Mohon tunggu...
Tole Sutikno
Tole Sutikno Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Teknik Elektro, Universitas Ahmad Dahlan

Tole Sutikno, Associate Professor in Electrical and Computer Engineering, Universitad Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, Indonesia. He received his B.Eng., M.Eng. and Ph.D. degree in Electrical Engineering from Universitas Diponegoro (Semarang, Indonesia), Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta, Indonesia) and Universiti Teknologi Malaysia (Johor, Malaysia), in 1999, 2004 and 2016, respectively. He has been a Associate Professor in UAD, Yogyakarta-Indonesia since 2008. His research interests include the field of power electronics, industrial applications, industrial elecctronics, industrial informatics, motor drives, FPGA applications, intelligent control and digital library.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Santernya Informasi Tentang Jurnal Predator, "Abal-abal", Palsu "Fake" atau Sebutan yang lain?

24 April 2013   00:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:43 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini sangat santer diberitakan dan didiskusikan informasi tentang jurnal predator, "abal-abal", palsu "fake" atau sebutan yang lain. Pada sisi yang lain, saya melihat ada "kecemasan" dari manajemen jurnal-jurnal yang selama ini dikenal mapan, namun kemudian terperanjat "kaget" karena kenyamanan mereka terusik kehadiran jurnal-jurnal baru yang sangat progressif dengan perkembangan yang cukup masfi. Sebut saja "Taylor & Francis" yang beberapa tahun terakhir hampir "bangkrut", sama halnya dengan "Springer", jika mereka tidak melakukan perombakkan yang besar dalam sistem manajemen-nya. Sebagian pengelola jurnal mapan tersebut ada yang menggunakan strategi "jahat" dan "jelek" dengan melancarkan aksi bahwa jurnal-jurnal yang baru adalah predator, "abal-abal", palsu "fake" atau sebutan yang lain (karena sudah pasti, jurnal baru, pasti lebih longgar dalam seleksi). Jika kita jujur menilik sebagian besar jurnal dan konferensi yang digelar di Indonesia, maka memang banyak yang sekedar memajang nama ilmuwan terkenal namun dalam seleksi sangat longgar dan hampir tanpa seleksi. Ini memang realita yang ada di kita, yang secara bertahap seharusnya diperbaiki, step-by-step. Dalam pandangan saya, banyak muncul jurnal-jurnal baru di Indonesia akhir-akhirnya ini sesungguh bisa menjadi indikator positif akan kesadaran riset dan publikasi. Jika di-manage secara baik, dan ada pendampingan dan pendanaan yang memadai, maka sangat mungkin jurnal-jurnal ini akan tumbuh menjadi jurnal-jurnal yang kuat di kemudian hari untuk  kejayaan martabat Indonesia di kanca international, dalam kaitan publikasi. Dari grafik di atas, sangat nyata bahwa Malaysia melakukan langkah eksponensial yang luar biasa untuk "menyalip" Thailand dan Singapore, sementara Indonesia yang kita cintai dan banggakan hanya bergerak pelan namun pasti tertinggal dan makin tertinggal. Karenanya fenomena muncul-munculnya banyak jurnal yang dikelola tokoh-tokoh muda Indonesia yang potensial, semestinya didukung secara profesional oleh semua pihak, terlebih oleh Dikti dan Ristek. Saya menampilkan grafik di atas, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa experts, profesionals, dosen dan peneliti Indonesia berkemampuan rendah, namun regulasi yang ada belum cukup kondusif untuk mendukung pamor publikasi Indonesia di kanca internasional. Ketika saya mengambil sample salah satu Perguruan Tinggi di Indonesia yang masuk 50 Besar Perguruan Tinggi di Indonesia, saya sungguh sangat terkejut bahwa PT tersebut dengan jumlah dosen sekitar 500-an hanya mampu mencatat-kan 70 naskah (35 artikel jurnal dan 35 paper konferen) yg terindeks di SCOPUS. Itupun disumbangkan oleh sembilan (9) orang saja. Lantas bagaimana kualitas dan pamor publikasi dari  PTN/PTS lain di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 3125? Saya lebih melihat rekan-rekan dosen Indonesia lebih banyak yang belum terbiasa nulis. Ketika mereka mulai tersadar akan pentingnya menulis dan publish, mereka sangat terkejut dengan "badai" pemberitaan tentang jurnal predator, "abal-abal", palsu "fake" yang bisa saja mengantar mereka "terhukum" jika ternyata jurnal tempat publikasinya dianggap jurnal predator. Alhasil, banyak dosen yang tidak jadi menulis dan tidak jadi mempublikasikan hasil penelitiannya. Dalam pandangan saya, tuntutan pemerintah Indonesia saat ini kadang di satu sisi sedemikian muluk, namun sangat miskin sarana prasarana. Solusi real yang saya usulkan adalah perlukan ditingkatkan dorongan dan pembiasaan dosen untuk publish...publish.... publish dan publish, dan digencarkan klarifikasi terkait informasi jurnal abal-abal yang telah memenjarakan banyak dosen dan peneliti di Indonesia yang umumnya masih ketinggalan informasi. Satu hal yang penting untuk dicatat, bahwa hampir tidak ada orang yang bisa langsung hebat. Dosen yang belum pernah menulis umumnya akan sangat sulit untuk bisa menulis makalah yang bisa langsung diterbitkan di jurnal bereputasi. Ibarat orang memanah, akan sangat sulit mencapai "core" inti sasaran. Namun harus sabar dari lingkaran terjauh, makin lama makin dekat. Dalam pandangan saya, efek pemberitaan terkait "jurnal predator" akan makin menghancurkan iklim publikasi yang sudah mulai tumbuh, jika tidak ditangani secara baik dan profesional. Dalam pandangan saya, inti cerita di balik pemberitaan "jurnal predator" adalah lebih cenderung pada pelanggengan kekuasaan oleh jurnal-jurnal mapan. Dalam kaitan pembenahan pengelolaan jurnal yang baik, profesional dan progressif, kita sepatutnya memberikan ruang gerak yang memadai, penilaian yang transparan, pembinaan dan pendampingan yang terus-menerus dan berkelanjutan. Saya cukup salut dengan China, India, Iran yang memiliki komitmen yang sangat kuat mendorong publish...publish... publish dan publish, meski banyak yang akhirnya kesandung kasus plagiat. Namun satu hal yang pasti, makin tinggi pamor seseorang, maka orang itu akan makin selektif di dalam memilih jurnal sebagai tempat publikasi dan yang terpenting makin PERLU menjaga reputasi diri. Karenanya saya lebih setuju jika Indonesia menggunakan slogan "publish or perish", dari pada mengembar-gemborkan informasi jurnal tentang jurnal predator, "abal-abal" atau palsu "fake", yang kurang jelas maksud dan tujuannya. Mari kita hidupkan atmosfir publikasi di Indonesia, dan jangan menakut-nakuti

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun