Aku memasuki ruang investigasi, duduk di hadapan seorang bertampang rapi dan klimis. Ya, direktur operasional Bank Cendrawasih. Namanya Indra Sasongko. Ia kami panggil karena dirinya memang salah satu terdakwa di kasus ini. Umumnya orang berduit akan disertai dengan pengacara di sampingnya, namun ia menolaknya. Ia percaya diri bahwa tanpa disertai pengacara pun, ia akan mampu menjawab pertanyaan polisi dengan sempurna.
"Selamat pagi, pak polisi. Tolong cepat. Waktuku amatlah berharga." Bahkan dirinyalah yang membuka percakapan.
"Kami yakin bahwa ini akan berlangsung cepat, pak Indra Sasongko. Jelaskan. Apakah neraca keuangan ini adalah sebuah kebenaran?"
"Tentu saja, pak polisi. Untuk apa kami berbohong? Tapi untuk keterangan dan rekening lebih lanjut, kami mohon maaf, karena itu kepentingan customer. Anda harus naik ke pengadilan dan mendapat persetujuan hakim jika ingin mendapat keterangan tentang rekening -- rekening customer."
Yohan mengangguk. "Tenang saja, pak Indra, kami tidak akan sejauh itu. Kami hanya berpikir, bahwa dengan sebuah kebohongan akan ada pihak -- pihak yang diuntungkan. Anda, misalnya. Bagaimana kami tahu bahwa transfer itu tidak menuju ke rekening pribadi Anda sendiri?"
Indra tertawa mengejek. "Jika pak polisi ingin mengecek rekening pribadi saya, silakan. Untuk itu tidak perlu maju ke pengadilan. Akan saya buka dengan sukarela. Semua transaksi bisa dipertanggungjawabkan, juga ada track recordnya."
Tentu saja, pak direktur, karena transfernya belum tentu menuju rekening pribadi Anda. Namun aku menyimpan semuanya dalam hati. Aku bertanya.
"Apakah Anda mengenal dengan kedua orang ini? Iqbal Patuha dan Alvin Kalimata."
"Tidak, pak polisi."
"Apakah Anda memahami bahwa Alvin memiliki riwayat penyakit jantung?"
Kembali Indra tertawa mengejek. "Tentu saja tidak, pak polisi. Kenal saja tidak, apalagi tahu riwayat penyakitnya. Tolonglah, pak polisi. Waktu saya amat terbatas, saya tidak bisa ditanya hal -- hal receh seperti ini."