Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalisme Ramah Publik, Strategi Menangkal Bias Optimisme

1 Juli 2020   08:10 Diperbarui: 1 Juli 2020   16:41 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengenai bentuk pengingat kepada masyarakat akan pentingnya menaati aturan kesehatan selama pandemi | GETTY IMAGES via bbc

Bias optimisme atau optimism bias menurut Sharot (2011) adalah sebuah keadaan kognisi, dimana manusia cenderung hanya menerima dan melebih-lebihkan kemungkinan positif serta meremehkan kemungkinan negatif yang bisa saja terjadi kepadanya di esok hari. 

Fenomena ini lahir karena otak manusia memiliki kemampuan kognitif untuk mengabaikan segala bentuk peristiwa yang tidak diinginkan dan hanya mau menerima fantasi soal rasa positif yang kadang dilebih-lebihkan. 

Ketika seseorang belum pernah merasakan secara langsung hal yang tidak diinginkan, maka mereka akan menganggap semuanya tampak baik-baik saja. 

Namun, saat peristiwa yang tidak diharapkan datang, mereka mulai panik dan menjadi kapok karena telah meremehkan keadaan yang sedang terjadi disekitar mereka.

lustrasi mengenai penggunaan masker dan mematuhi aturan kesehatan | id.nfplitigation.com
lustrasi mengenai penggunaan masker dan mematuhi aturan kesehatan | id.nfplitigation.com

Bias optimisme berasal dari amygdala, yakni bagian di otak yang mencatat rasa takut dan mengaktifkan hormon stress serta sistem saraf simpatetik yang menimbulkan respon flight or fight (hindari atau hadapi) ketika menghadapi sebuah ancaman (Rachman & Jakob, 2020). 

Semakin sering amygdala menerima informasi tentang Covid-19 dari berita-berita dan pembahasan isu di media secara progresif, maka amygdala menjadi bingung untuk menentukan rangsangan sikap dan akan membuat kerjanya menjadi pasif. 

Rasa bingung dan pasif inilah yang kemudian memampukan amygdala untuk menghasilkan caution fatigue.

Caution fatigue menurut Jacqueline Gollan dalam Rachman & Jakob (2020) adalah sebuah keadaan, ketika individu merasa lelah untuk menaati protokol kesehatan, karena sering terpapar oleh derasnya arus berita dan informasi dari media mengenai korona dan aturan kesehatannya. 

Karena terlalu sering terpapar, caution fatigue memiliki kemampuan untuk mereduksi daya sensitivitas kita terhadap sebuah peringatan yang terus diulang-ulang mengenai Covid-19 di media, atau mudahnya kita mulai menjadi “bodo amat” atas kondisi yang ada. 

Di sinilah cara berpikir bias optimisme terbentuk. Ketika amygdala sudah lelah dan sampai menimbulkan caution fatigue, maka bias optimisme akan mengarahkan otak kita untuk mencoba melanggar aturan kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun