Ledakan ulat bulu mungkin tampak sepele, hanya masalah alam biasa
Ledakan ulat bulu mungkin tampak sepele, hanya masalah alam biasa. Namun F. Rahardi dalam Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu justru menunjukkan bahwa ketakutan massal terhadap ulat bulu hanyalah cerminan dari ketakutan yang lebih besar: ketakutan politik, ketakutan sosial, bahkan ketakutan pemimpin terhadap bayangannya sendiri. Ulat bulu, yang seharusnya bagian dari siklus ekologi, dijadikan kambing hitam, sama seperti bagaimana rakyat sering dijadikan objek untuk menutupi kerusakan moral para elit negeri ini. (1)
Di sisi lain, Budiman Tanuredjo dalam Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati mengingatkan kita bahwa sumpah pejabat hanya tinggal teks kosong. Anggota DPR yang dulu bersumpah demi Allah untuk menegakkan demokrasi justru menjadi pihak pertama yang melanggarnya dengan mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi. (3)
Etika yang ditulis dalam Ketetapan MPR 2001 tak lebih dari hiasan dinding ornamen tanpa makna. Ini ironis, karena para pejabat senang bicara soal moralitas, padahal prakteknya jauh dari kata beretika.
Sementara itu, Editorial Tempo dalam Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal memperlihatkan wajah lain sandiwara politik: kasus pagar laut di Banten yang penuh ketidakjelasan. Presiden, menteri, TNI, Polri---semua seolah berperan dalam drama tanpa akhir. Bambu yang ditancapkan di laut ternyata lebih kuat dari sumpah pejabat. Hukum bukan ditegakkan, tapi dipermainkan sesuai kepentingan. Publik yang menunggu keadilan hanya disuguhi lakon kacau yang bisa memicu konflik sosial. (2)
Jika tiga artikel ini dibaca bersamaan, terlihat benang merah ketakutan massal, sumpah kosong, dan sandiwara hukum hanyalah gejala dari penyakit lama yang tak kunjung sembuh krisis kepercayaan. Rakyat makin sulit percaya pada pemerintah yang seharusnya melindungi. Bagaimana mungkin percaya, jika ulat bulu saja diperlakukan seperti tulah, sumpah pejabat jadi teks mati, dan pagar laut ilegal diperlakukan seperti mainan politik.
Sebagai siswa SMA, saya merasa muak dengan keadaan ini. Generasi saya dibesarkan dengan cerita reformasi 1998 yang penuh harapan, tetapi setelah 27 tahun, tidak ada perubahan yang signifikan. Dulu mahasiswa menuntut enam hal: adili Soeharto, berantas KKN, tegakkan hukum, amandemen UUD, otonomi daerah, dan cabut dwifungsi ABRI. Kini, bahkan setelah reformasi berjalan puluhan tahun, masalah yang sama masih kita hadapi: korupsi merajalela, hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah, dan elit politik hanya sibuk bagi-bagi kursi.
Namun masyarakat tidak tinggal diam. Tahun 2025 lahir 8 tuntutan jangka panjang baru dari masyarakat sipil: Bersihkan dan Reformasi DPR Besar-Besaran, Reformasi Partai Politik dan Kuatkan Pengawasan Eksekutif, Susun Rencana Reformasi Perpajakan yang Lebih Adil, Sahkan dan Tegakkan UU Perampasan Aset Koruptor, Reformasi Kepemimpinan dan Sistem di Kepolisian agar Profesional dan Humanis, TNI Kembali ke Barak, Tanpa Pengecualian, Perkuat Komnas HAM dan Lembaga Pengawas Independen, Tinjau Ulang Kebijakan Sektor Ekonomi & Ketenagakerjaan. Jika digabung dengan 17 tuntutan jangka pendek yang lebih luas mulai dari reformasi penghasilan DPR, perbaikan kondisi pekerjaan rakyat, hingga pembuatan kebijakan tim investigasi kasus orang yang meninggal di aksi demonstrasi.
Artinya, solusi untuk negeri ini bukan sekadar menertawakan dagelan politik atau membiarkan sumpah kosong berlalu.
Artinya, solusi untuk negeri ini bukan sekadar menertawakan dagelan politik atau membiarkan sumpah kosong berlalu. Kita perlu menagih janji reformasi yang belum tuntas, sekaligus memperjuangkan tuntutan baru yang lahir dari kegelisahan generasi sekarang. Pemerintah harus berhenti bersembunyi di balik retorika pembangunan dan menghadapi kenyataan bahwa rakyat sudah jenuh dengan drama.
Ulat bulu bukanlah tulah. Ia justru bisa menjadi berkah yang membuat pohon berbuah lebat. Demikian pula krisis yang kita alami saat ini seharusnya bisa menjadi kesempatan untuk memperbarui negeri. Tetapi itu hanya mungkin jika para pemimpin berani melepaskan ketakutan mereka: takut kehilangan jabatan, takut ditinggalkan koalisi, atau takut dimintai pertanggungjawaban.
Rakyat sudah tidak takut lagi. Yang kami takutkan justru adalah masa depan yang terus dimainkan seperti sandiwara. Karena itu, tuntutan 17+8 bukan sekadar daftar, melainkan suara generasi yang ingin melihat Indonesia keluar dari "republik hantu" menuju negeri yang benar-benar berdaulat, adil, dan bermartabat.
Ketakutan berlebihan pada ulat bulu mungkin hanya lucu, tapi ketakutan berlebihan para pemimpin pada kehilangan kekuasaan adalah tragedi. Jika sumpah tinggal teks mati dan hukum hanya jadi panggung sandiwara, maka rakyatlah yang akhirnya menanggung akibatnya. Saatnya kita menagih janji reformasi dan menambahkan tuntutan baru agar masa depan negeri ini tidak lagi digerogoti oleh fobia, sumpah kosong, dan dagelan politik.
Sumber Artikel
1. Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu  (F. Rahardi, Kompas.com) , 2. Sandiwara Penyelesaian Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo), 3. Ketika Sumpah dan Etika hanya Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI