Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Your Cloudiest Sky is My Brightest Day

9 September 2019   18:30 Diperbarui: 9 September 2019   18:38 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lisa memberenggut. Mukanya masam. Sambil berjalan menuruni tangga Campus Center tatapannya tidak pernah lepas dari handphone di tangannya. Ia bahkan tidak peduli jika dirinya salah langkah, salah menjejak, dan terjatuh dari tangga. Pesan di email itu memberangus harapannya. Isinya sederhana: pembagian kelompok dalam mengerjakan sebuah tugas mata kuliah.

Lisa masih memberenggut ketika tiba di anak tangga terbawah. Ia sudah tidak lagi melihat layar handphonenya. Sang pemudi berusaha menghilangkan pikiran buruk dengan memerhatikan sekitar. Ia melihat ke kanan di mana mahasiswa lain sedang bermain basket, ke kiri di mana segerombolan mahasiswa sedang melakukan latihan drum band. Lisa sedikit menyunggingkan senyum. Namun seiring langkah, kedua pemandangan itu perlahan menghilang, bergantikan dengan sebuah gerbang besar, sebuah pemandangan yang selalu dilihatnya setiap hari. Pikirannya kembali memburuk. Sambil berjalan menuju pinggir jalan, ia kembali melirik layar handphonenya.

Lisa menelisik email itu dengan cermat. Dikirim dua puluh menit yang lalu oleh seorang asisten dosen bernama Lina Subroto, isinya memberitahukan anggota - anggota dalam melakukan sebuah proyek percobaan. Badan email itu tidak panjang, hanya berisikan nama - nama dan nomor induk mahasiswa. Nama pertama yang tercantum adalah dirinya. Nama di bawah dirinya adalah Jaka Sembrono. Oke, tidak masalah, ia masih bisa bekerja sama, walau kutahu ia punya kebiasaan merokok. Nama lainnya adalah Guntur Eko. Anak ini adalah sumber masalah! Ia tidak pernah hadir di kuliah Manajemen Cakrawala, pula tidak pernah hadir di himpunan jurusan. Handphonenya tidak pernah aktif! Aku tidak tahu di mana anak ini sekarang. Oh, Tuhan, mengapa aku bisa dikelompokkan dengan anak ini? Lina sialan! Ia benci diriku.

Nama keempat adalah Yoan Adiputra. Oh, Yoan! Sumber masalah berikutnya! Ia selalu duduk di belakang dan bergosip. Ia tidak pernah membawa buku kuliah, bukan hanya itu, aku tidak pernah memerhatikannya belajar! Ah sialan. Sialan sekali. Nama terakhir adalah Vena. Lina mendesah. Vena Tjandra adalah orang terakhir yang ia inginkan berada di kelompoknya, bahkan mungkin orang terakhir yang ia inginkan bertemu. Ia berpacaran dengan Putra, gebetanku sejak awal masuk jurusan. Ah, dunia memang kejam. Bagaimana mungkin aku bisa fokus dengan tugas ini, ketika Vena kelak akan sibuk berkoar tentang kelemahlembutan Putra? Sial.

Perlahan tangis mulai menitik di pojokan mata Lisa. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya, sehingga tidak sadar ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Perkataan sang supirlah yang menyadarkannya.

"Neng, neng Lisa bukan? Pesan Trip-jek?"

Lisa tersadar, "Iya, pak."

Lisa masuk, duduk di belakang kursi. Trip-jek mulai berjalan, namun tangisnya belum usai. Mukanya memerah. Ia tidak berusaha menutup mukanya dan membiarkan bulir - bulir air mata terjatuh di pangkuannya. Ia tahu bahwa ini hanya satu mata kuliah saja, dan upah sks tidak sebanyak mata kuliah lainnya. Ia juga bukan orang yang ambisius, yang ingin memertahankan indeks prestasi. Namun membayangkan bekerja bersama orang - orang itu membebankan hatinya. Terlebih bertemu dengan Vena si cantik itu. Aku tahu bahwa ia cantik dan Putra tampan, dan mereka adalah pasangan yang serasi. Namun sifatnya! Ia dan Yoan merupakan kombinasi terburuk, dan mereka tidak akan pernah berhenti bergosip. Ah sedihnya.

Melihat Lisa menitikkan air mata, supir merasa gelisah dan bertanya, "Neng, kenapa menangis? Ada masalah di belakang?"

Lisa tidak menjawab karena tidak memerhatikan. Supir kembali bertanya, "Neng, kenapa? Ada masalah dengan kursinya? Atau ada tumpahan air di belakang?"

Kali ini Lisa memerhatikan. Ia menjawab, "Oh tidak ada apa - apa, Pak. Bukan masalah mobil ini."

Supir bernapas lega. Namun Lisa belum usai menitikkan air mata. Melihatnya dari kaca spion, supir merasa gundah. Ia tahu bukan etikanya untuk terus bertanya kepada penumpang, namun ia tidak tega melihat seorang gadis terus bersedih. Akhirnya ia buka suara.

"Neng, sebenarnya ada masalah apa? Barangkali bapak bisa bantu."

Lisa tidak menjawab. Di dalam hati supir menyesal karena telah bertanya. Sudah tidak seharusnya ia tidak masuk ke dalam ranah pribadi. Namun Lisa kemudian menjawab pelan.

"Ada sedikit masalah...di kampus."

"Ohh..."

Hening beberapa saat, sebelum supir berusia tiga puluhan itu kembali berucap, "Masalah apa, neng Lisa, di kampus? Barangkali bapak bisa bantu?"

"Bapak tidak akan mengerti. Ini masalah kuliah."

Supir angguk - angguk. Melihat Lisa sudah sedikit nyaman bertukar kata dengannya, ia melanjutkan. "Ya, bapak tahu bapak bukan lulusan kampus, Neng Lisa. Bapak juga bodoh, makanya jadi supir online. Tapi mungkin bapak bisa bantu dengar, kalau - kalau Neng Lisa mau cerita?"

Lisa mendesah, membuang napas panjang - panjang. Akhirnya ia memilih untuk membuang uneg - unegnya.

"Masalah pembagian kelompok, Pak. Saya kebagian dengan orang - orang yang bermasalah. Ada yang tidak pernah nongol di kampus, ada yang tukang gosip menyebalkan, ada yang perokok. Menyusahkan semuanya. Lalu yang terakhir, ada Vena Tjandra. Dia merebut pacar saya. Namanya Putra. Sungguh sakit hati ini, Pak. Saya berencana untuk tidak hadir di mata kuliah ini lagi."

Keheningan melanda bagian dalam mobil online. Lisa masih sesenggukan. Beberapa saat kemudian sang bapak kembali berujar.

"Masih lanjut lagi, neng? Bapak masih siap mendengarkan, lho."

Di tengah sedu sedan, Lisa menjawab, "Ti...tidak, Pak. Sudah sampai di situ."

Pak supir tersenyum kecil. Tatapan matanya beradu dengan Lisa lewat kaca spion.

"Neng Lisa, bapak boleh cerita, tidak? Mumpung - mumpung perjalanan masih cukup jauh."

Lisa tidak menjawab melainkan memandang keluar jendela yang tertutup. Supir menerjemahkan itu sebagai tanda mengiyakan. Ia mulai bercerita, dimulai dengan pertanyaan.

"Neng Lisa, Neng Lisa tahu berapa bapak baru dapat orderan hari ini?"

Tentu Lisa tidak menjawab. Supir itu melanjutkan, "Baru tiga, lho Neng Lisa. Bapak bekerja dari jam tujuh pagi. Sekarang sudah jam tiga sore. Seharusnya bapak sudah dapat lebih dari sepuluh orderan. Pendapatan bapak minim sekali hari ini."

Ya itu kan masalah bapak, ujar Lisa dalam hati. Pak supir itu melanjutkan kisahnya.

"Mobil ini mobil kredit, lho. Tiap hari bapak harus setor seratus ribu lebih. Belum lagi masalah bensin. Dengan itu neng bisa kira - kira berapa pendapatan bapak sekarang?"

Lisa kembali memberenggut. Ya itu masalah bapak. Salah sendiri dulu tidak sekolah.

"Bapak lalu pulang ke rumah. Tidak akan ada yang menyambut. Anak bapak masih bayi, sementara istri bapak terkena post-traumatic-syndrome."

Lisa sedikit tergugah. Apa itu post traumatic syndrome? Apakah itu masalah besar?

"Ya, bapak dulunya adalah konsultan keuangan di sebuah perusahaan finance. Tuh perusahaannya, semua orang juga tahu." ujarnya sambil menunjuk sebuah perusahaan di pinggir jalan sembari lewat.

"Bapak terpaksa berhenti, karena setelah istri melahirkan, ia terkena penyakit yang tadi bapak sebutkan. Sebabnya adalah ia melahirkan secara caesar. Lahiran itu sebenarnya bukan masalah. Istri dan bayi bapak kembali secara sehat. Namun omongan orang - orang di sekitarnyalah yang bermasalah. Ibu mertua, bibi, dan sanak saudara, bilang kalau melahirkan secara caesar, tidak dianggap melahirkan. Melahirkan yang seharusnya, harus melalui bawah kaki. Istri saya jadi depresi mendengar omongan itu. Ia pun menjadi sakit - sakitan. Yang harusnya menyusui, malah mengurung diri di kamar. Terpaksa saya serahkan anak bayi saya kepada inang pengasuh. Bapak pun tidak bisa jauh - jauh dari rumah. Ya, bapak sebenarnya baru dapat tiga orderan ini karena pilih - pilih. Bapak harus dekat rumah, supaya jika istri perlu, bapak bisa langsung pulang ke rumah. Kata dokter ia bisa tendensi untuk bunuh diri."

Hanya satu ucapan panjang yang diucapkan oleh sang supir, membuat Lisa tersentak. Tangisnya kini sudah berhenti. Ia bahkan secara tidak sadar menahan napas. Melihatnya melalui kaca spion, sang supir menyunggingkan senyum.

"Apakah Lisa melihat bapak bersedih dan putus asa? Tentu tidak, bukan? Bapak masih tetap semangat dalam menjalani hidup. Karena masih ada harapan. Masih ada harapan istri bapak akan sembuh. Lisa bagaimana? Masih sedih memikirkan teman - teman?"

Lisa tidak menjawab perkataan sang supir. Ia hanya bertanya dua pertanyaan.

"Nama bapak siapa? Apakah Lisa bisa bantu bapak?"

Sang supir tersenyum, "Nama bapak Antono. Tidak perlu, Lisa. Tidak perlu. Lisa anak baik yang masih punya masa depan. Lagipula yang dibutuhkan oleh istri bapak adalah dorongan moral. Ya, kehadiran bapak ini."

Pelan - pelan, Lisa mengeluarkan pengakuan.

"Lisa mohon maaf, Pak. Ternyata masalah Lisa tidak seberapa yang bapak punya. Lisa jadi tidak enak. Apakah benar tidak ada yang bisa Lisa bantu, Pak?"

Antono menggeleng pelan, "Tidak usah, Lisa. Bapak ulang: Lisa anak baik. Cukup persiapkan masa depan dengan baik - baik. Nah, sudah sampai, yang pagar hijau, ya?"

"Iya, Pak."

Lisa turun dan menyerahkan ongkos jalan. Ia berjalan menuju rumah, dan otaknya sedikit berpikir. Bagaimana mungkin bapak ini tahu rumah saya yang berpagar hijau? Lisa berbalik dan melihat Antono menurunkan kaca samping. Ia menjulurkan lidah.

"Kamu anak bodoh! Saya adalah kakak Vena! Yee, percaya saja sama cerita saya. Hahahaha!"

Mobil Trip-jek itu melaju kencang meninggalkan Lisa yang termangu tidak percaya di depan rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun