Empat tahun (atau lebih... maaf kak nggak nge-judge) kuliah, jungkir balik ngerjain skripsi sambil nangis di bawah shower, ngopi sampai lambung protes, dan begadang demi ngejar deadline yang dosennya suka PHP. Semua pengorbanan itu demi satu tujuan: lulus, dapet kerja, hidup enak. Tapi kenyataannya? Setelah toga dilepas dan kontrak kerja ditandatangani, yang datang justru rasa... kosong, hampa. Seperti habis nonton film bagus tapi nggak ada sekuelnya. Ini kenapa, ya?
Setelah euforia wisuda dan pesta-pesta perpisahan yang membekas di galeri foto Instagram, banyak dari kita mungkin mengira hidup akan langsung penuh warna. Nyatanya, banyak yang justru merasa... hambar.Â
Dulu setiap hari sibuk revisi, sekarang sibuk cari tempat makan siang yang gak bikin kantong nangis. Dulu begadang karena deadline, sekarang begadang karena overthinking, "apa aku bahagia dengan hidupku sekarang?" Eh tunggu dulu, "memang biasanya apa yang bikin aku bagagia ya?"
Kehidupan pasca-lulus sering kali tidak serapi feed kampus kita. Dunia kerja ternyata tidak menyenangkan. Apalagi kalau kerjaan pertama kita bukan "kerjaan impian" seperti yang ditulis di biodata LinkedIn. Bisa jadi malah lebih mirip job simulasi versi kenyataan: gaji pas-pasan, tanggung jawab seabrek, dan rekan kerja yang kalau gak terlalu cuek, ya terlalu cerewet. Pahitnya lagi, harus ikut unpaid intern dulu saking ditolak sana sini, biar punya embel-embel pengalaman dulu lah minimal.
Ironisnya, di tengah semua itu, kita mulai merindukan rutinitas yang dulu kita keluhkan. Tugas kuliah, dosen killer, bahkan drama organisasi... semuanya terasa lebih familiar dibanding rasa sepi di kantor dan obrolan basa-basi dengan rekan kerja yang belum tentu ingat nama kita.
Ternyata, apa yang kita alami ini ada namanya lho: post-achievement emotional crash. Sebuah kondisi di mana setelah berhasil mencapai target besar---seperti lulus kuliah---emosi kita justru malah jeblok kayak sinyal WiFi di kosan. Iya, kayak habis lari maraton tapi pas sampai finish line, bukan disambut medali, malah ditanya, "Habis ini kamu mau ngapain?"
Kenapa bisa begitu? Karena otak kita selama ini diset untuk terus ngejar target. Kita hidup dari satu tujuan ke tujuan berikutnya: masuk kampus, lulus, cari kerja.Â
Tapi begitu tujuan besar itu tercapai, otak kita seperti kehilangan GPS. Akibatnya? Kita bengong, overthinking, dan mulai mempertanyakan segalanya. "Kerja ini bener gak sih buat aku?" "Aku beneran hidup atau cuma ngikutin arus?" Bahkan yang paling parah: "apakah aku harus lanjut S2 biar hidupku ada tujuan lagi?"
Yang bikin kesel, orang-orang di sekitar kita gak selalu paham. Mereka cuma lihat dari luar: "wah, kamu udah kerja, enak dong!" Padahal kita lagi mengalami krisis eksistensial tiap pagi saat ngaca sambil nanya ke diri sendiri, "who am I?"
Menurut Dr. Tal Ben-Shahar, seorang dosen psikologi positif di Harvard University, post-achievement depression atau post-achievement emotional crash adalah kondisi psikologis yang muncul setelah seseorang mencapai tujuan besar yang telah lama dikejar. Dalam bukunya "Happier", ia menyebut bahwa ketika tujuan besar itu tercapai, sering kali kita merasa hampa karena kita kehilangan sesuatu untuk diperjuangkan, meskipun secara logika kita seharusnya bahagia.