Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Di Balik Kelezatan dan Keramahtamahan Sebuah Warmindo di Jogja

1 Juni 2020   08:04 Diperbarui: 2 Juni 2020   22:18 8822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu Warung Burjo di daerah Yogyakarta.(shutterstock via KOMPAS.com)

Di balik semua bentuk kesuksesan dari sebuah Warmindo, ada berbagai macam hal yang dicurahkan seutuhnya oleh mereka.

Warmindo (Warung Makan Indomie), mungkin menjadi salah satu pilihan tempat makan favorit bagi kebanyakan mahasiswa di Yogyakarta. Tak seperti halnya warkop di Jakarta yang menjual menu makanan sederhana, seperti aneka olahan mie instan, roti bakar, bubur kacang hijau dan tentunya kopi itu sendiri, Warmindo justru menjual aneka menu yang bervariasi, mulai dari aneka lauk pauk, sayur, sambal, gorengan, minuman sachet dan tentunya mie instan itu sendiri. 

Kehadiran Warmindo di Yogyakarta adalah sebuah cerminan dari betapa multikultur dan populernya Yogyakarta sebagai salah satu provinsi yang ketiban rezeki karena menjadi tempat tujuan bagi mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya. 

Kehadiran Warmindo di Yogyakarta yang ekspansionis adalah sebuah jawaban menarik dari perspektif kuliner dalam melihat fenomena multikultur yang ada di Yogyakarta.

Mahasiswa membutuhkan hidangan yang bisa ditemui dimana saja, bersahabat dengan dompet, dan pastinya bisa diandalkan untuk membantu kebutuhan mereka, di luar kebutuhan biologis, seperti mengerjakan tugas, nongkrong, ataupun sekedar menonton pertandingan sepak bola.

Di balik tersebar dan berjayanya Warmindo di Yogyakarta, peran dari seorang penjaja Warmindo yang akrab dipanggil dalam bahasa Sunda sebagai aa (laki-laki) dan teteh (perempuan) ini, tidak boleh kita pandang sebelah mata. Kehadiran aa dan teteh dalam geliat bisnis Warmindo di Yogyakarta sudah seperti halnya maskot yang tidak bisa digantikan oleh apapun. 

Namun, ada sebuah pertanyaan besar yang selalu ingin penulis tanyakan kepada aa dan teteh Warmindo ini yang banyak orang tidak tahu, tentang bagaimana realitas kehidupan yang harus mereka jalani di balik semua kepiawaian dalam memasak dan keramahannya dalam melayani pelanggan serta apa tantangan terberat dalam pekerjaan mereka?

Penulis beruntung memiliki kesempatan untuk mewawancarai dua penjaja Warmindo langganan penulis. Asep dan Nana, adalah dua orang aa Warmindo yang berada di wilayah Sanggrahan, Condongcatur. Mereka berasal dari keluarga yang berbeda, tapi berasal dari wilayah yang sama, Kuningan.

Pengalaman dalam ranah industri kuliner Warmindo setidaknya telah mereka geluti selama hampir 10 tahun. Sebelum bekerja di Warmindo, mereka memiliki latar belakang pekerjaan yang berbeda. Asep dahulunya seorang pekerja bangunan dan seorang pengemudi, sedangkan Nana seorang petani dan pekerja lepas. 

Karier mereka sebagai penjaja Warmindo dimulai tahun 2009, saat mereka ditawari pekerjaan baru di Yogyakarta oleh seorang kenalan dari Asep sebagai penjaja Warmindo. Mereka pun memulai di wilayah Pogung Lor. Wilayah yang berdekatan dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menurut pengalaman mereka merupakan tambang emas sekaligus "pecut" dalam pekerjaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun