Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kuli Bangunan, dari Tanah Kolonial ke Ruang Digital

7 Mei 2022   09:00 Diperbarui: 17 Mei 2022   10:08 5100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kuli bangunan. Sumber: Dompet Dhuafa via Kompas.com

Bersama Kuli Membangun Negeri!

Kita semua tentu sudah tahu dan paham, bahwa tenaga kerja konstruksi atau tukang bangunan yang rata-rata didominasi oleh suku bangsa Jawa ini tidak perlu diragukan lagi akan kehandalan, ketangguhan, kerajinan, dan kualitas pekerjaannya. Tidak mengherankan jika kemudian para pekerja bangunan ini banyak dipercaya oleh berbagai pihak untuk mengerjakan berbagai proyek konstruksi yang dikelola oleh swasta maupun pemerintah.

Kepopuleran mereka sebagai pekerja konstruksi di kemudian hari tidak hanya berhenti pada urusan kepercayaan dari orang-orang yang membutuhkan jasa mereka dalam mengerjakan suatu proyek konstruksi. Namun, para tukang bangunan atau yang lebih akrab disapa oleh masyarakat Indonesia sebagai kuli bangunan ini, kemudian semakin populer berkat konten-konten meme di media sosial yang menggambarkan keahlian serta kebiasaan mereka dalam bekerja. 

Berbagai konten meme yang menggelitik dan renyah namun tidak merendahkan martabat mereka sebagai masyarakat golongan kelas bawah ini, pada akhirnya berhasil mengundang gelak tawa dan refleksi bagi kita semua, akan betapa berjasa serta bergantungnya kita terhadap kemampuan dan keahlian mereka, yang tentu saja telah sedikit banyak berkontribusi terhadap pembangunan di berbagai daerah di Indonesia yang berdampak pada tumbuhnya perekonomian.

Namun, dalam hal seperti ini kita acap kali lupa untuk mengetahui bagaimanakah perjalanan sejarah para kuli bangunan ini yang pada akhirnya menjelma tidak hanya sebagai kuli bangunan yang terampil dan ahli, namun juga menjadi sensasi di ruang digital kita, utamanya karena konten meme. Pada artikel kali ini, penulis akan mengajak para pembaca untuk semakin mengetahui dan memahami sejarah dari para kuli bangunan yang didominasi oleh suku bangsa Jawa ini.


Menurut Gandhi (2013), istilah kuli (quli) berasal dari bahasa Tamil, yang berarti upah. Dalam istilah yang lebih luas, kata kuli sering dihubungkan dan dikonstruksikan dengan para pekerja yang diupah. Namun, dalam sejarahnya para pekerja yang mendapatkan upah dan disebut "kuli" ini kebanyakan berprofesi sebagai "pekerja kasar" yang mengerjakan berbagai "pekerjaan kasar," seperti porter koper di stasiun atau yang populer sebagai pekerja konstruksi.

Dalam perkembangannya, kata kuli lebih banyak mengandung makna yang peyoratif (merendahkan) ketimbang konstruktif. Sebab, merujuk pada sejarahnya kata kuli memang dikonstruksi dan dipakai untuk menyebut para pekerja yang tidak memiliki kecakapan atau keterampilan (unskilled) tertentu yang dapat dipertukarkan dengan upaah yang layak, seperti pejabat publik, akuntan, pengajar, atau pengerajin.

Pada babak selanjutnya, kata kuli semakin populer beriringan dengan meledaknya proses kolonialisme, utama yang dipantik oleh Kerajaan Inggris Raya yang memiliki begitu banyak dan luasnya daerah koloni di seluruh dunia. Dari sini, kebutuhan pemerintah kolonial Inggris Raya terhadap pekerja kasar murah pun semakin meningkat permintaannya, terlebih setelah munculnya berbagai proyek infrastruktur jalan, kereta api, dan perkebunan tebu (gula) (Britannica, n.d).  

Sebelum kata kuli populer digunakan untuk menyebut para pekerja kasar kurang terampil ini, mereka (kuli) lebih akrab dipahami sebagai budak yang diambil dari tanah jajahan mereka masing-masing yang kemudian dipekerjakan di banyak tempat sesuai dengan daerah koloni yang dikuasai oleh Inggris Raya atau negara-negara koloni lainnya, seperti Portugal, Belanda, Perancis, Spanyol, bahkan Amerika Serikat, negara demokrasi namun terkenal dengan sejarah perbudakannya itu.

Saat memasuki tahun 1830-an, muncul gerakan sosial dan kemanusiaan di masyarakat Eropa dan Amerika Serikat yang mendesak serta menyuarakan untuk dihapuskannya perbudakan dari sistem sosio-politik masyarakat (Gandhi, 2013). Di sini, popularitas pekerja kasar pun mulai mengalami pergeseran, dari yang tadinya dipahami sebagai budak kemudian berubah menjadi kuli dan kita kenal istilahnya sampai dengan saat ini untuk menyebut para pekerja kasar.

Dalam konteks ini juga, kuli sebagai pekerja kasar perlahan mulai merasakan perubahan sosial dan keadilan ketimbang di zaman dahulu saat mereka masih mengalami masa perbudakan. Perubahan yang terjadi seperti mereka dipekerjakan dengan sistem kontrak tertentu melalui sebuah surat perjanjian yang harus ditanda tangani oleh mereka agar mereka mampu mendapatkan haknya dalam memperoleh upah atau bayaran tertentu sesuai pekerjaan mereka (Britannica, n.d)

Selepas meletusnya pergerakan dan kampanye untuk menghapus perbudakan secara total, perlahan tapi pasti negara-negara pencetus kolonialisme layaknya Kerajaan Inggris Raya atau Amerika Serikat yang saat itu sedang giat-giatnya melakukan ekspansi ke berbagai daerah di sekitaran Pasifik, Karibia, Amerika Selatan, dan Amerika Tengah itu mulai menerapkan juga sistem kerja kontrak dan upah terhadap seluruh pekerja yang disewa.

Sejarah perbudakan di tanah Amerika Serikat | kompas.com
Sejarah perbudakan di tanah Amerika Serikat | kompas.com

Ada suatu penjelasan menarik yang diutarakan oleh Bahadur dalam Gandhi (2013), mengenai salah satu alasan kuat, mengapa pemerintah kolonial Inggris Raya lebih memilih kuli dari negara-negara seperti India dan Cina untuk disewa ketimbang dari daerah-daerah koloni lainnya. Menurut penjelasannya, alasan yang pertama adalah karena istilah kuli itu sendiri lahir dari perspektif Asia yang akhir dipakai sebagai istilah birokratis oleh pemerintah kolonial Inggris Raya.

Alasan yang kedua adalah karena melimpahnya sumber daya manusia yang bisa bawa keluar untuk dipekerjakan ke daerah koloni lainnya. Meski alasan yang kedua perlu untuk dibuktikan lagi keabsahannya, namun jika merujuk pada postur demografi penduduk kedua negara baik di masa lalu dan di masa sekarang, kita tentu mengetahui jika India dan Cina adalah dua negara yang memiliki penduduk paling banyak di dunia.

Hal ini tentu saja menjadi modal penting bagi Kerajaan Inggris Raya untuk membawa keluar lebih banyak kuli dari India atau Cina untuk dipekerjakan. Sebab, di tahun-tahun berikutnya kebutuhan terhadap pekerja kasar (kuli) ini semakin dibutuhkan untuk mengerjakan proyek-proyek strategis seperti pelabuhan, rel kereta, jalan raya, dan perkebunan tebu khususnya di tanah koloni seperti Karibia, Amerika Tengah, Ceylon, dan lainnya yang tengah mengalami perkembangan. 

Meskipun pada kenyataannya kuli merupakan pekerja yang disewa dengan menggunakan sistem kontrak dan mendapatkan upah, namun banyak ahli sejarah dan pengkaji poskolonialisme mengkritisi bahwa kuli tetaplah dipandang serta diperlakukan selayaknya seorang budak. Alasan ini tidaklah berlebihan, sebab menurut ensiklopedia Britannica (n.d), sistema sewa kuli dalam prakteknya tetap memiliki mentalitas dan modus-modus penindasan.

Hal ini dapat ditemukan dari adanya penipuan, penculikan, bahkan perdagangan manusia (human trafficking) dengan menggunakan dalih sebagai penyalur tenaga kerja. Dalam sejarahnya, banyak kuli juga diperlakukan semena-mena, seperti ditempatkan dalam suatu barak yang sempit, pengap, dan jorok; tidak bisa mendapatkan akses makanan dan minum yang layak; tidak mendapatkan fasilitas kesehatan; dan terkadang tidak mendapatkan upah yang dijanjikan (Gandhi, 2013).

Itu tadi adalah sejarah tentang kuli secara holistik, lalu bagaimana dengan sejarah kuli bangunan yang rata-rata didominasi oleh suku bangsa Jawa? Dalam sejarahnya, menurut Sedyawati et al (2013), sejarah masyarakat Jawa dalam bidang kuli bangunan bisa ditelusuri jejaknya dari zaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha, di mana salah satu mahakarya yang bisa dilihat adalah bangunan-bangunan candi yang tersebar di hampir seluruh Pulau Jawa.

Berbagai bangunan candi yang kita lihat saat ini selayaknya candi Borobudur, candi Prambanan, candi Mendut, candi Sewu, dan lainnya adalah salah satu dari banyaknya mahakarya dari para silpin (seniman) Jawa Kuno yang memiliki keahlian di bidang arsitektural, teknik sipil, dan seni pahat. Keahlian para silpin dalam membangun candi ini bisa ditelusuri dari kitab Hindu bernama Vastusastra, kitab yang berfokus pada tata ruang dan bangunan.

Di dalam kitab tersebut, dijelaskan bahwa arsitektural dalam pembangunan rumah ibadah seperti halnya candi atau kuil-kuil Hindu adalah bentuk manifestasi terhadap kebesaran Tuhan dan alam semesta. Dalam perjalanannya, khususnya saat penyebaran agama Hindu-Buddha di tanah Jawa, para silpin Jawa Kuno ini kemudian mengadopsi berbagai teks suci tersebut, seperti halnya Vastusastra dalam mempelajari kaitan antara aspek arsitektural dan spiritual.

Namun, uniknya adalah alih-alih mengikuti pakem yang tertera secara tekstual, para silipin Jawa Kuno ini justru keluar dari berbagai kepakeman akan teks tersebut dan berusaha menemukan formula serta gaya arsitektural baru dalam hal membangun rumah ibadah atau kuil. Vastusastra memiliki beberapa teks dan kajian khusus untuk para silpin yang diberi nama Silpasastra, di mana salah satu Silpasastra yang banyak diadopsi oleh para silpin Jawa Kuno adalah Manasara. 

Kitab Manasara menjadi yang paling banyak diadopsi dan dipahami oleh para silpin Jawa Kuno di antara berbagai Vastusastra yang ada. Salah satu ilmu bangunan yang sangat diadopsi oleh para silpin Jawa Kuno pada saat itu adalah konsep mengenai diagram pondasi sebuah bangunan yang dinamakan dengan Vastupurusamandala, suatu konsep pondasi yang digunakan untuk menyucikan tanah sebelum mendirikan bangunan di atasnya.

Konsep Vastupurumandala secara sederhana adalah memanfaatkan pondasi berbentuk bujur sangkar sempurna untuk kemudian digunakan sebagai penyangga dasar bagi sebuah bangunan yang akan dibangun. Vastupurumandala memiliki beberapa jenis, seperti ada yang menggunakan konsep satu lubang sampai ada yang menggunakan konsep 1.024 lubang di dalam satu Vastupurumandala dan disesuaikan dengan jenis bangunannya.

Umpak batu keraton di situs Kerto, salah satu vastupurumandala yang banyak digunakan di bangunan masyarakat Jawa | kompas.com
Umpak batu keraton di situs Kerto, salah satu vastupurumandala yang banyak digunakan di bangunan masyarakat Jawa | kompas.com

Selain menerapkan konsep diagram pondasi tersebut, para silpin Jawa Kuno pun juga ahli dalam hal penyambungan bangunan berbahan dasar batuan andesit dan ahli dalam hal pahat memahat batu. Kedua keahlian inilah yang kemudian bisa kita lihat warisannya dari candi Prambanan, candi Borobudur, dan lainnya serta sentra-sentra wisata baik di Yogyakarta maupun di Jawa Tengah yang menjual pahatan patung, alat masak cobek, dan lainnya.

Sejarah mengenai hubungan antara keahlian masyarakat Jawa dalam bidang konstruksi dan juga keahlian mereka sebagai tenaga kerja konstruksi (kuli bangunan) ini kemudian terus diwarisi ke setiap generasi selanjutnya karena adanya sistem hidup berkomunitas (paguyuban) secara primordial yang kebanyakan berasal dari lingkungan tempat tinggal yang sama, atau mudahnya mereka di satukan karena adanya hubungan sosio-kultural kedaerahan.

Perlahan, konsep hidup paguyuban yang dijalankan oleh para kuli bangunan ini kemudian menjelma menjadi sesuatu yang mengakar bagi cara berpikir kita, dalam memberikan nilai terhadap suatu komunitas masyarakat tertentu, yang mana komunitas tersebut tentunya memiliki keahlian tertentu juga yang dapat dipertukarkan jasa-jasanya untuk menyokong kehidupan orang lain yang membutuhkan jasa-jasa tersebut secara kontinu.

Akar sejarah ini kemudian bisa kita telusuri lagi secara jauh lebih dalam dari sebuah buku yang ditulis oleh Heuken SJ (2003), yang berjudul Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta. Buku tersebut menjelaskan bahwa awal mulanya kuli bangunan asal Jawa yang banyak kita temui di kota-kota besar adalah mereka yang dibawa dari tempat asalnya untuk mengerjakan berbagai proyek strategis milik pemerintah Hindia Belanda, seperti membuat parit dan lainnya.

Perlahan, kebutuhan pemerintah Hindia Belanda terhadap kuli bangunan asal Jawa mulai meningkat pesat setelah adanya berbagai proyek strategis lainnya, seperti mendirikan Rumah Sakit, gedung pemerintahan, jalan raya, membuat kanal, membersihkan sungai, dan lainnya. Heuken (2003), menambahkan jika komunitas kuli bangunan asal Jawa ini sudah mulai menetap di luar kota benteng Batavia sejak tahun 1730-an.

Selain itu, kuli bangunan yang didatangkan dari Jawa adalah mereka yang mendapatkan upaha dari hasil pekerjaan mereka. Menurut Heuken (2003), orang-orang Jawa, khususnya dari daerah Cirebon yang didatangkan ke Batavia sebagai kuli bangunan atas permintaan pemerintah Hindia Belanda adalah mereka yang didatangkan secara langsung dari raja Cirebon itu sendiri, di mana para pekerja ini mendapatkan upah dari hasil pekerjaan mereka.

Masih dari sumber yang sama, hal ini kemudian selaras dengan bagaimana pemerintah Hindia Belanda memperlakukan tenaga kerja konstruksi yang berasal dari wilayah Jawa dengan yang berasal dari luar wilayah Jawa. Masyarakat Jawa dan Sunda tidak dipandang sebagai budak karena tiadanya sistem perbudakan di kalangan elite Jawa dan Sunda. Sedangkan, kalangan elite dari Bali dan Bugis lah yang kemudian memperlakukan pekerja ini sebagai budak.

Menurut Attahiyat dalam Adi (2011), sejarah kuli bangunan di Indonesia itu sejatinya dimulai dari kuli-kuli bangunan asal Tiongkok. Saat itu, Batavia sedang banyak membangun infrastruktur penunjang kota yang biaya pembangunannya sendiri berasal dari pajak orang-orang Tionghoa. Pemerintah Hindia Belanda (VOC) saat itu juga mengerahkan para pekerja kasar dari Tiongkok, karena melimpahnya sumber daya manusia yang bisa dimanfaatkan dalam konstruksi.

Namun, memasuki tahun 1802, orang-orang Tionghoa yang dulunya bekerja sebagai kuli bangunan ini pun perlahan menghilang dan digantikan oleh masyarakat Jawa. Hal ini bisa muncul karena kehidupan mereka secara ekonomi pun berubah, berkat adanya proses perpindahan dan kemauan dari mereka untuk berubah serta naik kelas. Mereka rata-rata berubah profesinya menjadi seorang pedagang, pemilik toko, bahkan menjadi pengrajin.

Berbeda dengan masyarakat Tionghoa yang dulunya kuli dan kini berubah menjadi pedagang paling cengli, masyarakat Jawa yang tadinya menjadi kuli bangunan justru tidak memiliki perkembangaan yang berarti. Hal inilah yang kemudian pada akhirnya mengkonseptualisasi cara berpikir kita selama ini, bahwa kuli bangunan adalah mereka yang berasal dari tanah Jawa serta memiliki keterampilan dan kebiasaan selayaknya kuli secara umum.

Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa ada perjalanan yang sangat panjang di balik hubungan antara masyarakat Jawa dengan profesi mereka sebagai kuli bangunan. Siapa yang menyangka, bahwa sejarah akan keterkaitan hal tersebut sudah mulai ribuan tahun sebelum kita mengenal apa itu Indonesia yang kemudian kehadiran mereka terus diwarisi dan semakin dibutuhkan oleh banyak pihak untuk menyokong geliat pembangunan ekonomi.

Kita perlu berterimakasih atas jasa dan dedikasi yang sudah mereka berikan selama ini terhadap kehidupan kita. Tentu kita tahu bahwa kehidupan para kuli bangunan yang sering kali mengandung tawa di ruang digital kita karena konten meme adalah suatu hal yang berbanding terbalik dengan realitas hidup mereka yang nelongso. Namun, berkat mereka juga kita dapat saling mengangkat satu sama lain untuk dapat menjadi manusia yang bisa saling menghargai.

Daftar Pustaka:

Heuken. (2003). Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta. Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka.

Sedyawati et al. (2003). Candi Indonesia, Seri Jawa. Jakarta. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.

Gandhi, L. (2013, November 25). A History Of Indentured Labor Gives 'Coolie' Its Sting. Dikutip dari: https://www.npr.org/sections/codeswitch/2013/11/25/247166284/a-history-of-indentured-labor-gives-coolie-its-sting 

Adi, W. (2011, April 23). Dua Abad Perjalanan Para Kuli. Dikutip dari: https://megapolitan.kompas.com/read/2011/05/30/18465569/~Megapolitan~News?page=all 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun