Artinya, solusi untuk negeri ini bukan sekadar menertawakan dagelan politik atau membiarkan sumpah kosong berlalu. Kita perlu menagih janji reformasi yang belum tuntas, sekaligus memperjuangkan tuntutan baru yang lahir dari kegelisahan generasi sekarang. Pemerintah harus berhenti bersembunyi di balik retorika pembangunan dan menghadapi kenyataan bahwa rakyat sudah jenuh dengan drama.
Ulat bulu bukanlah tulah. Ia justru bisa menjadi berkah yang membuat pohon berbuah lebat. Demikian pula krisis yang kita alami saat ini seharusnya bisa menjadi kesempatan untuk memperbarui negeri. Tetapi itu hanya mungkin jika para pemimpin berani melepaskan ketakutan mereka: takut kehilangan jabatan, takut ditinggalkan koalisi, atau takut dimintai pertanggungjawaban.
Rakyat sudah tidak takut lagi. Yang kami takutkan justru adalah masa depan yang terus dimainkan seperti sandiwara. Karena itu, tuntutan 17+8 bukan sekadar daftar, melainkan suara generasi yang ingin melihat Indonesia keluar dari "republik hantu" menuju negeri yang benar-benar berdaulat, adil, dan bermartabat.
Ketakutan berlebihan pada ulat bulu mungkin hanya lucu, tapi ketakutan berlebihan para pemimpin pada kehilangan kekuasaan adalah tragedi. Jika sumpah tinggal teks mati dan hukum hanya jadi panggung sandiwara, maka rakyatlah yang akhirnya menanggung akibatnya. Saatnya kita menagih janji reformasi dan menambahkan tuntutan baru agar masa depan negeri ini tidak lagi digerogoti oleh fobia, sumpah kosong, dan dagelan politik.
Sumber Artikel
1. Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu  (F. Rahardi, Kompas.com) , 2. Sandiwara Penyelesaian Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo), 3. Ketika Sumpah dan Etika hanya Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI