Seorang laki -- laki bertubuh gemuk sedang mencangkul di kebun ketika kami datang. Ia mengelap keringatnya dan mendatangi kami. Mimik wajahnya berubah ketika kami menunjukkan identitas kami sebagai polisi. Kami tidak membuang waktu lama. Charles langsung menunjukkan KTP korban kepadanya. Ia mengangguk.
"Benar, ini ibu. Winda adalah ibuku. Ada apa dengan ibu?"
Sepertinya lelaki ini belum tahu jika ibunya telah tewas. Aku membenci pekerjaanku di bagian ini, karena harus memberikan belasungkawa kepada pihak keluarga. Charles meletakkan topinya di dada, namun tetap akulah yang harus bersuara.
"Pak, tolong dengarkan aku baik -- baik, dengan hati yang tenang. Ibu dari bapak sudah tiada. Ibu Winda Yuliati pagi ini pukul delapan ditemukan di daerah Utomo Jaya dalam kondisi tidak bernyawa. Saya turut berduka cita, pak."
Namun laki -- laki itu mengernyit. Namanya adalah Reyner. "Tidak mungkin, pak. Tidak mungkin. Ibu masih ada di kamarnya. Tadi jam sembilan saya masih sekilas melihat dia di kamar, sedang melihat album keluarga. Tidak mungkin."
"Tenang dulu, pak. Tolong terima kenyataan."
Namun Reyner tidak menggubris perkataan kami. Ia menerobos dan masuk ke dalam rumah dengan terburu -- buru, tanpa melepas sepatu boot kotornya. Kami pun mengikutinya. Ruangan Winda terletak di belakang, setelah lorong tengah. Pintu kamar terbuka, dan di dalamnya ada sebuah kursi kosong dan album yang terbuka di samping tempat tidur. Tidak ada wanita bernama Winda. Namun Reyner masih bersikeras.
"Ibu! Ibu!" Ia berseru sambil keluar ruangan. Pertama -- tama Reyner naik ke lantai dua, mendobrak setiap pintu yang berada di lantai itu. Ia turun tangga dengan terburu -- buru, sehingga kami tahu Winda tidak ditemukan di kamar mana pun. Aku mendesah. Untuk menenangkan orang yang berduka adalah sebuah kesulitan tersendiri, namun meredam orang yang tidak terima adalah sebuah kemustahilan. Pengalamanku telah berbicara.
Reyner kini mengitari pekarangan rumah sambil berteriak. Ia lalu berlari, berkeliling menuju bagian -- bagian lain komplek hutan. Charles sudah tidak sabar. Kami memang tidak punya banyak waktu. Ia ingin mengejar Reyner, namun aku menyergah. Mengejar satu orang saja sulit, apalagi mengejar dua nantinya. Untungnya, beberapa saat kemudian Reyner kembali. Wajahnya kini sudah menahan tangis.
"Ibu...ibu...tidak ada di manapun."
Aku mengangguk, lalu mengeluarkan handphone dan menunjukkan gambar. "Tolong tenangkan dirimu, Reyner. Sekali lagi aku mohon, kuatkan dirimu. Ini adalah ibumu, bukan?"