Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Permasalahan Gereja

25 Juni 2020   08:57 Diperbarui: 25 Juni 2020   09:09 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Doni memicingkan mata. Melihat ke bawah dari tingkat dua, ia masih menyaksikan Pendeta Suryono berkotbah di mimbar. Sebenarnya suaranya terdengar sangat jelas dan keras, namun karena Doni pikiran Doni sudah setengah bercampur dengan alam tidur, suara itu terdengar sayup -- sayup.

"Ibrani 10 ayat 25 berkata, janganlah sekali -- kali kita menjauhkan diri dari pertemuan ibadah kita. Dari ayat ini bisa kita simpulkan, orang -- orang yang bersantai di teras rumahnya di hari Minggu, atau di depan TV, adalah orang -- orang yang tidak mendapatkan perkenanan dari Tuhan."

Doni hanya mendesah mendengar ucapan pendeta, lalu memejamkan mata kembali. Menjauhkan diri dari pertemuan ibadah, pikirnya. Kalau begitu buatlah tata acara gereja dengan lebih menarik. Buatlah isi kotbahmu tidak membosankan, bisanya bikin orang tidur saja. dengan begitu akan lebih banyak orang tertarik datang ke gereja. Huh, dasar pendeta.

Tangannya kini bersedekap, dan matanya masih terpejam. Hanya butuh beberapa waktu lagi ia akan menuju alam mimpi. Ia memilih tempat paling belakang agar bisa memejamkan mata ketika ibadah berlangsung. Bahkan, ia memilih gereja GKI Santa Semar karena bagian belakang tempat duduk di gereja ini memiliki satu railing tambahan di belakang kepala, sehingga ia bisa menyenderkan kepala dengan nyaman. Satu -- satunya alasan mengapa ia pergi ke gereja adalah karena keluarganya termasuk keluarga relijius, jika tidak pergi ke gereja maka ia akan dimarahi orang tuanya habis -- habisan.

Lagipula kenapa memangnya kalau sesekali bolos dari pergi ke gereja? Memangnya aku akan masuk neraka? Bukankah Tuhan Maha Pengampun dan Pengasih? Doni mengangguk -- angguk, seakan membenarkan pemikirannya. Semua tata gereja ini, semua hanya rutinitas belaka. Semua orang terjebak dalam rutinitas. Misalnya kalau kamu tidak pergi ke gereja dan dapat berkat Tuhan, maka dalam minggu itu hidupmu menjadi terkutuk.

Seseorang di sampingnya menyenggol lengannya sehingga ia seketika sedikit tersentak. Sebuah senyum mungil menyapanya.

"Jangan tertidur, sayang. Ayo perhatikan khotbah dengan lebih baik. Ini akan bermanfaat bagi hidupmu juga."

Alasan kedua: kekasihku, Alice. Doni membuang napas panjang dan berusaha untuk membuka mata lebar -- lebar, dengan kepala yang masih berkunang -- kunang. Alice manis dan pacar yang mau toleran dengan sikap -- sikapku. Hanya satu kekurangannya. Ia sama seperti keluargaku yang terlalu relijius. 

Suara pendeta Suryono masih bergaung, "Kebaktian gereja di hari Minggu tidak akan menyelamatkan saudara. Sermon pemuda dan dewasa tidak akan menyelamatkan saudara. Doa subuh tidak akan menyelamatkan saudara. Saudara diselamatkan, semata -- mata hanya karena kasih anugerah dari Tuhan belaka. Itu bukan hasil usahamu, melainkan pemberian Allah, seperti tertuang di Efesus 2 : 8."

Lihat? Kebaktian hari minggu tidak akan berpengaruh apa -- apa terhadap hidupku. Aku tetap akan masuk surga. Kan karena anugerah Allah.

Doni masih memerhatikan beberapa kata dari bapak pendeta, namun tidak ada sedikit pun yang masuk ke hati dan kepalanya. Ia merasa bosan. Ia merasa jenuh dengan kebiasaan orang Kristen yang menganggap kebaktian adalah sebuah rutinitas belaka yang harus dijalani. Ia bahkan berpikir untuk berkonsultasi dengan Alice untuk ibadah secara streaming saja minggu depan saking bosannya.

Akhirnya ia mendengar kata "Mari kita berdoa." dan menyadari khotbah sudah selesai. Selanjutnya akan ada kantong persembahan, doa syafaat, dan terakhir yang paling ditunggu -- tunggu oleh seluruh jemaat di dalam ruangan: pembagian berkat. Doni menengadah pada saat pembagian berkat ini dan melihat langit -- langit gereja yang berada jauh di atas, menjulang tinggi dari tempatnya berada saat ini. Berbagai mosaik tentang kehidupan Yesus tercetak di dinding dan langit -- langit, memberikan kesan keagungan di dalam gereja.

"Karena Engkau punya kerajaan dan kekuasaan dan kemuliaan sampai selama -- lamanya. Amin" Itulah tanda kebaktian di hari Minggu telah selesai dilaksanakan. Beberapa jemaat duduk dan berdoa mengucapkan syukur. Beberapa lainnya langsung pergi meninggalkan tempat. Alice termasuk yang pertama, sehingga mau tidak mau Doni menunggunya. Saat keluar dari lingkungan gereja, Alice berkata bahwa ia ingin membeli nasi hainan. Doni mengernyit dan melenguh, melihat banyaknya antrian yang terjadi.

"Ayang tunggu di sini ya, atau beli minum aja dulu kalo bosan. Mama udah ngidam nasi hainan. Ga enak kalo pesanannya ga dipenuhi."

"Huu, bilang aja kamu juga ngidam nasi hainan kan."

Alice hanya tersenyum manis, membuat Doni menjewer telinganya, dan ia langsung pergi untuk mengantri. Bosan berdiri menunggu, akhirnya ia mengikuti saran Alice untuk beli minum. Menggenggam botol es teh, Doni duduk di bangku samping gerobak minum. Pemandangan gereja Semar yang megah dan besar berada di hadapannya, dengan orang lalu lalang keluar masuk pintu gereja.

Lihatlah. Semua lalu lalang itu tidak perlu jika bisa streaming dari rumah. Bukankah lebih simpel? Lebih efisien? Kita tetap bisa bertemu dengan hadirat Tuhan. Namun tidak perlu memakai celana panjang. Bisa pakai celana pendek. Bahkan bisa sambil tidur -- tiduran. Hehehe.

Doni tersenyum nakal, bahkan dengan bangga mencuplik satu ungkapan dari kitab Pengkotbah bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia adalah sia -- sia belaka. Ia menatap gedung gereja yang berhiaskan mosaik -- mosaik mengilap, tiang -- tiang keemasan, juga salib besar yang menjulang, merasa semua itu tidak diperlukan dalam kehidupan Kekristenan modern.

Pada jaman ini semua serba online. Semua lebih mudah. Bahkan kita bisa mencari preferensi kita. Kalau Pendeta Suryono berkhotbah dengan membosankan, aku bisa mencari pendeta lain yang lebih menarik. Kalau kebaktian GKI Semar terlalu lama, nanti aku cari GKI lain yang lebih singkat kebaktiannya. Mengapa dipersulit, sih?

Doni tenggelam dalam pemikirannya sehingga ketika seorang bapak -- bapak menyadarkannya dengan sebuah pertanyaan, ia sedikit terkejut.

"Boleh bapak duduk di sini? Kosong kan?"

Doni mengangguk tanda setuju. Bapak -- bapak ini berkulit agak gelap, menggunakan kaca mata hitam, dan cukup berotot. Di lehernya ada kalung salib emas. Dilihat dari penampilannya dan logatnya, tentu ia berasal dari daerah timur. Orang biasa umumnya akan terganggu dengan aura yang ditimbulkan, namun Doni sudah terbiasa untuk tidak terintimidasi. Terlebih, ia adalah ketua keamanan di himpunan kampusnya.

Bapak -- bapak itu minum cola, dan merasa segar pada tegukan pertama. Seseorang bertampang mirip menghampirinya. Dalam bahasa yang tidak Doni mengerti, keduanya bertukar pembicaraan. Pada akhirnya orang itu pergi lagi. Langkahnya menuju kedai batagor.

"Dasar makhluk kampung. Baru sekali diajak ke Bandung, ingin mencoba semua makanan. Malu aku ini dibuatnya."

Doni hanya tersenyum dan mengangguk -- angguk. Ia sebenarnya bukan orang yang suka berbincang -- bincang namun entah mengapa saat itu ia merasa penasaran.

"Bapak asalnya dari mana?"

"Oh, saya? Saya dari Maluku, dek. Dari Ambon."

"Lho? Logatnya memang cocok, tapi kok bahasanya seperti bukan dari sana, pak?"

"Lah, tadi bukannya adik dengar bapak ngomong bahasa daerah dengan teman bapak?"

Doni merasa konyol dan senyum -- senyum sendiri. Namun sang bapak akhirnya membuka kembali percakapan.

"Tidak perlu bingung, dek. Kamu benar. Bapak ini sebenarnya perantau. Lima tahun di Jawa, setahun di Bima, tiga tahun di Bandung. Jadi wajar kalau bahasa bapak sudah bercampur -- campur."

Doni mengangguk -- angguk. Sekali lagi, ia sebenarnya bukan termasuk tipe bertanya, tapi entah mengapa ia terus merasa penasaran.

"Kerjaan bapak apa?"

"Penagih utang." jawabnya singkat. Melihat Doni terdiam, ia kembali membenarkan sembari sedikit tertawa, "Di dalam mimpi. Itukah stereotype semua orang timur? Hahaha. Tidak dek, aku adalah seorang penginjil."

Penginjil? Orang ini adalah seorang penginjil? Mohon maaf, ia sama sekali tidak bertampang sebagai seorang pendeta. Melihat tatapan menghakimi yang dilancarkan Doni, sekali lagi bapak ini memberikan penjelasan.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, dek. Tapi percayalah. Bapak ini adalah penginjil. Di pedalaman sana, ada banyak penginjil yang bertampang seperti preman. Tujuan dari mereka ini menjangkau anak -- anak muda, memenangkan jiwa orang -- orang tahanan. Ya bisa dibilang, penginjil underground."

Doni manggut -- manggut. Bapak itu balik bertanya, "Adek sendiri, apa kerjaannya."

"Saya mahasiswa pak, lagi nyusun skripsi."

"Ooo, bagus -- bagus. Baik -- baik lah dek, atur masa depanmu dengan baik. Kadang bapak merasa iri dengan orang -- orang kota. Mereka punya penghidupan yang lebih baik daripada orang daerah. Di daerah sana, semua serba susah."

"Air susah, makan susah, uang susah. Cari teman pun yang benar pun susah. Maka bersyukurlah kau dek bisa hidup di kota ini."

Bapak itu terus membanyol dan mengeluh sehingga Doni mulai merasa tertawan dalam pembicaraan ini. Pada saat ini teman bapak sudah datang dan duduk di sampingnya sambil membawa semangkok batagor. Doni berharap ia menghentikan pembicaraannya dan beralih pada sahabatnya, namun itu hanyalah angan -- angan belaka.

"Kerjaan di kampung sana juga susah dek. Banyak orang mengeluh kepada bapak yang bahkan bapak tidak punya kuasa untuk mengaturnya. Padahal kerjaan bapak ini penginjil. Memenangkan jiwa -- jiwa. Menjangkau yang terhilang. Namun ternyata di kerjaan bapak ini ada kesulitan juga dek. Beribadah di daerah itu susah. Susah ijin, susah dapat tempat, semuanya."

Tiba -- tiba muncul sebuah bunyi klik di kepala Doni. Baru saja ia mengkritisi kebaktikan Minggu yang dilaksanakan di gereja, dan bapak ini menyinggung tentang permasalahan gereja di pedalaman. Penasaran, ia pun bertanya.

"Pak mengapa di daerah gereja sulit mendapat ijin? Bukankah orang -- orang daerah lebih toleran daripada orang kota?"

Di luar perkiraan Doni, bapak itu tertawa, diikuti juga oleh temannya di sampingnya. Bapak itu menjawab, "Intoleransi terjadi di mana -- mana. Di daerah, juga di kota. Bahkan orang -- orang daerah kadang lebih keras."

"Kau tahu bapak ini?" ujar sang bapak sambil menepuk pundak temannya, "Ia adalah orang Bima. Pekerjaannya penginjil juga. Gerejanya di Bima hanya sebuah bekas sekolah yang sudah lapuk, yang atapnya merupakan sebuah seng tua bercampur plastik. Sekolah itu terpencil. Tidak mengganggu orang sekitar, karena untuk mencapainya saja butuh waktu setengah jam jalan kaki dari perumahan terdekat. Tapi apa yang terjadi? Pada suatu hari datang orang -- orang memakai pakaian dinas, dengan memegang surat bupati. Gereja ini tanpa ijin, katanya. Ada buldozer di belakang orang -- orang ini."

"Gereja itu pun dirobohkan, tidak peduli pada jemaat yang meratap tangis di samping. Beberapa ibu -- ibu sampai menjerit ketika gereja dirobohkan. Namun orang -- orang dinas itu tidak peduli. Salah satu alasan di dalam suratnya adalah mengganggu ketertiban umum."

Bapak itu menunjuk gedung gereja Santa Semar. "Gereja ini adalah berkat Tuhan. Pekerjaan Tuhan nyata di tempat ini. Ketika saya beribadah tadi, hadirat Tuhan terasa sungguh nyata. Perasaan kami sungguh tenang dan nyaman. Ketika kami berada di pedalaman, setiap mengangkat sembah, selalu dihantui rasa was -- was, siapa kelak yang akan datang menghentikan ibadah kami."

Bapak itu menatap Doni dan tersenyum, "Kau bersyukurlah, anak muda. Manfaatkan masa mudamu untuk Tuhan dan biarlah rohmu menyala -- nyala untuk melayaniNya. Untuk berperang melawan kekuatan gelap di daerah, biar menjadi tugas kami. Tuhan akan menguatkan kami."

Bapak itu berbicara pada kawan di sebelahnya dan mengangguk. Mangkok batagornya sudah kosong. Ia hendak pamit. "Kami pergi dulu. Kita belum berkenalan. Namaku Rudolf."

"Doni, pak. Senang bisa berkenalan."

"Aku John." Teman si bapak memperkenalkan diri.

Rudolf melanjutkan, "Selamat tinggal Doni. Senang juga bisa berkenalan dalam waktu singkat. Ingat, gereja bukanlah gedungnya. Gereja bukanlah menaranya. Bukalah pintunya, lihat ke dalamnya. Gereja adalah..."

"Orangnya." 

Doni menyelesaikan ucapan Rudolf. Keduanya pun mohon diri, dan tepat ketika itu, Alice datang menyambutnya. Wajahnya dipenuhi permohonan maaf. Doni hanya tersenyum.

"Tidak perlu khawatir, sayang. Tuhan baru saja mengutus malaikatnya untuk berbicara denganku. Dan kau tahu apa? Minggu depan aku tidak akan tertidur di gereja lagi."

Alice setengah mengernyit mendengar ucapan Doni, namun memilih untuk menyimpannya di dalam hatinya. Ketika bergandengan menuju parkiran motor, ia lalu teringat doa yang ia panjatkan ketika usai kebaktian. Doanya seperti ini.

"Tuhan, tolong sadarkan kekasihku ini bahwa bertemu dengan hadiratMu adalah yang terpenting, dan supaya ia menghargai pertemuan denganMu. Kirimkan malaikatMu, Tuhan."

Dan Alice tersenyum karena doanya terpenuhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun