Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Adulterer (Cerpen Rohani)

24 September 2021   07:24 Diperbarui: 24 September 2021   07:40 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

THE ADULTERER

Aku membuka mataku.

Sebenarnya, aku tidak boleh mendapatkan pemandangan ini. Di hadapanku sekarang, seorang pemuda berwajah tampan sedang tertidur dengan lembut di atas bantal. Aku membelai rambutnya, dan merasakan bahwa aku mengasihinya. Perlahan -- lahan kukecup dahinya, dan sebagai balasannya, ia membuka matanya. Ia tersenyum, membalas kecupanku, dan memejamkan mata kembali.

Perasaan ini adalah sebuah perasaan terlarang, dan kami mengetahuinya.

Sudah berulang kali aku berusaha mencegah perasaan ini timbul di dalam hati ketika ia berkunjung ke rumahku, sudah berulang kali aku berusaha menghindari pandangan matanya, sudah berulang kali aku menudungi kepalaku, namun tetap saja. Yang dibutuhkan hanyalah satu sentuhan lembut di jemari, dan aku merasakan kehangatan menjalar di segenap pembuluh darahku.

Ia menatap mataku dan aku menatap matanya.


Yang kuketahui selanjutnya adalah aku berada di atas tilam ini, bersama dirinya, menumpahkan segala hasrat terpendam. Saat pertama kali, aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku. Kalau perlu kupenggal tangaku sebagai hukuman jika aku mengulanginya lagi. Namun tangan yang sama yang menjadi alasanku kembali jatuh ke dosa yang sama. Hanya sebuah genggaman lembut, dan kami mengulangi perbuatan kami kembali, ketika lelakiku sibuk dengan urusan agamanya.

Ya, lelakiku adalah seorang pemuka agama, seorang petinggi dari mazhab Farisi. Akhir -- akhir ini ia sangat sibuk, bukan hanya ia saja, kelompoknya, karena kemunculan seorang nabi yang membawa ajaran baru. Dari desas -- desus yang kudengar, Ia mengubah hukum Taurat dan bersabda agar umat Israel kembali ke jalan yang benar. Kelompok ahli Taurat dan Farisi pun berupaya agar orang ini dapat dihukum dan dilenyapkan. Begitu pula lelakiku. Sejujurnya aku tidak terlalu peduli. Aku tidak terlalu peduli dengan hukum Taurat.

Karena aku sedang melanggarnya, sekarang.

Hukum ke tujuh dari sepuluh perintah Allah adalah jangan berzinah. Hanya dua kata. Peraturan yang mudah. Dan untuk kebaikan umat manusia. Namun, kehendak hatiku berkata lain. Kehendak jiwaku menginginkan yang lain. Aku menginginkan kasih dari pemuda di hadapanku ini. Wajahnya tampan, hatinya lembut, dan ia selalu memperkatakan yang baik. Aku mendambakan pujian dari mulutnya hadir di telingaku setiap saat. Ketika ia mengecupku, rasanya dunia terdiri dari segenap kebaikan. Tidak mungkin Allah memberikan sebuah perasaan semu dalam diriku ketika menjalin cinta.

Atau semua ini hanya tipu daya iblis?

Aku tidak tahu. Aku tidak mau tahu. Yang kuinginkan sekarang adalah bahwa aku tidak ingin waktu ini berakhir. Jika aku memang berdosa di hadapan Allah, Ia akan menyatakannya padaku. Pelan -- pelan aku berdoa dalam hati, jika memang Tuhan ada, ia akan menolongku.

Brakk!

Aku terkejut. Begitu juga dengan lelaki di sebelahku. Kami bersegera menutup tubuh kami dengan kelambu tilam. Di belakang pintu yang terbuka tiba -- tiba, sudah berdiri beberapa lelaki berpakaian panjang. Aku mengenal orang -- orang ini. Mereka adalah sahabat -- sahabat lelakiku dari mazhab Farisi. Sekilas aku melihat wajah mereka sebelum menunduk malu, semuanya menampilkan kegarangan dan murka. Wajar, karena aku sedang melakukan perzinahan.

Sebelum aku bisa membela diri, semuanya sudah berada di sampingku, dan memisahkanku dari tilam. Mereka memaksaku untuk bangkit dan berjalan ke luar. Aku tahu ini. Menurut hukum Musa, mereka yang tertangkap berbuat zinah akan dilenyapkan dari muka bumi, dan menurut istiadat yang dianut sekarang, adalah sebuah penghukuman massa. Tidak kusangka akan terjadi secepat ini. Aku akan diseret ke tengah -- tengah kota, dan orang -- orang akan melempariku dengan batu.

Aku sekilas melempar pandang kepada sang pemuda. Orang -- orang Farisi tidak menyentuhnya, karena memang ia belum beristri. Tapi, aku sudah, oleh sebab itu mereka murka padaku. Aku mencari lelakiku, dan ia tidak ada. Entah di mana ia berada. Mungkin ia malu padaku.

Aku berjalan langkah demi langkah, di sekeliling orang -- orang Farisi yang membentuk barisan angkuh. Pemandangan seperti ini langka terjadi di masyarakat, dan sekalinya terjadi, pandangan mata orang -- orang adalah sebuah penghakiman. Kau tidak layak hidup! Kau pantas mati! Kau pantas membusuk di neraka! adalah sebuah teriakan -- teriakan sunyi yang kudapatkan dari orang yang melintas di samping barisan. Ya, memang, aku sudah putus asa. Mungkin sebentar lagi aku akan mati dan menuju ajal.

Perjalananku berakhir di sebuah bukit bernama Zaitun, di depan sebuah Bait Allah. Di tempat itu orang sudah ramai berkumpul, bahkan hingga keluar tempat ibadah. Padahal sekarang bukan hari Sabat. Aku tidak mengerti. Namun aku akhirnya menemukan lelakiku. Ia memakai jubah panjang, sedang berdiri di samping seseorang yang berpakaian putih. Orang itu sedang duduk, dan orang -- orang ramai mengerubunginya. Lelakiku tidak ingin bertemu pandang denganku, bahkan seakan -- akan menghindari diriku.

Aku dibawa ke hadapan keduanya, dan orang -- orang Farisi memaksaku untuk bertelut. Awalnya orang ramai hanya bergumam -- gumam bising, namun begitu mengetahui dosa yang kulakukan, semuanya berbalik menghakimi. Gumam -- gumam itu perlahan berubah menjadi perkataan -- perkataan yang mengecam. Dan lelakiku harus mengangkat tangan agar suaranya terdengar jelas. Aku paham ini. Aku akan mendapat hukuman publik. Namun siapakah lelaki berbaju putih ini?

"Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan -- perempuan yang demikian. Apakah pendapat -- Mu tentang hal itu?"

Aku mulai menyadari sesuatu. Orang berbaju putih itu adalah nabi yang menyulitkan itu. Ia mengubah tatanan hukum Yahudi, dan orang -- orang Farisi dan ahli Taurat berupaya untuk mencobai -- Nya, dengan menggunakanku sebagai contoh dosa. Seharusnya aku sudah layak untuk dihukum mati. Orang itu tidak menjawab, melainkan hanya membungkuk dan menulis dengan jari -- Nya di tanah. Beberapa orang Farisi terus bertanya hal yang sama seperti lelakiku kepada sang nabi. Beberapa menyebut nama -- Nya.

Yesus.

Itukah nama nabi itu? Lalu mengapa Ia hanya menulis di tanah dan tidak menjawab seruan orang Farisi? Sementara itu kelompok itu semakin bising, orang -- orang ramai juga semakin kencang berseru di telingaku tentang bagaimana aku seharusnya sudah dilempari batu. Pada akhirnya, orang bernama Yesus itu berdiri. Ia berkata.

"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."

Lalu Yesus kembali membungkuk dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggalah Yesus dan diriku yang tetap di berada di atas tanah. Tubuhku gemetaran, dan aku masih berupaya untuk meraih kesadaranku. Bayanganku akan berhadapan dengan kematian masih terngiang dengan jelas. Yesus berdiri dan berkata kepadaku.

"Hai, perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"

"Tidak ada, Tuhan."

"Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."

Aku hanya terpaku mendengar perkataan -- Nya, bahkan tidak menyadari bahwa Ia pun telah tiada di sampingku. Kini aku hanya seorang diri di depan Bait Allah. Aku berbalik dan memandangi bait itu, mengingat bahwa aku berdoa kepada Allah sebelum kegilaan ini terjadi. Dan doaku ternyata dijawab. Yesus telah bersabda kepadaku agar tidak berbuat dosa lagi. Perkataan itu menjadi pertanda bagiku.

Semoga aku dapat mengimaninya dalam kehidupanku ke depannya. Terima kasih, Tuhan.

Cerita lain dapat dilihat di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun