Dulu, waktu Saya kecil, momen Lebaran adalah salah satu hal yang ditunggu selain Natal. Â Mengapa demikian? Tetangga kami di kampung yang merayakan Lebaran, menerima kedatangan kami dengan sukacita yang tidak dibuat-buat.Â
Entah mengapa, tapi kenangan indah itu terus melekat dalam benak Saya. Tidak ada pesta besar, tak ada jamuan mewah, hanya obrolan hangat di beranda rumah, ditemani segelas teh panas atau kopi dan kue buatan rumah yang sederhana.Â
Saat itu kami bisa merasakan nikmatnya ketupat dengan opor ayam yang dibumbui dengan bahan-bahan yang diambil dari halaman rumah sendiri. Â Rasanya itulah makanan termahal saat itu. Mahal suasananya, mahal pula rasanya!Â
Lebaran, Nyepi dan Pra-Paskah, Â penuh makna
Lebaran tahun ini, hampir tidak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Penuh keceriaan, hidangan berlimpah, pakaian baru, dan rumah yang ramai dengan tamu.Â
Namun ada yang benar-benar istimewa kali ini. Ada tiga momen penting yang datangnya bersamaan. Lebaran, perayaan Nyepi bagi umat Hindu dan Pra-Paskah bagi umat Katolik. Bak sebuah keajaiban untuk refleksi bagi kita.
Mungkin inilah saat yang tepat untuk kita belajar, bagaimana  menghadirkan kembali makna kesederhanaan dalam sebuah perayaan besar keagamaan. Tidak hanya bagi umat Muslim, namun juga bagi pemeluk agama lainnya.Â
Kesederhanaan dalam merayakan hari besar agama, Â sejatinya bukan hal yang asing. Dalam agama Hindu, Hari Raya Nyepi dirayakan dalam keheningan dan refleksi, tanpa pesta ataupun kemeriahan.
Momen ini digunakan untuk kembali ke dalam diri, memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan alam.Â
Sementara itu, dalam tradisi Katolik, masa Pra-Paskah menjadi waktu untuk mengendalikan diri, berpantang, dan lebih banyak berbagi dengan sesama.Â
Kedua perayaan ini menegaskan bahwa kebahagiaan dan keberkahan tidak selalu harus ditandai dengan perayaan yang hingar-bingar. Sebaliknya, ketenangan dan kesederhanaan justru bisa memperkaya jiwa.