Mohon tunggu...
Fajariah Tri Lestari
Fajariah Tri Lestari Mohon Tunggu... lainnya -

Saya adalah seorang sarjana di bidang pendidikan dan juga seorang ibu rumah tangga.\r\nSebagai manusia, Saya ingin mengembangkan pengetahuan dan kemampuan yang Saya miliki.\r\nOleh karena itulah Saya bergabung dengan KOMPASIANA karena KOMPASIANA adalah tempat yang tepat untuk mencari informasi dan berbagi pengetahuan serta pengalaman.\r\n\r\nSemua tulisan yang Saya muat di website ini adalah murni hasil karya Saya sendiri dan bebas dari aktivitas plagiarisme..\r\n\r\n\r\n\r\nTerima Kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilematisme Seorang Wanita “antara Karier dan Keluarga”

10 Februari 2014   11:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjadi seorang wanita tidaklah mudah. Persepsi masyarakat yang memandang wanita adalah makhluk rendahan yang hanya bisa mengandalkan laki-laki dalam hal finansial terkadang membuat harga diri wanita dipandang sebelah mata…

Adalah suatu hal yang wajar apabila seorang wanita telah menikah, maka tanggung jawab finansialnya menjadi tanggungan suaminya. Namun, tidak sedikit wanita (istri) yang memilih untuk tetap bekerja dan meniti karir di berbagai bidang. Memang sangat masuk akal jika seorang wanita menganggap dirinya lebih berharga jika memiliki penghasilan sendiri sehingga tidak sepenuhnya menggantungkan hidup pada penghasilan suaminya.

Sangatlah menyedihkan jika seumur hidupnya seorang wanita 100% mengandalkan segalanya dari pihak laki-laki. Padahal wanita juga seharusnya bisa mengembangkan kemampuannya dan menunjukkan pada dunia bahwa wanita adalah makhluk yang layak diperhitungkan. Wanita bukanlah suatu komoditi yang bisa diperjualbelikan dan dieksploitasi.

Contoh konkrit:

#.Dari sejak masa pacaran/masa perkenalan: Sang laki-lakilah yang membiayai semua pengeluaran yang diperlukan saat jalan-jalan atau makan bersama. Misalnya biaya transportasi, biaya jajan, makan, minum, shopping, dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan pada saat itu.

#.Saat menikah: Sang laki-lakilah yang membiayai semua pengeluaran saat diadakannya acara pernikahan. Misalnya biaya catering, salon, kostum, sewa tempat, sewa tenda, jasa dekorasi, jasa hiburan, dan biaya-biaya lainnya yang pastinya sangat menyedot rekening tabungan keluarga si pihak laki-laki.

#.Setelah menikah: Sang laki-lakilah yang membiayai semua pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari mulai membeli rumah, membeli perabot, membeli peralatan rumah tangga, membeli kendaraan, makan&minum setiap hari, biaya pendidikan, biaya hiburan&wisata, belanja ini-itu, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Contoh tersebut mengesankan seolah-olah wanita hanyalah ibarat seorang parasit yang hanya bisa menggantungkan hidup dan matinya di tangan laki-laki. Wanita tidak punya bargaining position. Harga diri seorang wanita memang sangat dipertaruhkan di dunia ini. Maka, tidak heran jika terjadi pelecehan dan penyiksaan terhadap wanita di berbagai belahan dunia ini dari kutub selatan sampai kutub utara, dari benua Australia sampai benua Afrika….

Adanya penetapan “kuota” bagi wanita/perempuan yang akan mengambil studi di universitas-universitas di luar negeri , serta “kouta” keterwakilan bagi wanita/perempuan yang akan menduduki jabatan di dewan kehormatan justru malah mengesankan bahwa peran wanita dalam hal tersebut bukanlah sesuatu yang “alami” atau terjadi dengan sendirinya, melainkan terkesan “dipaksakan”. Kebijakan “kuota” terkadang tak lebih bermakna dari sekedar formalitas dan persyaratan administratif belaka.

Lapangan pekerjaan untuk wanita saat ini sudah semakin berkurang. Ada beberapa bidang pekerjaan yang didominasi bukan oleh wanita. Padahal pekerjaan-pekerjaan tersebut sangat menuntut kekuatan sense and feeling -selain membutuhkan skill tentunya- yang seharusnya bisa di take over oleh wanita. Tapi anehnya justru laki-laki dan ‘banci’ lah yang mendominasi pekerjaan itu.

Dari sekian banyak fashion designer paling top di indonesia dan dunia, hanya beberapa persennya saja yang wanita.

Dari sekian banyak pelukis maestro di indonesia dan dunia, hampir tidak ada yang wanita.

Dari sekian banyak jajaran eksterior/interior designer dan arsitek terkenal yang membuat bangunan dan gedung futuristik yang menjadi “icon” suatu landscape, hanya beberapa persennya saja yang wanita.

Dari sekian banyak jajaran chef terkenal di indonesia dan dunia, hanya beberapa persennya saja yang wanita. Tidak heran jika laki-laki dan ‘banci’ justru lebih lihai dan pandai memasak daripada wanita itu sendiri. Wanita yang sudah belasan tahun menikah pun bisa kalah dalam urusan cooking-cooking.

Masih banyak pekerjaan-pekerjaan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Bagi saya pribadi, ini merupakan suatu keanehan. Bagaimana tidak, bidang-bidang pekerjaan yang harusnya lebih membutuhkan perasaan dan pemahaman aspek estetika yang tinggi malah didominasi oleh kaum Adam dan kaum Nabi Luth. Mungkin butuh waktu yang sangat lama bagi saya pribadi untuk menerima kenyataan pahit yang melanda kaum Hawa di dunia ini….

Note:

Tulisan ini tidak membahas tentang “emansipasi wanita” ataupun “kesetaraan jender” karena butuh interpretasi yang mendalam untuk mengemukakan kedua hal tersebut secara komprehensif…

@TheFamousz Gorgeousz


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun