Ketika unit di yayasan tempat saya bekerja mengadakan lomba futsal SMP se Malang Raya, saya melihat banyak anak-anak SMP yang menjadi suporter tim mereka masing-masing. Hati saya serasa mencelos, berlubang dalam dan teriris melihat tingkah polah para suporter yang merokok bak orang dewasa laksana preman padahal mereka masih anak-anak SMP, bahkan ada yang membawa minuman keras.  Sebagai seorang  tenaga kependidkan walaupun saya bukan seorang pendidik tapi saya bekerja di dunia pendidikan merasa miris dengan pemandangan tersebut,
Mereka masih anak-anak SMP lho.
Saya akhirnya menarik garis merah dari pemandangan yang saya lihat tersebut.
Para Guru TAKUT mengajarkan Moralitas dan menegakkan disiplin karena mereka takut dituntut oleh orang tua murid, para guru akhirnya terbungkam tak berdaya melihat anak didiknya yang makin tak bermoral dan tidak disiplin.
Saya ingat waktu saya masih SMA, waktu itu pelajaran Seni Suara, kala itu guru saya  melihat muridnya tidak sungguh-sungguh menyanyi langsung menggetok kepala dengan penggaris kayu panjang, tapi kami diam, sampai rumahpun diam, kalau kami mengadu bisa-bisa hukuman akan ditambah oleh orang tua kami.
Di ruang kelas, Â guru bukan hanya pengajar ilmu, tetapi juga pendidik nilai dan penjaga moral. Namun, di tengah dinamika zaman sekarang, peran itu kerap diuji oleh situasi yang serba sensitif. Tak jarang, seorang guru yang bermaksud menegakkan disiplin atau menanamkan nilai justru harus berakhir dengan permintaan maaf---bukan karena ia salah niat, melainkan karena cara mendidik yang dahulu dianggap wajar kini sering dipersoalkan.
Bahkan lebih parah ada yang dituntut secara hukum, dipecat, terluka dan cacat karena ingin anak-anak yang mereka didik bisa menjadi anak bangsa yang berbudi pekerti serta mempunyai MORAL.
Baru saja terjadi kasus pemecatan seorang kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga Lebak karena menampar siswa yang kedapatan merokok di SEKOLAH.
Kasus tersebut di atas semakin  sering terjadi, seorang murid melanggar tata tertib sekolah atau melakukan tindakan tidak sopan, berkata kasar, mencontek, atau melanggar norma moral. Guru, dengan tanggung jawab mendidik, memberikan teguran keras atau hukuman ringan agar anak belajar bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun, reaksi yang muncul dari orang tua atau lingkungan justru berbalik arah,  guru dianggap terlalu keras, tidak memahami psikologi anak, bahkan dituduh mempermalukan murid.
Dalam posisi yang serba salah itu, apakah guru akhirnya harus "bungkam"?
Mereka menjadi bungkam bukan karena tak ingin menegakkan displin, bukan tak ingin mengajarkan moralitas pada anak didik mereka, Â tetapi karena sistem dan pandangan masyarakat kini lebih berpihak pada kenyamanan anak daripada pada makna pembelajaran moral itu sendiri. Padahal, dalam setiap tindakan disiplin, tersimpan kasih dan kepedulian, keinginan agar anak tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, jujur, dan menghargai sesama.