Ia menguatkan bola matanya. Lalu berkerdip. Seperti bintang yang masih punya cahaya pada ratusan bintang dan jutaan. Sementara bulan diam menunggu.
Aku menuangi poci tanah yang mengerak dengan air panas mendidih seratus derajat. Lalu kututup lubangnya. Juga ujung tangkainya, dengan bungkus teh bermerek dari Pekalongan. Teh keseukaan kami. Saat di Dieng dalam dingin yang menyengat. Nol derajat.
"Ini kita di Pengalengan." Aku menyodorkan cangkir mungil berisi dua potong gula batu. Ini ritual kami. Entah berapa lama. "Kutuangkan ya sebentar lagi. Setelah tehnya memekat."
Lalu kami diam. Lama.
Pelan air kecokelatan mengucur dari poci. Mengguyur gula batu, yang pelan-pelan terkikis. Kuaduk pelan-pelan setelah cangkir mungil bulat terpenuhi teh. Aku tidak mengaduknya. Namun menutup cangkir dengan tutup logam.
"Selamat pagi, R." Kusodorkan cangkir berisi teh cinta. "Ini teh kesukaanmu sekian waktu lalu. Di sini, di tempat ini. Saat kau kembali dari perjalananmu dan kemudian bertemu denganku."
Ia membuka bibir yang mungil. Berkeriput. Lalu menyeruput.
"Nuhun ...."
Sebuah kata meluncur. Entah benar entah tidak. Aku seperti mendengarnya. Dan itu tidak penting. Karena aku masih bisa memberikan secangkir teh pada Minggu pagi, setelah ia pulang dari tanah jauh yang belum pernah kuinjak. ***
Minggu, AP, 2/9/18
Â