Mohon tunggu...
Theresia Iin Assenheimer
Theresia Iin Assenheimer Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dari dua putra

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perjodohan yang Membahagiakan

8 Juni 2021   06:24 Diperbarui: 8 Juni 2021   06:56 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penikahan kami dan adik-adik sepupu yang belum menikah / dokpri

Saya lahir di keluarga besar, bapak 5 bersaudara ibu 8 bersaudara, sehingga saya memiliki 30 sepupu dari sisi bapak dan 30 sepupu dari sisi ibu. Bila bude mantu, kami keponakan-keponakan menjadi pagar ayu dan pagar bagus. Menjadi pagar ayu berarti kesempatan tampil cantik. Kami diberi seragam dan didandani berkebaya, bersanggul cantik untuk para keponakan wanita dan berblankon sorjan, untuk para keponakan pria.

Kalau kami sudah berdandan cantik, mbak sepupu kami yang sudah pada menikah berceletuk, "waduh...ayu-ayu, mugo-muga ditakoke uwong" (waduh pada cantik, semoga ditanyakan orang). 

Bude selalu berpesan ke kami prunan-prunannya: "Nek milih pasangan kudu eling Bibit, bobot, bebet" (Kalau memilih pasangan hidup harus ingat bibit, bobot, bebet)

Kata-kata bude ini mau tidak mau masuk ke dalam hati. Sehingga bila berteman, ditaksir atau menaksir orang syarat-syarat ini terpatri dalam hati. Selain itu saya tidak mau pacaran kalau tidak benar-benar memenuhi syarat itu. 

Maaf agak sombong, tetapi memang saya sejak awal terlalu serius untuk hal ini, sampai-sampai adik-adikku cewek sudah berpacaran dan siap-siap bertunangan bahkan mau menikah saya masih tenang-tenang saja. 

Aku memiliki dua adik cewek, masing-masing sudah punya pacar dan siap menikah. Adikku yang ke tiga justru sudah didesak untuk segera menikah dari keluarga pacarnya. Mungkin hal tersebut yang membuat orangtuaku diam-diam mencarikan suami atau bermaksud menjodohkanku.  

Setiap kali jatuh cinta atau dijatuhi cinta ada saja yang tidak pas, sehingga aku lebih baik mundur atau mengalah atau dia memilih yang lain. 

Pernah sudah cocok sekali oh....ternyata dia dengan jujur harus meninggalkan tunangannya. Aku tidak mau menyakiti tunangannya, sehingga meskipun menangis dan akhirnya jatuh sakit beberapa hari, aku katakan tidak. 

Dengan tenang aku katakan padanya, menikahlah dengan tunanganmu jangan memilih saya, percayalah Tuhan akan memberiku pendamping yang pas dan mencintaiku juga. 

Mungkin ini yang disebut patah hati. Dengan membawa luka dihati saya pergi ke negeri seberang, suasana yang berbeda, lingkungan baru, orang - orang baru mampu mengobati luka patah hatiku. 

Di negri seberang aku sibuk belajar bahasa dan dikenalkan dengan kenalan baik dan teman ibuku. Dijodohkan? ya dijodohkan. Meskipun saat itu aku bisa saja mengatakan tidak mau. Tetapi perkenalan itu sendiri menurutku suatu perjodohan. Pria itu mencari istri idaman dan saya mencari suami idaman, paslah. Ibuku memperkenalkan kami berdua.

Pria yang dikenalkan ibuku itu sungguh baik, sabar, lembut dan setelah aku menengok catatan syarat-syarat suami yang aku tuliskan disecarik kertas dan aku simpan di kitab suci, pas bener. Waduh...jangan-jangan ini jodohku.

Saat itu aku belum sungguh-sungguh jatuh cinta, hanya merasakan kalau pria sebrang ini baik...banget dan sayang untuk mengatakan tidak. Setiap kali aku bimbang ibuku mengatakan, dia orang baik.. jarang kamu menemukan orang sebaik itu. Ibuku sampai mengatakan seperti mencari jarum yang terjatuh, kamu sulit untuk menemukan pria sebaik itu. 

Pria sebrang, yang baik dan sabar itu telaten bener. Setiap malam menelpunku untuk membantu pekerjaan - pekerjaan rumah kursus bahasa Jermanku. Setiap akhir pekan selalu datang dan mengajakku melihat-lihat dan menikmati indahnya negrinya.

Kalau ada teman kursusku atau kenalan ibu yang lain yang ingin mengajakku jalan-jalan langsung cemberut. Oh..ternyata pria seberang ini serius ingin meminangku.

Pada akhirnya kami bersepakat menikah dan sebelum aku mengatakan ya, aku minta puasa tujuh hari tujuh malam. Kebiasaan orang jawa, atas nasehat bapakku. Untuk keputusan-keputusan yang tidak ringan, sebaiknya berpuasa dulu. 

Setelah hari ke tujuh puasaku berakhir aku bilang ya. Cintaku tidak menggebu-nggebu, tetapi aku yakin bahwa aku tenang dan bahagia bersama pria seberang yang dikenalkan ibuku itu. Pria baik, lembut, sabar, mampu menjadi kakak tertua adik-adikku. Menantu kesayangan bapak ibuku. Bapakku juga bilang, masmu orang baik, jangan main-main. Hmm..malah bapakku bilang begitu. 

Ternyata benar kata bapak ibuku, masku orang baik sungguh baik, sehingga kami sampai saat ini telah melalui tahun yang ke-28  membangun rumah tangga dan kami dikaruniai dua putra yang sudah berusia 26 dan 22 tahun.

Sampai saat ini masih tetap menantu kesayangan, pakde kesayangan keluarga, karena aku anak tertua. 

Jadi, perjodohan menurutku tidak selalu buruk. Justru baik, karena bapak ibu kita mencarikan suami untuk kita pastilah yang paling baik untuk kita.

Beliau mengenal sungguh siapa kita dan pria yang bagaimana yang pas untuk karakter kita. Saya yang keras dan tidak sabaran dijodohkan dengan pria yang sabar dan lembut.

Kata adik-adikku aku berubah menjadi lebih sabar dan lembut juga. Mungkin karena dicintai dan diterima apa adanya, saya berubah. 

Jodoh ditangan Tuhan itu benar. Orang tua yang menjodohkan saya adalah tangan panjang Tuhan. Saya percaya itu. 

Inilah kisah kecil saya, semoga bisa menginspirasi pembaca untuk tidak segera menolak bila dijodohkan, siapa tahu itu cara Tuhan memilihkan jodoh kita.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun