Mohon tunggu...
Talitha Dwi Septyorini
Talitha Dwi Septyorini Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Teknologi Informasi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang

Tertarik memahami manusia, data, dan perubahan zaman - seraya terus belajar menulis dengan makna

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Quarter Life Crisis di Mata Warganet: Siapa Bilang Kamu Sendiri?

15 Juni 2025   15:10 Diperbarui: 15 Juni 2025   15:10 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Ilustrasi ini merepresentasikan emosi yang kerap muncul dalam fase Quarter Life Crisis. (Sumber: freepik)

Kamu pernah ngerasa bingung sama hidup, pekerjaan, atau masa depan di usia 20-an? Tenang, kamu nggak sendirian.

Fenomena ini dikenal dengan istilah Quarter Life Crisis (QLC), yaitu fase penuh kebimbangan, overthinking, dan tekanan hidup yang sering muncul di usia 20-30 tahun. Dalam era digital seperti sekarang, banyak orang meluapkan keresahan ini di media sosial, khususnya platform X (dulu Twitter). 

Sebagai mahasiswa yang tertarik dengan isu kesehatan mental dan teknologi, saya tertarik untuk mengetahui lebih jauh: Apa sih sebenernya yang dirasakan masyarakat soal Quarter Life Crisis? Lewat penelitian ini, saya mencoba mengklasifikasikan opini publik dari media sosial menjadi dua kategori: positif dan negatif. Tujuannya? Supaya kita bisa memahami pola pikir masyarakat dan mencari solusi lebih awal. 

Bagaimana Penelitian Ini Dilakukan? 

Alur penelitian analisis sentimen publik terhadap QLC menggunakan metode SVM dan NB. (Dokumentasi Pribadi)
Alur penelitian analisis sentimen publik terhadap QLC menggunakan metode SVM dan NB. (Dokumentasi Pribadi)

Selama November 2024 sampai Januari 2025, saya berhasil mengumpulkan 1120 cuitan publik dari platform X menggunakan teknik web crawling dengan bantuan Python. Data ini lalu diproses dan dibersihkan menggunakan metode Natural Language Processing (NLP). termasuk pembersihan kata, normalisasi, dan stemming (mengubah kata ke bentuk dasarnya).

Selanjutnya, saya memberi label pada setiap cuitan: apakah mengandung sentimen positif atau negatif? Penilaian ini dilakukan berdasarkan kamus kata berkonotasi positif dan negatif (lexicon-based approach).

Algoritma Mana yang Lebih Akurat? 

Untuk menganalisis data, saya membandingkan dua metode populer: 

1. Support Vector Machine (SVM) - dikenal akurat dalam menangani data besar dan kompleks. 

2. Naive Bayes (NB) - sederhana, cepat, dan cukup efektif dalam klasifikasi teks. 

Hasilnya cukup menarik: 

  • SVM unggul, dengan akurasi mencapai 83%, serta skor precision, recall, dan F1-score yang juga tinggi (sekitar 82-83%).
  • Sementara Naive Bayes menghasilkan akurasi 74%,  dengan precision dan recall sedikit lebih rendah. 

Artinya, kalau kamu ingin membangun sistem deteksi sentimen di media sosial, SVM jadi pilihan yang lebih optimal!

Apa Kata Warganet tentang QLC?

Dari total 1119 data yang berhasil diproses: 

  • 651 cuitan bernada negatif, contohnya:

"Part tersedih di quarter life of crisis adalah minta maaf ke ibu karena merasa gagal huhu maaf ya bu" 

Visualisasi word cloud dari tweet berisi sentimen negatif terkait QLC. (Dihasilkan menggunakan Python, dokumentasi pribadi)
Visualisasi word cloud dari tweet berisi sentimen negatif terkait QLC. (Dihasilkan menggunakan Python, dokumentasi pribadi)
  • 468 cuitan bernada positif, contohnya:

"Apa sih Quarter-Life Crisis itu? QLC adalah fase di mana kita merasa stuck antara harapan vs kenyataan hidup. Banyak yang mempertanyakan: Aku ini siapa? Mau jadi apa di masa depan? Kenapa pencapaianku nggak segemilang mereka? Kalian nggak sendirian kok. #QuarterLifeCrisis"

Visualisasi word cloud dari tweet berisi sentimen positif terkait QLC. (Dihasilkan menggunakan Python, dokumentasi pribadi)
Visualisasi word cloud dari tweet berisi sentimen positif terkait QLC. (Dihasilkan menggunakan Python, dokumentasi pribadi)

Beberapa kata yang sering muncul dalam komentar positif adalah: semangat, support, proses, berjuang - sedangkan komentar negatif banyak berisi kata seperti bingung, capek, gagal, dan takut. 

Kenapa ini Penting? 

Fenomena Quarter Life Crisis bukan cuma masalah individu, tapi sudah menjadi isu sosial yang harus diperhatikan. Lewat penelitian ini, saya berharap kita semua - baik akademisi, psikolog, bahkan pemerintah - bisa lebih sigap dalam mendeteksi dan merespon isu kesehatan mental berbasis data digital. 

Bayangkan jika teknologi bisa membantu menganalisis gejala-gejala awal dari masalah psikologis hanya dari postingan media sosial. Bisa jadi ini awal dari pendekatan preventif dalam dunia kesehatan mental modern. 

You are not alone. Kita semua pernah merasa tersesat dan itu tidak apa-apa. (Sumber: freepik)
You are not alone. Kita semua pernah merasa tersesat dan itu tidak apa-apa. (Sumber: freepik)

Buat kamu yang sedang berada di fase Quarter Life Crisis: kamu nggak sendirian. Jangan ragu untuk cari bantuan, bercerita, dan tetap semangat menjalani hidup. Karena pada akhirnya, fase ini bukan akhir dari segalanya- justru awal dari proses menjadi versi terbaik dirimu. 

Kalau kamu tertarik tahu lebih dalam sosal metode SVM, NLP, atau hasil penelitianku secara teknis, boleh banget tinggalkan komentar atau DM, ya! 

#QuarterLifeCrisis #KesehatanMental #AnalisisSentimen #TeknologiUntukManusia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun