Mohon tunggu...
Djoko Susilo
Djoko Susilo Mohon Tunggu... -

mencoba untuk berbagi pemikiran dan cerita, untuk selengkapnya bisa kunjungi blog saya http://www.thedjokosusilo.org

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasionalisme Yang Membela Petani

21 Mei 2011   07:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:24 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wisma Indonesia, yang merupakan kediaman resmi duta besar RI untuk Swiss, terletak di desa (gemeinde) Gumligen, di pinggiran kota Bern. Banyak tamu yang datang sering bertanya penuh keheranan, bagaimana di negara maju seperti di Swiss, masih ada lahan pertanian dan peternakan yang luas. Makanya, secara guyon sering saya sampaikan kepada teman-teman dari Jakarta bahwa tetangga saya hanya sapi yang jumlahnya puluhan yang dimiliki satu keluarga, Hans Guertsner..

Setiap pagi saya bangun tidur dan membuka pintu dan jendela wisma, hawa segar  campur bau sapi dan tanaman pasti menyapa. Karenanya, saya selalu memperingatkan teman – teman dari Indonesia yang akan mampir ke wisma dan apalagi menginap, agar jangan kaget kalau ‘’bau sapi’’.  Sapi – sapi itu merumput bebas dari pagi sampai petang tanpa ada yang mengawasi. Pada jam – jam tertentu mereka antri untuk diperah susunya yang langsung diproses ke pabrik, baik untuk dairy products maupun untuk produk lain, seperti cheese, fondue, raclet dan lain – lain makanan Swiss.

Lahan pertanian di depan wisma saya, selain untuk peternakan puluhan sapi, juga untuk berbagai macam tanaman. Ada yang mengkhususkan menanam hortikultura, ada yang menanam jagung, gandum, bunga matahari dan sebagainya. Yang jelas, mereka tidak akan pernah menanam tanaman yang sama dalam lahan yang sama secara berturut turut. Katakanlah kalau mereka mempunyai tanah 2 hektar. Biasanya lahan itu akan dibagi dalam empat bagian, satu bagian di tananami gandum, satu bagian jagung, satu bagian hortikultura dan bagian lainnya bunga matahari. Musim tanam berikutnya, mereka menggeser lokasi sehingga satu plot akan kembali ditanami tanaman yang sama setelah empat kali musim tanam. Dengan demikian, tanpa menggunakan obat kimia, petani Swiss sudah menghindari terjadinya serangan hama.

Untuk menjadi petani harus mengikuti semacam sekolah atau kursus tertentu. Saya punya kenalan, mbak Atik, asal Klaten yang kawin dengan petani Swiss di kanton Fribroug. Ketika tiba di Swiss, dia harus belajar dulu sekitar 2 tahun untuk mempelajari cara bertani yang benar. Suaminya memang anak petani dan memiliki tanah yang lumayan luas, sekitar 32 hektar. Tanah seluas itu hanya digarap mbak Atik dan suaminya, dibantu dua anaknya, dan kadang – kadang saja mengupah tetangga.

Mungkin banyak yang akan bilang, pantas saja petani Swiss kaya karena lahannya sangat luas. Lahan pertanian  di Swiss sangat luas karena memang terdapat kebijaksanaan perlindungan pemerintah terhadap bidang pertanian yang nyata.  Ketentuan pertama ialah tidak boleh adanya petani berdasi. Yaitu orang – orang kota yang memiliki duit dan membeli lahan untuk disewakan atau dikerjakan dengan mengupah orang lain. Dengan kata lain. Lahan pertanian hanya boleh dimiliki dan diusahakan oleh petani yang terjun sendiri mengolah tanahnya. Titik.

Untuk menghindari penyusutan lahan,  lahan pertanian juga dilarang dikapling – kapling kecil. Artinya, andaikata saya memiliki lahan 10 hektar dan anak saya 5 orang, saya tidak boleh mewariskannya dengan mengkapling – kapling masing –masing 2 hektar untuk setiap anak.  Tanah harus untuh 10 hektar agar efisien menggunakan mesin dan anggota keluarga yang tidak bekerja dari pertanian mendapat saham dari warisannya. Atau bisa juga anak yang tidak bekerja di pertanian menjual haknya kepada saudaranya yang bertani. Jika tidak ada diantara anak – anak itu yang meneruskasn usaha pertanian bapaknya, maka tanah harus dijual secara keseluruhan kepada petani lain. Dengan demikian, tanah tidak akan pernah terpecah pecah dan apalagi berubah menjadi pabrik, perumahan dan lain – lain kegiatan non pertanian. Bagi pemerintah Swiss, ketahanan pangan sama pentingnya dengan ketahanan militer yang mana produksi nasional harus dijaga dan dilindungi.


Menurut pak Hans, petani  Swiss kenalan saya, sebagai petani tugas dia hanya mengolah tanah, menanam , memelihara dan memanen. Soal penjualan sudah ada yang mengurusnya, yakni melalui koperasi. Di Swiss ada jaringan bisnis terkenal bernama Co-op (koperasi) dimana seorang anggota hanya boleh punya satu saham. Kooperasi ini yang merk dagangnya Coop, berbisnis layaknya  supermarket di Indonesia. Bukan hanya itu saja, mereka juga masuk bisnis perbankan, distribusi minyak, asuransi dan lain – lain. Wajar ketika raja hypermarket Carrefour dari Prancis mencoba masuk pasar Swiss, mereka melawan dan raja retail dari Prancis itu kalah total. Sekarang tidak ada satu pun retail asing di Swiss, kalau pun ada sangat kecil seperti jaringan Aldi dari Jerman.

Mengapa produk pertanian Swiss bisa jadi raja di rumah sendiri? Pertama karena kebijaksanaan pemerintah yang melindungi pertanian domestic, kedua  adanya subsidi dalam bidang pertanian, ketiga juga sikap konsumen Swiss sendiri yang cenderung memilih produk domestic meski harganya sedikit lebih mahal. Contoh telur dari Spanyol atau Italia, bisa 50 cent lebih murah, demikian juga strawberry, apple, wine , anggur dan produk pertanian lainnya.

,, Kami beli produk Swiss karena jelas akan lebih fresh, jarang pakai pestisida jadi lebih sehat dan itu membantu petani sendiri’’ kata Bruno, teman saya.

Memang pola konsumsi orang Swiss berbeda dengan Amerika atau Inggris yang suka berbelanja dengan menstok barang banyak-banyak. Jarang sekali orang Swiss beli telur sampai satu kilo, meskipoun untuk keluarga. Karenanya, di supermarket, dus telur paling banyak berisi 4 buah, bukan satu lusin seperti di Jakarta. Beli pisang hanya dua buah, bukan satu sisir atau  apalagi sampai satu tandan. Artinya, mereka hanya beli barang yang diperlukan untuk satu dua hari saja. Oleh karenanya, hampir semua rumah tangga Swiss, kulkasnya sangat kecil, karena mereka tidak biasa menumpuk dan menstok makanan dalam jumlah besar.

Ciri konsumsi orang Swiss lainnya ialah mereka akan mengkonsumsi barang yang diproduksinya, melebihi dari bangsa lainnya. Misalnya, Swiss terkenal karena produk coklat olahannya, dan mereka pun konsekwen mengkonsumsinya, sehingga orang Swiss salah satu pengkonsumsi coklat tertinggi di dunia dengan rata rata pertahun menghabiskan sekitar 7,6 kg coklat per orang. Begitu juga karena cheese produk Swiss telah mendunia, mereka mempunyai tingkat konsumsi yang lumayan tinggi yakni 20 kg per orang per tahun, sedang konsumsi milk rata – rata 112,5 liter per orang per tahun. Wajar kalau warga Swiss sehat-sehat dan anak-anaknya juga tidak menderita obesitas. Peternak sapi perah pun hidup makmur, begitu juga pengusaha susu terkait.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun