Ben-Shahar menjelaskan bahwa ini seperti fenomena "destination addiction"---kita terlalu fokus pada destinasi, sampai lupa menikmati proses. Dan begitu destinasi itu tercapai, kita justru bingung: "lho, kok rasanya biasa aja, ya?"
Contohnya? Ya, seperti atlet olimpiade yang depresi setelah menang emas. Atau mahasiswa---seperti kita---yang udah jungkir balik ngerjain skripsi, begadang sambil nangis di depan laptop, terus setelah yudisium malah bengong di kasur sambil scroll TikTok dan merasa kosong.
Kondisi ini bukan mitos. Sebuah artikel di Psychology Today juga menyoroti hal serupa. Penulis dan psikolog klinis Dr. Abigail Brenner menyebutkan bahwa setelah menyelesaikan proyek besar atau melewati masa hidup yang menuntut fokus tinggi, seseorang bisa mengalami kehampaan emosional. Otak yang tadinya "sibuk banget" mendadak kehilangan aktivitas intensnya, dan akhirnya memicu rasa kehilangan arah.
Kalau dikaitkan dengan pengalaman saya, ya... itu terjadi banget. Setelah lulus, selesai skripsi, dan mulai kerja, saya kira saya akan merasakan hidup yang "akhirnya tenang". Ternyata, justru muncul kebingungan eksistensial. Yang kemarin ditunda---hobi, jalan-jalan, nongkrong, nonton one piece---semua gak terasa menggairahkan lagi. Kepala rasanya penuh pertanyaan, tapi kosong jawaban. Yang tersisa cuma kopi dingin di meja dan suara kipas angin yang gak menyelesaikan apa-apa, termasuk hawa panas kamar kos (yang sewanya sepertiga gaji) karena atapnya dari seng.
Ini bukan tentang kurang bersyukur. Ini tentang adaptasi. Tubuh dan pikiran kita butuh waktu untuk berdamai dengan 'kosongnya' tujuan baru. Dan tidak apa-apa kok merasa kosong sejenak. Itu bagian dari hidup yang sedang transisi. Semangat!!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI