Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Era Media Sosial, Eranya Jurnalis Warga

17 November 2016   15:25 Diperbarui: 18 November 2016   03:10 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : dokumen pribadi

“Nangkring di BSD? Wah….jauh bangat.”

Itu responku ketika membaca tayangan informasi nangkring di Kompasiana. Awalnya, saya kurang tertarik untuk mengikuti nangkring Kompasiana - Kompas Gramedia yang akan diadakan di Pekan Raya Indonesia (PIR) yang bertempat di Indonesia Convention Exhibition - Bumi Serpong Damai (ICE BSD), Minggu, 6 November 2016. Alasannya karena jauh aja.

Tapi ketika membaca topiknya yang menarik dan kekinian, ‘Saatnya Warga Menulis’responku berubah. Akhirnya saya mendaftar menjadi salah seorang peserta. Dalam hati saya berkata “Wow…gue bangat nih!” Pepatah aja bilang, carilah  ilmu sampai ke negeri Cina, masak ke ICE BSD aja gak berani? Hitung-hitung perjuangan dan pengalaman baru.

Bermodal tanya sana tanya sini selama di stasiun commuter line, akhirnya saya pun tiba di Rawa Buntu, dan mengakhiri kebuntuan pikiranku untuk bisa tiba di ICE BSD. Di stasiun Rawa Buntu ternyata telah ada shuttle bus yang telah disediakan oleh penyelenggara Pekan Indonesia Raya (PIR) bagi para pengunjung.

Setibanya di booth Kompas Gramedia, saya menempati kursi yang masih kosong dan langsung menyiapkan peralatan karena acara talk show pun segera dimulai.

Menulis adalah Berkarya Untuk Keabadian

Sebuah kalimat bijak yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer “menulis adalah berkarya untuk keabadian” telah berhasil memrovokasi pikiranku dan menginspirasiku untuk menulis sejak dulu. Kali ini, pada acara nangkring Kompasiana-Kompas Gramedia. Kalimat bijak tersebut kembali terngiang ditelingaku, ketika seorang nara sumber (Maman Suherman) acara nangkring tersebut mengucapkan dengan tegas tanpa keraguan kalimat tersebut.

Sumber : https://plus.google.com/+PujionoJS/posts/HjLw1XawE2M
Sumber : https://plus.google.com/+PujionoJS/posts/HjLw1XawE2M
Apakah kita meragukan kalimat bijak tersebut?

Masuk saja ke perpustakaan atau barangkali bongkar-bongkar rak buku kesayangan Anda. Disana mungkin akan bertemu dengan buku-buku yang penulisnya telah tiada (raganya), tapi pengaruh dan buah pikiran mereka masih ada bersama kita dalam bentuk tulisan.

Banyak fakta, seperti karya Romeo dan Juliet karya Shakespeare hingga kini masih banyak dibicarakan dan digunakan dalam dunia sastra. Buku-buku pemikiran filsuf seperti Plato, Socrates, dan Aristoteles yang digunakan sebagai literatur untuk bahan pembelajaran di kelas dan bangku perkuliahan.

Bahkan di Indonesia ada  kumpulan tulisan Bung Karno yang telah dibukukan seperti Di bawah Bendera Revolusi di masa hidupnya, hingga sekarang buku itu masih popular bagi kalangan yang mengerti dan mencintai sejarah bangsa. Raga mereka memang telah tiada, tapi karya mereka tetap abadi.

Pertanyaannya bagi kita, bisakah kita seperti mereka? Bagaimana bisa menuliskan karya abadi? Menurut saya mulailah menulis dari hal-hal kecil dan sederhana yang bisa bermanfaat bagi orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun