Pada masa kini, perkembangan dunia perbankan semakin marak. Salah satunya sadalah metode perbankan syariah yang memiliki tujuan untuk menjalankan kegiatan perbankannya sesuai dengan perintah Al-Quran, yang diiringi dengan peraturan perbankan di Indonesia. Bank Syariah memiliki pandangan yang cukup moderat, di mana pengguna nya tidak harus Masyarakat muslim saja, namun seluruh Masyarakat Indonesia dapat menggunakannya.
Perbankan syariah memiliki banyak produk perbankan, salah satunya adalah pembiayaan Murabahah. Mengingat prinsip perbankan syariah adalah tidak mengambil riba, Praktik nyata riba pada era sekarang ini adalah praktik pembungaan uang, layaknya dalam bank konvensional. Maka dari itu ada suatu keterdesakan bagi umat Islam khususnya, untuk mendirikan atau menggunakan sistem perbankan yang bebas dari praktik pembungaan uang tersebut. Sehingga muncul sistem perbankan syariah seperti sekarang ini. Dalam sekilas, pembiayaan Murabahah yang didasarkan pada Akad Murabahah tersebut, terkesan memiliki "Celah" untuk menunda bentuk pembayaran, karena tidak akan dikenakan denda.
Mengenai keberadaan denda, Denda merupakan salah satu jenis dari hukuman ta'zir. Ta'zir menurut bahasa adalah ta'dib, artinya memberi pelajaran. Ta'zir juga diartikan dengan Ar-Raddu Wal Man'u, yang artinya menolak dan mencegah. At-ta'zir adalah larangan, pencegahan, menegur, menghukum, mencela dan memukul. Hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya), yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah SWT maupun hak pribadi[1] Â
Â
Secara yuridis, Perbankan syariah telah diatur dalam Undang -- Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Â Definisi dari bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat (1), dijelaskan mengenai kegiatan usaha dari Bank Umum syariah, salah satunya dengan menyalurkan pembiayaan menggunakan Akad Murabahah. Dalam penjelasan pasal 19 ayat (1) dari huruf d, yang dimaksud dengan murabahah adalah akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli, dan pembeli membayarnya dengan harga beli ditambah margin keuntungan yang telah ditentukan kepada penjual.
Â
Selain itu, Adapun Fatwa MUI No. 17/DSN -- MUI/IX/2000 Tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran. Di mana, penundaan pembayaran hanya dapat dilakukan dalam keadaan memaksa atau Force Majeur, Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar boleh dikenakan sanksi. Sanksi tersebut didasarkan pada prinsip ta'zir, yang bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Hal ini sudah secara langsung memberikan perlindungan terkait penggunaan Akad Murabahah, karena penundaan pembayaran denda hanya dapat dilakukan dalam keadaan memaksa, dan adanya saksi apabila nasabah sengaja menunda atas dasar itikad yang tidak baik. Selanjutnya, Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah.
Â
Penundaan pembayaran juga secara lansgung diatur di dalam hadist dan kaidah sebagai berikut:
Â
- Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari 'Amr bin 'Auf: "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
- Hadis Nabi riwayat Nasa'i dari Syuraid bin Suwaid, Abu Dawud dari Syuraid bin Suwaid, Ibu Majah dari Syuraid bin Suwaid, dan Ahmad dari Syuraid bin Suwaid: "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya."
- Kaidah fiqh: "Pada dasarnya, segala bentuk mu'amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
Â