Mohon tunggu...
Eka Thermopoliz
Eka Thermopoliz Mohon Tunggu... -

Rabbit lover, Sometimes Photographer, Sometimes writer, and a princess Thermopoliz wanna be

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Backpacker #6 - India (Part II)

19 Mei 2012   16:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:05 1470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami tidak bermalam di Agra tapi langsung melanjutkan perjalanan malam itu ke Jaipur.  Kota ini cukup terkenal dikalangan backpacker termasuk juga Udaipur, Jodhpur dan Jaisalmer. Tiga-tiganya berada di provinsi Rajashtan. Jaipur sendiri terkenal sebagai Pink City karena mayoritas bangunan-bangunannya pada zaman dahulu dicat pink, termasuk juga bangunan kuno yang sangat megah yaitu Hawa Mahal. Jodhpur terkenal sebagai blue city, dengan alasan yang sama dengan Jaipur, sebagian besar bangunan disekeliling Mehrangarh Fort dicat biru. Selain itu Jodhpur juga terkenal sebagai sun city karena disini matahari bersinar sepanjang tahun. Udaipur, kota paling tenang dan sejuk terkenal sebagai Lake City atau White City. Disini terdapat danau Pichola yang disekelilingnya banyak terdapat istana yang sekarang dijadikan hotel mewah. Banyak turis menyebutnya venice of the east tapi kalo menurut saya, julukan itu kurang tepat ;p. Terakhir Jaisalmer yang merupakan tempat terdapatnya gurun pasir besar di India, Thar desert dan beberapa gurun pasir lainnya. Akibatnya kota ini dijuluki Gold City karena warna pasir yang seperti keemasan. Di Jaipur dan Jodhpur warna warna pink dan biru pada mayoritas bangunan dan perumahan sudah semakin tergerus dan penduduk modern menggantinya dengan cat yang berwarna warni. Sehingga yang bisa disaksikan saat ini yang masih berwarna pink dan biru hanyalah bangunan tua. Guide yang kami temukan di stasiun di Jaipur berhasil mencarikan hotel yang murah dan membawa kami keliling kota naik bajaj. Mereka membawa kami ke area kumuh India, yang terletak disebuah desa bernama Bata Basti yang sebenarnya bukan tujuan biasa turis-turis. Ternyata kami dibawa kerumah si supir yang terletak di dalam Bata Basti. Pemandangan yang disaksikan memang tidak biasa. Rumah-rumah penduduk padat dikanan kiri, dengan wujud seperti rumah kotak, dan jarang yang memiliki toilet sendiri. Biasanya terdapat gentong didepan rumah yang digunakan untuk sikat gigi, cuci muka dan cuci piring. Untuk buang air besar, terdapat sebuah lahan yang sangat luas dibelakang desa, dengan beberapa semak dan rerumputan, dan mereka biasanya menginvasi daerah tersebut sambil membawa sebotol air. Dan ya, ketika kita menaiki sebuah undakan pasir, terlihatlah pemandangan beberapa orang jongkok dimana mana :)) Di Udaipur objek yang paling penting untuk dikunjungi adalah City Palace, yang merupakan kompleks istana yang sangat luas dan berada disebelah danau. City palace ini terdiri dari Chandra Mahal and Mubarak Mahal. Chandra Mahal merupakan sebuat museum dan royal resident dengan akses terbatas. Untuk masuk ke City Palace Complex, kami membayar masing-masing 50rs, dan harus membayar lagi 200rs untuk kamera. Dibagian atas, terdapat sebuah taman. Ya, taman sungguhan yang berada diatas gedung, dengan pepohonan yang besar dan sebuah kolam yang sudah kering airnya.

Sebuah pengalaman menarik di Udaipur, adalah ketika kami sedang mencari hostel yang sudah di booking sebelumnya dan merupakan rekomendasi teman, Mahindra Homestay. Kami sampai di Jodhpur sudah larut malam, dan kebetulan si supir bajaj tidak tau posisi pasti mahindra homestay. Jalanan sudah sepi, dan ketika bertemu dengan seorang cowo India, kamipun bertanya. Namun dia juga tidak mengetahui Mahindra homestay, yang mungkin disana terkenal dengan nama lain. Tanpa diminta, dia menawarkan untuk menelpon si pemilik homestay, yang ada di bukti bookingan. Ramah ya :) Pengalaman di Jodhpur beda lagi. Jodhpur sangat panas, beda tipis dengan Jaisalmer karena juga merupakan daerah bergurun pasir. Bus yang membawa kami ke Jodhpur sampai pagi-pagi sekali. Dan pemandangan yang disaksikan sangat tidak menarik. Di Pusat kota, ketika kondektur menyuruh semua penumpang turun, disekitar taman kota, yang kami saksikan adalah puluhan orang yang tidur dijalan. Yup, semuanya gelandangan. Walaupun mungkin ada beberapa yang bekerja sebagai buruh kasar namun tidak memiliki tempat tinggal. Ketika matahari mulai naik, taman dan jalanan menjadi lumayan bersih dan kamipun menuju sebuah benteng yang didalamnya terdapat menara jam, pasar, restoran dan hotel. Dari pemilik hotel, kami mendapat rekomendasi transportasi yang bisa mengantarkan keliling Jodhpur, yaitu sebuah Jeep. Berdasarkan obrolan dengan orang hotel, sebuah kampung yang patut dikunjungi adalah Bishnoi Village yang merupakan daerah diluar kota Jodhpur tempat penduduknya hidup secara damai dengan semua makhluk hidup, termasuk pohon dan hewan. Mereka bahkan pernah mengorbankan diri mereka sendiri untuk menghentikan aksi penebangan pohon yang dilakukan pemerintah. Tak usah diragukan, penduduk disini semuanya vegetarian. Untuk bahan bakar, mereka menggunakan  kotoran sapi agar tidak memotong dan melukai pohon. Disini kita bisa menemukan merak dan rusa, seperti layaknya ayam, binatang ternak yang jinak dan bebas berkeliaran.
Untuk menghormati tamu, penduduk Bishnoi memiliki tradisi yang unik, dimana mereka menyiapkan sebuah pesta opium. Terdengar ekstrim, tapi sebenarnya tidak terlalu mengejutkan karena pada prakteknya si kepala keluarga hanya menyiapkan ramuan opium, sambil berdoa kepada dewanya, dan kemudian mempersilahkan tamu untuk mencicipi. Rasanya seperti obat, dan tidak menyebabkan efek apa-apa. Tamu cukup membayar beberapa rupee sebagai sumbangan.
1337443010625956111
1337443010625956111
Seperti sudah direncanakan sebelumnya, kami mengunjungi gurun pasir di India, di Jaisalmer. Walaupun saat itu musim panas dan suhu siang hari mencapai 50 derajat celcius, kami tetap memantapkan hati untuk merasai semalam digurun dan naik onta. Paket camel safari yang kami pakai cukup mahal, dengan biaya 1700rupee namun termasuk hotel dan jeep yang bisa dipakai keliling desa sekitar gurun. Pertama kita mengunjungi sebuah oasis. Namun apa mau dikata, karena saat itu musim panas, oasisnya kering, dan hanya menyisakan lumpur dan seekor ilama liar. Ketika sampai di gurun, lima ekor unta telah menunggu untuk membawa kami keliling gurun pasir beserta guide untuk setiap orang. Naik onta, yang merupakan pengalaman pertama saya, terasa seperti naik kuda. Dengan makhluk yang lebih besar dan lebih tinggi. Sebelum naik, onta akan berada dalam posisi duduk, dan kemudian dia akan mengangkat kaki depan, dilanjutkan dengan kaki belakang. Akibatnya, ada sensasi seperti naik jungkat jungkit. Onta itu senang bergerombol. Ketika salah satu onta makan rumput dan berhenti, yang lain akan mengikuti. Nah, akan lebih berasa menarik ketika si onta lari. Pinggul akan terasa pegal karena hentakan yang kuat dari onta dan kaki bisa kram karena tidak ada pijakan seperti halnya pada pelana kuda. Malam itu kami resmi bermalam di gurun. Tapi bukan di camp ground yang banyak turis. Kami bermalam ditempat terpencil seperti yang dijanjikan si pemilik tour. Para guide menyiapkan makan malam, yang akibat angin gurun, tercampur pasir dan kriuk kriuk tidak enak. Dengan berat hati makanannya kami kubur dibalik pasir. Setelah matahari turun dan gelap melingkupi sekitar, terdengar suara-suara desing angin. Menurut keterangan dari guidenya, akan ada badai gurun. Terlalu cemas untuk kemungkinan tersebut, kami pindah posisi ke perkampungan terdekat, dan bermalam dibawah pohon. Untung hujannya batal. Pagi hari, kamipun terbangun oleh suara kambing dan sapi, dan ketika membuka mata, ternyata kami bermalam dihalaman rumah penduduk. Seorang perempuan yang memakai sari mengangkut air diatas bahunya. Sangat India. Dan disekeliling, anak-anak kecil berlarian sambil tertawa-tawa melihat pendatang baru.
1337443057831337384
1337443057831337384
Setelah disiapkan sarapan berupa roti bakar, yang untungnya bisa dimakan karena tidak bercampur pasir, kami mengobrol dengan anak-anak tersebut. Seorang yang paling pintar bercerita, bahwa mereka kadang-kadang sekolah, namun tanpa peralatan yang memadai. Ketika teman saya menghadiahi pulpen, mereka senang bukan kepalang. Untuk belajar, katanya. Kebanyakan anak-anak disini yang lebih tidak beruntung secara ekonomi, harus membantu orang tuanya mencari nafkah, seperti guide saya yang bernama Jalu, dengan usia sekitar 8 tahun.
1337442894794208771
1337442894794208771
Sebelum pulang ketanah air, kami menghabiskan satu malam di New Delhi. Saatnya menikmati kota yang merupakan ibu kota India. Sebenarnya ada banyak objek wisata yang sangat menarik di New Delhi, diantaranya Mesjid Jamak, Red fort atau Lal qila, dan Akshardham. Kami hanya sempat mengunjungi beberapa dengan memanfaatkan jasa becak harian. Untuk urusan uang, di India harus berani menawar. Karena mereka dengan sengaja bisa mematok harga yang sangat tinggi untuk turis, dan jangan lupakan "kewajiban" untuk memberikan tips. Sewaktu saya ke India, film-film box office sedang di larang di Indonesia. Akhirnya kita menyempatkan untuk menonton Transformer di bioskop India. Harganya sama sih dengan di Indonesia, sekitar 50rb rupiah untuk week end. Namun demikian, sebenarnya saya masih bercita-cita untuk merasai nonton film india di India. Semoga lain kali kesampaian :D. Berbeda dengan suasana bioskop di Jakarta, di India orang yang ke bioskop seperti sengaja dandan. Dengan pakaian yang heboh dan seakan-akan wajib membeli makanan berat di bioskop yang dimakan sambil menunggu film dimulai. Di pertengahan film, jangan kaget, akan ada break sekitar 20 menit dengan pesan “take ur munchies break for 20 minutes” o.. o.. Ada istirahatnya toh kalo nonton di bioskop India :D.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun