Wafatnya Affan Kurniawan beberapa waktu lalu membuat publik meledak. Ramai orang menulis belasungkawa, media sosial penuh dengan seruan menuntut keadilan, dan tagar-tagar viral bermunculan. Namun, mari jujur sebentar: kasus Affan hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya ada masalah yang jauh lebih besar dan jauh lebih lama, yaitu kesejahteraan ojol yang tidak pernah benar-benar terwujud.
Mereka ini jumlahnya jutaan. Mereka mengantar makanan, mengantar anak sekolah, menjemput orang pulang kerja, bahkan jadi tumpuan mobilitas kota besar. Tapi status mereka tetap sebagai mitra. Kata “mitra” itu terkesan manis di lidah, padahal secara praktis ini berarti pengemudi ojol tidak memiliki hak pekerja, tidak memiliki jaminan sosial memadai, dan tidak memiliki kepastian penghasilan. Di sisi lain, perusahaan platform terus menekan mereka dengan biaya aplikasi yang tinggi dan algoritma pesanan yang membatasi.
Krisis Keberanian yang Menakutkan Aplikasi
Aplikasi aman secara bisnis, investor aman secara modal, tapi bagaimana dengan mitra?
F. Rahardi pernah menulis bahwa bangsa ini hidup di “republik hantu”. Ia menyaksikan semua orang terjebak fobia berlebihan yang sebenarnya tidak penting. “Presiden takut dimakzulkan, menteri takut di-reshuffle, partai takut keluar koalisi,” tulisnya. Sesungguhnya, dalam konteks ojol, aplikasi ojol pun menderita penyakit fobia yang sama. Mereka fobia untuk berani membuat mitranya sejahtera.
Mengapa? Karena mereka memprioritaskan keuntungan finansial bagi investor daripada kesejahteraan bagi mitra. Gojek, misalnya, hingga kini tertekan oleh investor karena masih mencatat arus kas negatif dan kerugian yang mencapai triliunan rupiah. Bagaimana mungkin mereka berani menambah beban biaya dengan memberi status pegawai yang sejahtera bagi mitra? Para investor tentu ingin angka cantik di laporan keuangan, bukan beban baru.
Namun, justru di sinilah letak ironi. Fobia ini akhirnya melempar risiko ke pundak pengemudi. Aplikasi aman secara bisnis, investor aman secara modal, tapi bagaimana dengan mitra? Mereka tetap hidup pas-pasan, selalu “rentan”, dan ketika tragedi seperti Affan terjadi, barulah semua orang pura-pura terkejut.
Krisis Hukum yang Menguntungkan Oligarki
Tidak dapat dibantah bahwa negara takut berhadapan dengan perusahaan besar.
Editorial Tempo pada 20 Januari 2025 menyindir keras pemerintah yang lamban menangani kasus pagar laut ilegal di Banten. Tempo menulis, “Lemahnya proses hukum hanya menguatkan anggapan bahwa negara telah kalah di hadapan kepentingan pengusaha yang menjadi dalang praktik ilegal tersebut.” Hukum terlihat tumpul ketika berhadapan dengan kepentingan taipan besar. Sesungguhnya, situasi ojol mirip dengan hal tersebut.
Uni Eropa pada Oktober 2024 mengesahkan aturan baru tentang kerja di platform digital (seperti ojol, kurir, dan pekerja aplikasi lain). Intinya, jika seorang pekerja sebenarnya diperlakukan seperti pegawai (misalnya harus mengikuti aturan ketat, diawasi, atau tidak bisa menentukan harga sendiri), maka secara hukum ia dianggap pegawai dengan hak penuh, bukan “mitra” atau pekerja lepas. Aturan ini juga mewajibkan perusahaan aplikasi lebih transparan, terutama ketika menggunakan teknologi untuk mengawasi atau memberi sanksi pada pekerja. Dengan begitu, para pekerja platform di Eropa bisa lebih terlindungi, mendapatkan hak-hak seperti gaji minimum, jaminan sosial, dan perlindungan hukum, sama seperti pekerja formal lainnya. Namun, di sini, justru kata ‘mitra’ dipakai untuk menutup mata dari kewajiban. Kalau aturan ini diterapkan di Indonesia, ojol jelas masuk kategori pegawai. Tapi mengapa sampai sekarang tidak ada keberanian untuk melakukannya atau bahkan memikirkannya?
Tidak dapat dibantah bahwa negara takut berhadapan dengan perusahaan besar. Sama seperti kasus pagar laut, hukum menjadi seperti drama. Banyak alasan, banyak wacana, tapi tidak ada keputusan. Dan yang kalah selalu pihak kecil, dalam kasus ini, para ojol yang setiap hari bekerja di jalanan dengan risiko hidup.
Krisis Moral yang Meracuni Legislator
Kita butuh satu saja yang berani berdiri dan berkata: “Ojol adalah pekerja, mereka berhak atas perlindungan dan kesejahteraan.”