Mohon tunggu...
Thio Hok Lay
Thio Hok Lay Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku 'Mendidik, Memahkotai Kehidupan'

Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Restorasi Daya Lenting Lingkungan

5 Juni 2021   16:10 Diperbarui: 5 Juni 2021   16:18 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SD Citra Kasih, CitraGarden, Jakarta bersahabat dengan lingkungan - doc.pribadi

HARI ini, Sabtu, 5 Juni 2021 diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di tahun kedua pandemi ini, mengusung tema 'Restorasi Ekosistem'; ditandai dengan peluncuran resmi Dekade Restorasi Ekosistem PBB 2021 -- 2030 yang memberikan perhatian ekstra atas relasi manusia dengan alam semesta.

Dekade PBB ini dimaksudkan untuk memulihkan daya lenting lingkungan; kemampuan lingkungan untuk dapat pulih kembali setelah terjadi gangguan atasnya, serta sebagai upaya untuk mengembalikan kesetimbangan ekosistem akibat krisis iklim; yang berimbas terhadap keterancaman dan kepunahan jutaan keanekaragaman hayati tingkat species (species biodiversity).

Disamping itu, dekade PBB 2021 -- 2030 juga menyoal perihal upaya meningkatkan ketahanan pangan, pasokan air dan mata pencaharian, serta optimalisasi fungsi hutan dan lahan gambut sebagai penyerap karbon alami; yang diharapkan dapat membantu menutup kesenjangan emisi iklim hingga 25% pada tahun 2030 nanti.

Ringkasnya, peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia merupakan momentum bagi para aktivitis lingkungan hidup untuk semakin lantang dalam menyuarakan pesan-pesan ekologis terkait isu perlindungan dan kesehatan lingkungan. Diharapkan pesan dan ajakan tersebut nantinya dapat mewujud dalam tindakan konkret dalam menjaga, merawat dan melestarikan lingkungan hidup sebagai anugerah Tuhan kepada manusia.

Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) tak kunjung usai, ditambah dengan aneka musibah bencana alam yang mendera kehidupan umat manusia, senyatanya hendak mengkonfirmasi bahwa kondisi kesehatan lingkungan hidup kita sedang terganggu (sakit).  Maraknya fenomena kerusakan lingkungan, merupakan indikator konkret bahwa kesadaran publik dalam memahami dan memaknai hakikat alam masih perlu mendapatkan ekstra perhatian secara serius. Saat ini, tak satu pun area ekosistem (darat, air, udara) yang steril dari pencemaran (polusi) sebagai dampak perlakuan manusia terhadap lingkungan hidup yang cenderung semena-mena.

Pergeseran gaya hidup yang mengarah pada hedonis materialistis, yang tak mengenal rasa cukup dan puas, telah menyudutkan alam sebagai obyek untuk dieksploitasi tanpa dipedulikan kapasitas daya dukung dan daya lentingnya. Manusia menjadi egois, rakus, dan tidak peduli lagi terhadap sesama dan kelestarian alam. Lupa bahwa Sumber Daya Alam (SDA) yang ada, jumlah dan sebarannya teramatlah terbatas.

Chapman dkk (2007) dalam bukunya yang berjudul "Bumi yang terdesak", menyatakan bahwa populasi manusia tidak hanya tumbuh secara eksponensial, tetapi gaya hidup dan pola konsumsi manusia telah mendorong munculnya teknologi yang semakin merusak lingkungan. Teknologi modern yang dikembangkan untuk mendukung pola konsumsi yang berlebihan ini telah menghasilkan bahaya lingkungan yang begitu besar, seperti berlubangnya ozon dan kemungkinan perubahan iklim akibat ulah manusia.

Fenomena pemanasan global (global warming) telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap perubahan dunia. Mencairnya es di kutub merupakan satu contoh dari dampak yang diakibatkan oleh meningkatnya suhu bumi. Bila hal ini tidak dicegah nantinya akan menyebabkan terjadinya banjir yang akan menenggelamkan sebagian besar permukaan bumi yang kita tempati. Sebuah ancaman besar terhadap keberlangsungan hidup umat manusia dan  makhluk hidup lainnya.

Kesadaran Baru

Terkait perilaku manusia yang cenderung menciderai lingkungan, maka komitmen dan keberanian sosok Severn Suzuki, 12 tahun, yang berbicara mewakili ECO - Enviromental Children Organization di KTT Lingkungan Hidup PBB di Rio de Janeiro Tahun 1992 perlu diacungi jempol. Lebih dari itu, konten pidatonya masih relevan dan kontekstual hingga detik ini  

Berikut cuplikan pidatonya, "Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yang akan datang; untuk anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar, untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya karena kehilangan habitatnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita. Anda tidak tahu bagaimana cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang telah punah. Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala. Jika anda tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Tolong, berhentilah merusaknya!"

Apabila upaya pembangunan hanya berorientasi pada materi (uang) sebagai ukuran atas tingkat kesejahteraan hidup, dengan menyudutkan aspek wawasan lingkungan dan unsur keberlanjutannya maka ungkapan kegelisahan Eric Weiner dalam The Geography of Bliss merupakan lonceng peringatan bagi umat manusia, "Ketika pohon terakhir telah ditebang, dan ikan terakhir telah ditangkap. Barulah manusia akan menyadari bahwa ternyata uang tidak dapat dimakan."

Tindakan pengawahan hutan (deforestasi) dan penebangan/penambangan liar (illegal logging) di mana masyarakat sedang berusaha mengentaskan diri dari banjir dan longsor sebagai musbiah laten; bukanlah tindakan yang mencerminkan perilaku ekologis, sekaligus humanis. Akibat dari penebangan pohon berdampak terhadap kerusakan lingkungan yang lebih luas (global).

Tajuk pepohonan nan rindang dan berlapis yang semestinya dapat berperan menjadi filter alami bagi derasnya pukulan air hujan sebelum jatuh ke permukaan tanah menjadi hilang. Habitus pepohonan dan akar di permukaan tanah yang berperan untuk menghambut laju arus permukaan (run off) juga turut lenyap. Dampak ikutannya, bisa ditebak, yakni hilangnya porositas tanah untuk menyerap air hujan akibat terkikis (tergerus) nya permukaan tanah oleh air hujan akibat dari penebangan pohon secara masal.

Dalam upayanya untuk menyehatkan kondisi lingkungan hidup sebagai tempat tinggal dan hidup semua makhluk, maka perlu upaya penyadaran kolektif dalam memaknai hakekat alam dan pemanfaatan SDA dengan bijaksana. Pemanfaatan SDA haruslah tepat guna, tidak boros, dan berorientasi pada masa depan.

Sebagai upaya penyadaran, perlu diingatkan terus-menerus bahwa saat ini kita sedang 'meminjam' alam semesta (bumi) ini dari anak cucu kita, dimana nantinya wajib 'mengembalikan' berikut dengan bunganya. Artinya, kita perlu menjaga, merawat, bahkan berupaya untuk meningkatkan kualitas bumi bagi generasi mendatang.

Upaya restorasi ekosistem bisa dimulai dengan menerapkan gaya hidup hijau; model gaya hidup keseharian yang ramah lingkungan, antara lain seperti:  Belajar membuang sampah pada tempatnya, memanfaatkan kembali barang yang telah terpakai (Reuse), pendaurulangan limbah rumah tangga (Recycle), hingga gemar dan giat menanam pepohonan di lahan kritis (Reboisasi). 

Diharapkan melalui aksi konkret personal yang secara konsisten dan berkelanjutan, nantinya akan menstimulus tumbuhkembangnya pemikiran, dan kesadaran global (think global, act local). Dengan demikian, nantinya secara perlahan namun pasti, lingkungan kita akan kembali sehat, meremaja kembali, dan awet muda. Upaya restorasi ekosistem, sesungguhnya merupakan upaya merawat dan melestarikan kehidupan, masa kini dan nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun