Mohon tunggu...
Tia Enjelina
Tia Enjelina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (20107030043)

Communication kid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melihat Sisi Lain dari Kemistisan Sesajen

4 Maret 2021   15:47 Diperbarui: 6 Maret 2021   16:02 2081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Hati-hati untuk tidak menginjak sesajen. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Masyarakat berbagi dan bersedekah sebagai perwujudan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan. Kemudian pada malam harinya warga dusun akan berkumpul untuk sekedar ngobrol sambil minum teh hangat sampai fajar, tidak lupa untuk makan daging ayam setelah tengah malam. 

Namun sejak adanya pandemic covid19, belakangan ini tidak banyak warga yang datang untuk memperingati tradisi ini. Ngomong-ngomong jadi tidak heran kan mengapa biasanya orang Jawa bisa mudah akrab dengan siapa saja hehe setuju nggak?

Rasulan dilaksanakan setahun sekali dalam peringatan peringatan tertentu, dan per lima tahun sekali ritual ini akan dibarengi dengan pertunjukan wayang semalam utuh yang bertujuan untuk 'ngruwat' yakni mengusir segala malapetaka. 

Akan tetapi rasulan tidak bisa dilakukan di sembarang hari. Terdapat perhitungan Jawa yang dapat menentukan kapan hari yang buruk dan kapan hari yang baik untuk bisa diadakan ritual pada hari itu. 

Dulunya setiap rumah akan memasak untuk keperluan tumpeng, namun karena mungkin terlalu banyak, setiap RT mengirimkan perwakilan untuk berbelanja dan memasak sebelum hari H. Sedangkan warga lain hanya perlu menyumbangkan sejumlah uang untuk berbagai keperluan tersebut.

Terdapat suatu ketentuan dimana dalam ritual ini harus menggunakan daun kelapa yang disebut dengan 'janur'. Ketentuan ini sebenarnya memiliki makna yang cukup dalam. 

Janur memiliki arti sejatine ana ing nur, dimaksudkan sebagai pengharapan supaya selalu ada cahaya yang menerangi jalan manusia dimanapun berada.

Selain itu ada juga satu 'pantangan' dimana tidak boleh ada tempe kedelai dalam penyajian tumpeng. "jare ndisik danyangane radoyan tempe" itu jawaban singkat yang saya dapatkan ketika saya mencoba menanyakan latar belakang adanya larangan tersebut kepada salah satu warga dusun yang masih melestarikan ritual ini. 

Mitosnya, zaman ketika masyarakat jawa masih memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme, ada seorang perempuan yang sedang dalam masa haidnya mengolah kedelai menjadi tempe dengan cara diinjak injak. Secara tidak sengaja beberapa tetes darah haid perempuan tersebut tercampur kedalam tempe yang dibuatnya. 

Kemudian pada saat sesajen dipersembahkan, singkat cerita roh halus pelindung yang berada di pohon beringin besar yang disebut 'danyangan' murka dan terjadilah 'pageblug' atau wabah penyakit dan juga krisis akibat gagal panen dalam waktu yang cukup lama. Maka sejak saat itulah tumpengan kondhangan tidak lagi ada sedikitpun tempe didalamnya.

FRADHYT Free Image Photo Indonesia Adventures
FRADHYT Free Image Photo Indonesia Adventures

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun