Mohon tunggu...
Thomas Je
Thomas Je Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis yang ingin ditulis

There's no Superman.....\r\n\r\n...menulis yang ingin ditulis....

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kini Giliran Bumiputera, Jatuh Tempo Klaim Asuransi 9,6T!

21 Januari 2020   09:29 Diperbarui: 21 Januari 2020   09:36 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perusahaan asuransi jiwa pertama yang beroperasi di Indonesia adalah Asuransi Bumiputera atau lebih dikenal dengan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) 1912 .

Asuransi Bumiputera kini sudah berusia lebih dari satu abad lamanya, perusahaan asuransi jiwa asal Indonesia ini sudah berdiri sejak tahun 1912. Jika kita membuka ingatan sejarah, pada tahun tersebut berarti Asuransi Bumiputera sudah ada dan eksis saat pemerintah kolonial Hindia Belanda. 

Bahkan kala itu, negara Indonesia belum merdeka dari penjajahan. Asuransi Bumiputera ini juga dikenal atau disebut AJB Bumiputera 1912 hingga saat ini. Sayang sekali, perusahaahn asuransi tertua di indonesia ini nasibnya tidak lebih baik dari Jiwasraya.  

Seperti kita ketahui dari banyak berita di media, sejak 2018, kinerja keuangan AJB 1912 memang terus berada dalam zona negatif hingga Rp 20 triliun, bahkan masih banyak nasabah AJB Bumiputera yang belum dibayarkan klaimnya. 

Dikutip dari Tribunnews.com, bukan hanya kinerja keuangan negatif hingga Rp 20 triliun saja melainkan hingga akhir Januari 2018 saja, pihak AJB Bumiputera belum membayarkan klaim nasabah mencapai Rp 2,7 triliun dan sebanyak 19 ribu nasabah di Jawa Barat dilaporkan belum mendapatkan pembayaran klaim mereka. Walaupun demikian, klarifikasi terkait Rp 20 triliun sebagai keuangan negatif tidaklah sepenuhnya benar melainkan jumlah ini merupakan total dari pembayaran yang harus dibayarkan baik sudah atau belum jatuh tempo oleh perusahaan AJB Bumiputera dibandingkan dengan total nilai aset, menurut Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso.

Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera saat ini harus menyelesaikan potensi kewajiban pembayaran klaim sebesar Rp 9,6 triliun untuk periode 2019-2020. 

Direktur Utama AJB Bumiputera Dirman Pardosi mengungkapkan saat ini perseroan sedang menyusun strategi untuk penyelesaian klaim ini. Rincian tagihan klaim AJB Bumiputera pada tahun 2019 mencapai Rp 4,2 triliun dari 265.000 pemegang polis. Kemudian potensi pada 2020 sebesar Rp 5,4 triliun. 

Mengapa harus pakai strategi untuk membayar kewajiban mereka kepada nasabah? Bukankah seharusnya dana yang dikelola cukup untuk membayar klaim nasabah seperti ini? Berbagai pertanyaan akan muncul berkaitan dengan kasus ini. Bahkan kabarnya sejak tahun 2018, klaim nasabah belum dibayar juga. Apakah terjadi pelanggaran tatakelola keuangan juga di Bumiputera?

Berdasarkan beberapa informasi yang kami peroleh dari berbagai sumber, nilai aset Bumiputera saat ini tak sampai Rp 10 triliun. Bahkan, aset finansial yang likuid di bawah Rp 4 triliun dari total aset finansial yang berkisar Rp 6 triliunan. Sebaliknya, kewajibannya per Juli tahun lalu mencapai Rp 20 triliunan. 

Secara hitungan awam, jika kita mempunyai aset likuid 4 triliun, sementara kewajiban bayar kita 20 triliun, maka yang terjadi adalah minus 16 trilyun, artinya bisa dipastikan "gagal bayar", lalu mengapa ini bisa terjadi? Penyebabnya adalah bahwa seperti halnya Jiwasraya,  perusahaan berulang kali mengalami rugi investasi lantaran menempatkan dana di aset-aset finansial yang berisiko tinggi. Sebenarnya hal ini sudah terendus oleh Pengelola Statuter Bumiputera yang ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menggantikan direksi dan komisaris guna menyelesaikan restrukturisasi di tubuh perusahaan mutual tersebut. 

Lalu Investasi apa yang membuat Bumiputera terpuruk? Ternyata salah satunya juga investasi saham. Bumiputera menderita rugi besar lantaran berinvestasi di saham perusahaan minyak dan gas bumi PT Sugih Energy Tbk (SUGI). 

Nilai investasi di saham tersebut mencapai Rp 250 miliar. Belakangan, investasi itu tergerus bersamaan dengan jatuhnya harga saham SUGI di bursa. Bahkan, saat ini, saham SUGI dibekukan perdagangannya oleh otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) karena dinilai penurunan harga sahamnya tak wajar. 

SUGI menjadi saham bernilai "gocap" dan dibekukan alias tidak boleh dijual maupun dibeli di Bursa Efek Indonesia. Lalu ada investasi-investasi besar lainnya yang bermasalah, misalnya adalah Kontrak Pengelolaan Dana (KPD) oleh berbagai manajer investasi. 

Tercatat KPD besutan PT Bumiputera Capital Indonesia (BCI), PT Optima Kharya Capital Management, PT Sinergy Asset Management, PT Falcon Asia Resources Management, PT NATPAC Asset Management, dan PT Sarijaya Permana Sekuritas. Dan sayangnya Kontrak Pengelolaan Dana ini berujung rugi, dengan kerugian Rata-rata investasi tersebut di atas Rp 100 miliar (katadata). 

Kasus salah urus investasi lain yang juga menjadi sorotan adalah penjualan aset tanah seluas 15 hektare di Kuningan, Jakarta Selatan, pada era 1990-an. Kini, lokasi itu dikenal dengan nama Mega Kuningan. Bumiputera menjual lahan tersebut kepada perusahaan Bakrie dengan iming-iming kepemilikan saham sebesar 58,15 persen. 

Belakangan, pada 1997, harga saham perusahaan tersebut anjlok. Ujung-ujungnya, saham AJB Bumiputera kembali dibeli balik oleh perusahaan Bakrie dengan harga sangat murah. Ini benar-benar konspirasi dengan group bakrie yang dilakukan dengan cara halus, mengakali harga saham, mungkin ini yang dimaksud dengan menggoreng saham? 

Ketika gosong dibeli murah, padahal dulu dijual mahal sekali!. Kasus tersebut sempat dikonfirmasi Praktik-praktik salah investasi inilah yang diduga turut menyebabkan menyusutnya aset finansial serta properti AJB Bumiputera. 

Berdasarkan informasi terakhir, aset finansial Bumiputera cuma tersisa Rp 5,5 triliun dan properti Rp 2,5 triliun. Dan sayangnya nilai riil aset finansial tersebut bisa lebih rendah lagi bila dijual. 

Yang lebih aneh lagi adalah kasus ini, seorang mantan direksi bahkan menuntut dibayarkannya komisi atas suatu polis asuransi. Prosesnya saat itu hingga ke meja hijau. Bagaimana mungkin direksi menerima komisi, sedangkan ia bukan agen asuransi. Itu kan sama saja dengan gratifikasi? Jangan-jangan praktik ini juga dilakukan oleh direksi lainnya? Hanya saja yang apes ketahuan hanya beberapa. 

Jika melihat cara pengelolaan yang hampir semuanya merugi dan membuat nilai aset mereka terjun bebas, jadi wajar kalau para nasabah AJB Bumiputera kini mulai was-was dan deg-degan, karena menunggu kepastian pencairan klaim yang jatuh tempo. Apakah anda salah satunya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun