Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Etnis Sunda, Pemahaman, dan Pemanfaatannya dalam Film "Keluarga Cemara" (2019)

13 Desember 2019   16:10 Diperbarui: 16 Oktober 2022   12:38 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster dari film Keluarga Cemara 1 tahun 2019 | tribunstyle.com

Multikulturalisme menjadi elemen baku dalam berbagai produk budaya Indonesia untuk merayakan keragaman. 

Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan multikulturalisme. Pengertian multikulturalisme sendiri menurut Bikhu Parekh dalam Junaedi dan Gita (2014: 1) adalah suatu keadaan yang terkait dengan budaya dan merujuk pada suatu hal yang dinamakan dengan pluralitas kebudayaan dan cara untuk merespon pluralitas itu sendiri. Oleh karena itu tidak lah mengherankan jika Indonesia sering kali disebut sebagai negara yang memiliki masyarakat multikultur.

Fakta ini pun didukung oleh pernyataan dari Parekh dalam Junaedi dan Gita (2014: 2) yang menyebutkan bahwa ada tiga kategori keanekaragaman golongan yang hidup dan mewarnai masyarakat, yakni keragaman subkultur, keanekaragaman perspektif dan keanekaragaman komunal. Jika sebuah masyarakat memiliki tiga unsur ini dan terutama yang merujuk keanekaragaman yang kedua dan ketiga, maka masyarakat itu bisa disebut sebagai masyarakat multikultur. 

Multikulturalisme di Indonesia selalu menjadi topik yang hangat disekitar masyarakat dan selalu tidak bisa dilepaskan dari media massa. Media massa di Indonesia seolah berusaha untuk mencoba mengambil alih wilayah multikulturalisme dengan memasukan isu-isu multikulturalisme ke dalam tayangan seperti sinetron, komedi hingga film. Multikulturalisme dalam media akhirnya menjadi elemen baku dalam berbagai produk budaya Indonesia untuk merayakan keragaman yang ada. 

Menurut Juanedi dan Gita (2014: 8) multikulturalisme akan selalu menjadi "menu wajib" bagi para kreator media, baik itu pertelevisian maupun perfilman. Sayanganya, sudah banyak sekali para kreator media yang memanfaatkan multikutluralisme sebagai komoditas media mereka, terutama untuk film. Sebutlah seperti halnya film Keluarga Cemara 2019 karya Yandy Laurens dan Giantri S. Noer. Dalam film tersebut sangat terlihat dari bagaimana etnis Sunda ditempatkan sebagai etnis dalam film.

Penggambaran etnis Sunda dalam film tersebut salah satunya sangat terlihat dari pola dan gaya komunikasi yang dibangun. Dalam film tersebut, pola dan gaya komunikasi yang berkembang kurang lebih menyasar pola dan gaya komunikasi yang tidak langsung. Hal-hal itu seperti itu bisa dilihat dari bagaimana cara mereka untuk meminta sesuatu, menyembunyikan sesuatu dan hal-hal lainnya. Namun, semua hal itu masih berupa dugaan sementara, maka dari itu penulis tertarik untuk mencari tahu tentang bagaimana konteks budaya komunikasi yang dimiliki oleh etnis Sunda di dalam film Keluarga Cemara 2019.

Dalam penulisan artikel ilmiah ini, penulis akan menggunakan teori komunikasi antarbudaya dan berfokus pada aspek kajian konteks budaya komunikasinya. Kajian konteks budaya komunikasi sendiri menurut Junaedi dan Gita (2014: 102) adalah sebuah konteks komunikasi yang menjadi seperangkat informasi yang membimbing masyarakat dalam berinteraksi.

Edward Hall dalam Junaedi dan Gita (2014: 103) menyebutkan bahwa ada dua aliran konteks budaya komunikasi dalam masyarakat, yakni low-context communication dan high-context communication. Menurut Liliweri (2003: 154-157) perbedaan antara low-context communication dan high-context communication bisa ditemukan dari proses persepsi ketika mereka sedang berkomunikasi. Orang dengan budaya low-context communication cenderung memiliki karakter untuk berkomunikasi secara langsung (direct communication). Gaya komunikasinya juga lebih condong ke bentuk yang verbal saja dari pada non-verbal.

Para pemain film dari Keluarga Cemara 2019 | jawapos.com
Para pemain film dari Keluarga Cemara 2019 | jawapos.com

Orang dengan konteks budaya tinggi juga cenderung lebih menyukai sesuatu yang sifatnya formal, langsung, melalui tatap muka dan tidak banyak basa-basi. Budaya low-context communication kebanyakan terdapat di kebudayaan Barat seperti Amerika. Sedangkan, orang dengan budaya high-context communication selalu menggunakan gaya komunikasi tidak langsung (indirect communication) dan juga cenderung kurang formal serta banyak didukung oleh bentuk komunikasi non-verbal seperti halnya basa-basi serta kebiasaan ritualis dalam keseharian komunikasinya. Budaya high-context communication kebanyakan terdapat di kebudayaan oriental seperti Indonesia.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun