarga, Bima menghubungi Ajeng melalui telepon, malam itu mereka memutuskan untuk melanggar larangan dari keluarganya dan memutuskan akan tetap menikah secara diam-diam atau yang biasa disebut dengan kawin lari.
Pagi hari setelah Ajeng pergi secara diam-diam dari rumah, keluarga Ajeng menjadi gempar sebab Ibu Ajeng menemukan surat yang ditulis oleh Ajeng yang berisikan pesan mengenai keputusan Ajeng untuk pergi dari rumah bersama Bima. Keluarga Ajeng dan Ibu Bima sama-sama tak menyangka dengan keputusan yang diambil oleh putra dan putri mereka, di tengah perbincangan kedua keluarga tersebut Bintari—adik Bima—mengabarkan bahwa ia mendapatkan pesan dari sebuah nomor tidak dikenal bahwa sang kakak telah melangsungkan pernikahan, kabar tersebut jelas lagi-lagi membuat kedua keluarga terkejut bukan main, berbagai reaksi kembali muncul baik dari keluarga Ajeng maupun Ibu Bima. Setelah resmi menikah, berbekal dari uang tabungan Bima, sepasang suami istri baru itu memutuskan untuk tinggal di sebuah kontrakan kecil yang lokasinya lumayan jauh dari kediaman Ajeng dan Bima.
Beberapa bulan setelah menikah, kebahagiaan Bima semakin bertambah dengan kabar kehamilan Ajeng. Dalam kehidupan, selain suka tak lengkap rasanya jika tak ada duka. Seiring berjalannya waktu, masalah mulai muncul dalam kehidupan pernikahan Ajeng dan Bima, salah satunya adalah kondisi kesehatan Bima yang semakin hari semakin memburuk, kabar tersebut bahkan telah menyebar di kalangan tetangga, warga sekitar, hingga akhirnya sampai pada telinga kedua keluarga. Bu Kusuma bersama teman-temannya, Bu As yang diperankan oleh Novita Triani dan Bu Yur—diperankan oleh Yunita Lestari Putri—saling bergosip ria dan diam-diam mengamini bahwa apa yang dialami oleh Ajeng dan Bima saat ini adalah sebuah karma buruk dari perbuatannya yang melanggar adat.
Semakin memburuknya Kesehatan Bima membuat kekalutan pikiran Ajeng semakin bertambah, kondisi kontrakan Ajeng dan Bima berubah menjadi sendu dan kelam. Dalam pangkuan Ajeng, Bima berusaha menenangkan sang istri dengan kata-katanya. Pada adegan ini kita dapat menemukan adanya keterkaitan antara naskah drama dengan puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono, hal tersebut dapat dilihat dari dialog yang disampaikan oleh Bima kepada sang istri. Berikut kutipan dialog Bima kepada sang istri: Membersamai kamu adalah kewajibanku. Seandainya pada suatu hari nanti, jasadku tak ada lagi, Diajeng Sekar Ayu Istriku, pun anak kita kelak, kalian tak akan kubiarkan sendiri untuk menghadapi kerasnya hidup yang fana ini. Di tengah keheningan dalam rumah kontrakan kecil mereka, Ajeng merasakan ada perubahan pada kondisi tubuh Bima yang mulai terkulai lemas, kepanikan muncul dan Ajeng mulai histeris ketika menyadari kondisi Bima.
Kabar kematian disampaikan oleh Bintari kepada sang Ibu, hal tersebut jelas membuat Ibu Bima menangis histeris ketika mendapatkan kabar kematian sang putra. Sedangkan di kediaman keluarga Ajeng, Mas Salah—diperankan oleh Rizky Dharmawan—yang merupakan seorang asisten rumah tangga lah yang menyampaikan kabar buruk tersebut. Konflik kembali muncul ketika Ibu Bima melimpahkan kekesalannya pada Ajeng yang semakin membuat Ajeng merasa tertekan dan sedih. Rasa sedih semakin terasa ketika suatu hari Ajeng menemukan sebuah surat yang ditulis oleh Bima untuk Ajeng, surat tersebut berisi mengenai ungkapan hati Bima akan rasa sayangnya pada Ajeng yang sangat besar dan tulus. Pada adegan ini, kembali ditemukan bentuk alih wahana dari puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono kedalam dialog yang tertulis dalam surat.
Pementasan drama “1&3” ini sangat menarik, selain karena naskahnya yang merupakan alih wahana dari salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono yang memiliki makna mendalam, yaitu mengenai kematian. Drama ini juga mengandung informasi mengenai mitos yang dipercayai oleh suatu adat, yaitu mitos larangan pernikahan siji dan telu dalam adat Jawa. Hal tersebut menjadi nilai tambahan dari drama ini, karena selain menghibur, drama ini juga dapat menambah pengetahuan baru bagi para penontonnya. Akting dari para aktor yang berperan dalam pementasan ini berhasil membuat saya terkesan dan terbawa perasaan. Kesesuaian antara watak dan sifat dari masing-masing tokoh dalam drama dengan akting, pembawaan, dan bentuk fisik dari para aktor merupakan hal yang perlu diapresiasi.
Alur cerita yang diangkat dalam drama ini ringan juga menarik. Ringan karena cerita yang terkandung dapat dengan mudah dimengerti oleh para penonton, dan menarik karena mengangkat mengenai suatu mitos yang banyak dipercayai oleh orang Jawa, yaitu larangan dilaksanakannya pernikahan jilu (siji dan telu). Unsur romantis yang terkandung dalam drama ini berhasil membuat para penonton ikut tersipu ketika adegan tersebut dipentaskan. Selain itu, dalam drama ini juga terdapat unsur komedi yang berhasil membuat para penonton tertawa dan tidak merasa bosan atau mengantuk ketika menonton pementasan.
Konflik awal dalam drama ini terjadi ketika pertemuan kedua keluarga dimulai, yaitu ketika Eyang mengetahui fakta bahwa Bima adalah anak pertama, dan Eyang menyatakan ketidaksetujuannya atas hubungan Ajeng dan Bima. Konflik puncak terjadi ketika Ajeng dan Bima memutuskan untuk kabur dari rumah dan menikah secara diam-diam. Kemudian konflik selesai dengan adanya kabar buruk mengenai kematian Bima yang meninggalkan Ajeng serta anak dalam kandungannya.
Pementasan drama ini berjalan dengan baik, mulai dari para aktor, alur cerita, penyutradaraan, properti, tata panggung, dan tata rias selama pementasan. Para aktor yang terlibat memiliki kemampuan bermain peran yang sangat baik, chemistry yang dimiliki oleh para tokoh terutama tokoh Ajeng dan Bima menjadi nilai tambahan dari drama ini. Aktor-aktor dalam drama ini berhasil menyampaikan pesan yang hendak disampaikan oleh penulis dengan baik. Penguasaan bahasa dan dialek Jawa yang dikuasai oleh para aktor merupakan salah satu hal yang berhasil membuat saya kagum, terlebih lagi setelah diberitahukan bahwa sebagian besar aktor yang berperan dalam drama ini merupakan orang Sunda. Proses berlatih dialek Jawa yang dilakukan oleh para aktor diketahui memakan waktu selama berbulan-bulan, konsistensi para aktor dalam berlatih menjadi salah satu faktor yang mendorong berhasilnya mereka berbicara dengan dialek seperti orang Jawa asli ketika mementaskan drama.
Secara fisiologis tokoh Bima memiliki perawakan tinggi, tampan, dan berpakaian rapi. Secara sosiologis tokoh Bima merupakan seorang penulis yang cukup populer, merupakan seorang anak pertama, dan suami dari Ajeng. Sedangkan secara psikologis, Bima merupakan seorang lelaki yang sopan, pintar, ramah, berkeinginan kuat, setia, dan penyayang. Tokoh Ajeng secara fisiologis merupakan seorang wanita berusia 23 tahun yang bertubuh ramping, tinggi, dan berparas cantik. Secara sosiologis tokoh Ajeng merupakan seorang putri ketiga dari keluarga keturunan keraton dan istri dari Bima. Secara psikologis, Ajeng bersifat lemah lembut, setia, penyayang, dan berkeinginan kuat. Tokoh Eyang secara fisiologis berperawakan seperti seorang nenek yang sudah tidak dapat berdiri dengan tegak dan berkulit keriput. Secara sosiologis, tokoh Eyang merupakan sosok yang dituakan dan paling dihormati di keluarganya, Eyang merupakan orang berada dan masih berdarah keturunan keraton. Secara psikologis, Eyang merupakan sosok penyayang, masih memegang teguh kepercayaan adat, dan tegas. Tokoh lain dalam drama ini dibawakan dengan baik oleh para aktor, pemilihan aktor oleh sutradara juga sudah sangat tepat dan pas.
Latar waktu yang ada dalam drama ini adalah masa kini, masa lampau dan masa yang akan datang. Latar waktu kini ditunjukkan dalam penceritaan kehidupan rumah tangga Ajeng dan Bima, latar waktu lampau adalah saat orang tua Ajeng menceritakan kembali mengenai kejadian hilangnya kakak Ajeng di masa lalu, dan latar waktu yang akan datang adalah ketika Ajeng mengatakan bahwa ia berjanji akan terus membersamai karya, anak mereka, dan keluarga Bima sampai akhir nanti. Selain itu, latar waktu dalam drama ini adalah pada siang hari, malam hari, dan pagi hari. Latar tempat dalam drama ini adalah ruang tengah rumah Ajeng, ruang tengah rumah Bima, serta rumah kontrakan Ajeng dan Bima.
Properti dan tata panggung yang ditampilkan pada saat pementasan terlihat memiliki effort dan sesuai dengan alur cerita, hal ini jelas menjadi nilai tambahan lain dari pementasan drama ini. Properti yang digunakan dalam pementasan drama ini adalah meja, kursi, gorden, figura, vas bunga, toples, kalender, kipas, buah pisang, kain lap, gelas, rak buku, buku, karpet, papan untuk latar, dan properti-properti lain yang menunjang kelancaran pementasan drama. Ruang yang ada di atas panggung juga berhasil dimanfaatkan dengan baik pada saat drama “Siji dan Telu” ini dipentaskan.
Teknis-teknis lain seperti penataan cahaya ditata dengan baik dan pas dalam setiap adegannya, tata musik dalam drama ini juga berhasil menambah penghayatan penonton ketika menonton pementasan drama. Selain itu, tata rias dalam pementasan drama ini, seperti make up dan baju yang dikenakan oleh para aktor terlihat bagus dan sesuai dengan alur cerita. Dapat dilihat dari make up Eyang yang berhasil merubah seorang mahasiswi menjadi seorang nenek-nenek, dan make up tokoh Ibu, Kusumah, dan teman-temannya yang berhasil merubah seorang mahasiswi menjadi terlihat tidak sesuai dengan umurnya. Jika ditilik lagi, baju yang digunakan oleh keluarga Ajeng dapat memperlihatkan status sosial mereka sebagai keluarga keturunan keraton, selain itu pergantian baju yang digunakan Ajeng setelah ia menikah dengan Bima juga dapat menggambarkan situasi ekonomi keluarga kecil mereka yang hidup secara sederhana.
Banyak nilai-nilai yang dapat diambil dari drama “Siji dan Telu” ini. Salah satunya adalah nilai sosial budaya mengenai adat kepercayaan, setelah menonton drama ini saya sebagai orang Sunda mendapatkan pengetahuan baru mengenai mitos kepercayaan adat Jawa yaitu larangan pernikahan jilu (siji dan telu). Pengetahuan baru lain yang saya dapatkan setelah menonton drama ini adalah saya jadi mengetahui beberapa kosakata baru dalam bahasa Jawa, seperti pisang yang dalam bahasa Jawa adalah gedhang, yang mana dalam bahasa Sunda gedang adalah pepaya. Ayah yang dalam bahasa Jawa adalah Romo, dan kosakata-kosakata berbahasa Jawa lainnya. Nilai sosial lain dapat pula dilihat dari adegan ketika para warga datang untuk bertakziah ke rumah Ajeng setelah mendengar kabar kematian Bima.
Nilai religius mengenai keyakinan juga terkandung dalam drama ini, secara tidak langsung drama ini mengajarkan mengenai pentingnya restu orang tua. Di samping adanya mitos pernikahan jilu, restu orang tua diyakini dapat membawa berkah dan keberuntungan dalam hidup, karena doa dan restu dari orang tua merupakan hal yang dapat meringankan setiap langkah yang kita ambil dalam kehidupan. Bahkan terdapat pepatah yang mengatakan bahwa restu orang tua adalah restu Tuhan. Nilai moral mengenai bagaimana sikap dan perilaku yang baik ketika berbicara dengan orang tua, dan nilai-nilai moral lainnya juga dapat ditemukan dalam drama ini.
Pementasan drama “Siji dan Telu” yang dipentaskan oleh mahasiswa program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia kelas 4-C pada tanggal 24 Mei 2023 di Gedung Amphiteater, Universitas Pendidikan Indonesia ini berjalan dengan lancar dan sukses. Penyutradaraan dalam pementasan ini berjalan dengan baik, keselarasan antara tim yang bekerja di belakang panggung dan para aktor yang berperan di atas panggung juga patut diapresiasi dan diacungi jempol. Selain berhasil menghibur, drama ini mengandung banyak informasi baru mengenai budaya kepercayaan dari suatu adat yang dapat menambah pengetahuan penonton.
Meskipun mengangkat kisah mengenai mitos adat Jawa, di akhir pementasan penulis menyampaikan bahwa pementasan drama ini tidak bertujuan untuk memengaruhi para penontonnya agar memercayai mitos larangan pernikahan jilu (siji dan telu), kepercayaan mengenai kebenaran dari mitos adat Jawa tersebut dikembalikan pada masing-masing penonton. Sebagai penonton, saya pribadi berharap drama ini dapat dipentaskan dalam pergelaran lain yang cakupan penontonnya lebih luas dan beragam, sehingga drama ini bisa semakin dikenal oleh masyarakat luas. Selain itu, semakin banyaknya pementasan drama yang berkualitas diharapkan dapat meningkatkan antusiasme masyarakat untuk menyaksikan sebuah pergelaran drama/teater yang dewasa ini sudah mulai banyak ditinggalkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI