Berikut cuplikan pidatonya, "Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yang akan datang; untuk anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar, untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya karena kehilangan habitatnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita. Anda tidak tahu bagaimana cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang telah punah. Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala. Jika anda tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Tolong, berhentilah merusaknya!"
Apabila upaya pembangunan hanya berorientasi pada materi (uang) sebagai ukuran atas tingkat kesejahteraan hidup, dengan menyudutkan aspek wawasan lingkungan dan unsur keberlanjutannya maka ungkapan kegelisahan Eric Weiner dalam The Geography of Bliss merupakan lonceng peringatan bagi umat manusia, "Ketika pohon terakhir telah ditebang, dan ikan terakhir telah ditangkap. Barulah manusia akan menyadari bahwa ternyata uang tidak dapat dimakan."
Tindakan pengawahan hutan (deforestasi) dan penebangan/penambangan liar (illegal logging) di mana masyarakat sedang berusaha mengentaskan diri dari banjir dan longsor sebagai musbiah laten; bukanlah tindakan yang mencerminkan perilaku ekologis, sekaligus humanis. Akibat dari penebangan pohon berdampak terhadap kerusakan lingkungan yang lebih luas (global).
Tajuk pepohonan nan rindang dan berlapis yang semestinya dapat berperan menjadi filter alami bagi derasnya pukulan air hujan sebelum jatuh ke permukaan tanah menjadi hilang. Habitus pepohonan dan akar di permukaan tanah yang berperan untuk menghambut laju arus permukaan (run off) juga turut lenyap. Dampak ikutannya, bisa ditebak, yakni hilangnya porositas tanah untuk menyerap air hujan akibat terkikis (tergerus) nya permukaan tanah oleh air hujan akibat dari penebangan pohon secara masal.
Dalam upayanya untuk menyehatkan kondisi lingkungan hidup sebagai tempat tinggal dan hidup semua makhluk, maka perlu upaya penyadaran kolektif dalam memaknai hakekat alam dan pemanfaatan SDA dengan bijaksana. Pemanfaatan SDA haruslah tepat guna, tidak boros, dan berorientasi pada masa depan.
Sebagai upaya penyadaran, perlu diingatkan terus-menerus bahwa saat ini kita sedang 'meminjam' alam semesta (bumi) ini dari anak cucu kita, dimana nantinya wajib 'mengembalikan' berikut dengan bunganya. Artinya, kita perlu menjaga, merawat, bahkan berupaya untuk meningkatkan kualitas bumi bagi generasi mendatang.
Upaya restorasi ekosistem bisa dimulai dengan menerapkan gaya hidup hijau; model gaya hidup keseharian yang ramah lingkungan, antara lain seperti: Â Belajar membuang sampah pada tempatnya, memanfaatkan kembali barang yang telah terpakai (Reuse), pendaurulangan limbah rumah tangga (Recycle), hingga gemar dan giat menanam pepohonan di lahan kritis (Reboisasi).Â
Diharapkan melalui aksi konkret personal yang secara konsisten dan berkelanjutan, nantinya akan menstimulus tumbuhkembangnya pemikiran, dan kesadaran global (think global, act local). Dengan demikian, nantinya secara perlahan namun pasti, lingkungan kita akan kembali sehat, meremaja kembali, dan awet muda. Upaya restorasi ekosistem, sesungguhnya merupakan upaya merawat dan melestarikan kehidupan, masa kini dan nanti.