Setiap orang bebas punya pilihan. Termasuk dalam hal rasa kopi. Tepatnya, dalam hal menikmati kopi. Teguh, misalnya, seorang pelanggan salah satu kedai kopi di Pasar Segar Graha Raya Bintaro yang bernama Laku Kopi. Dia sangat sah jika dicap sebagai fanatis Sidikalang. Ini adalah kopi terbaik yang pernah diciptakan Tuhan, katanya. Maka tak heran kalau dia sering dipanggil Om Sidikalang.
"Jika Sidikalang adalah nabi, maka gue adalah pengikutnya," ucapnya tegas.
Rasa yang diberikan Sidikalang itu seperti sabda Nabi atau bahkan firman Tuhan, lanjutnya. Jika kalian bilang rasanya pahit, berarti kalian belum mampu menangkap makna esoterisnya. Kalian terjebak pada permukaan belaka, hanya mampu menangkap apa yang tersurat. Dan, kalian adalah orang-orang yang patut dikasihani.
Buat gue, katanya lagi, rasa Sidikalang ini bukan cuma manis. Rasanya bisa berubah-ubah, itulah uniknya. Ketika gue sedang galau, misalnya, lalu gue minum Sidikalang, rasanya jadi gurih bahkan sesekali fruity. Saat itulah kegalauan gue akan hilang, berganti dengan ketenangan dan kesenangan. Nah, itu semua terjadi karena gue sudah menangkap rasa Sidikalang yang sesungguhnya. Itu karena gue sudah memahami makna esoterisnya, makna yang tersembunyi.
"Om bisa bilang begitu karena Om belum ngerasain kopi yang lain," sergah Kenza, barista dalam tanda kutip di Laku Kopi.
"Eits! Loe mau nawarin gue kopi yang lain?"
Kenza hanya tersenyum hingga menampakkan dekik di pipinya.
"Jangan paksa gue murtad, ye!" sergah Teguh.
"Bukan begitu, Om. Tapi memang cuma Om sih yang bilang Sidikalang nggak pahit," timpal Kenza sambil setengah meledek. "Dan kopi kan bukan cuman Sidikalang, Om," sambung Kenza.
"Iya, gue tahu. Ada banyak kopi di bumi ini. Macam-macamlah jenis dan namanya. Tapi buat gue, Sidikalang-lah yang terbaik. Loe boleh ngetawain gue, loe boleh bilang pilihan gue salah, tapi gue udah nemu ketenangan dan kenyamanan di Sidikalang. Loe mau apa?"
Sekali lagi Kenza hanya bisa tersenyum, kali ini sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya nggak gatal.