Mohon tunggu...
Teuku Azhar Ibrahim
Teuku Azhar Ibrahim Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Program Manager FDP

Lahir di Sigli Aceh, Menyelesaikan study bidang Filsafat di Univ. Al Azhar Cairo. Sempat Menetap Di Melbourne dan berkunjung ke beberapa negara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Es Krim untuk Pengungsi Rohingya

25 Mei 2015   22:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:36 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari Sabtu Direktur Yayasan SM. Amin asal Malaysia atau di negeri asalnya juga dikenal dengan nama Yayasan Hang Tawy mengajak saya dalam ekspedisi mengantar cinta buat pengungsi Rohingya. Bentuk cinta yang dibawa adalah es krim dan roti dalam rangka membahagiakan para pengungsi yang di negeri asal ditindas dan dimusnakan. Di negeri yang tokoh kemanusiaanya mendapatkan nobel perdamaian, walau nobel masih dalam genggam ia diam dengan kekejaman di luar batas kemanusiaan. Es Krim dan Roti sudah dibagikan kepada para jamaah jumat kota banda Aceh dan sekitarnya sejak satu tahun setengah silam.
Ketika para pahlawan kemanusian yang tak dikenal orang menyelamatkan para pengungsi terkatung-katung di tengah laut karena di tolak oleh Negara-negara Asean, para pahlawan dari kalangan nelayan Aceh yang tidak pernah terlibat dalam International / Local conference for Human Wright atau hadir dalam konferensi Asia Afrika yang baru berlangsung Indonesia, bahkan mereka tidak tahu kalau disana ada historic track untuk harga diri bangsa-bangsa Asia Afrika. Para Nelayan itu hanya mengandalkan naluri kemanusian untuk menarik orang-orang yang terkatung-katung di laut lepas. Walau sempat dilarang karena mengurus rakyat sendiri saja susah.
Para Nelayan itu telah menginspirasi pemimpin dunia untuk membincangkan nasib pengungsi Rohingya, termasuk saya seorang rakyat jelata saat mendapat telepon dari Bang Kadri Direktur SM. Amin untuk ikut dalam ekspedisi langsung mengatakan; ya, meskipun berat rasanya menghabiskan berjam-jam dalam kendaraan, tapi kelelahan itu terbayar saat melihat anak-anak pengungsi tersenyum bahkan bercanda ria dengan anak-anak lokal.
Tiga titik pusat penampungan Pengungsi di Aceh Timur dan Aceh Utara kami sapa, bantuan dari berbagai kalangan telah banyak menumpuk di gudang, terutama untuk kebutuhan pokok, baju-baju layak pakai malah telah berlebihan. Sapaan dengan Es Krim dan roti semoga menjadi hiburan bagi mereka. Kepedulian masyarakat setempat sangat massive disamping keterlibatan lembaga pemerintah, PMI, IOM dan aliansi organisasi Islam beserta organisasi mahasiswa yang membuka posko di titik penampungan pengungsi. Tentu saja ada organisasi lain yang tidak sempat saya teliti satu persatu.
Terutama di titik pengungsian Kuala Cangkoy Aceh Utara, antara pengungsi dengan penduduk setempat berbaur sebagaimana layaknya sebuah tempat keramaian. Jumlah orang bertandang berjubel, datang dari kota-kota bahkan dari Banda Aceh. Para petugas kesehatan, polisi, wakil-wakil dari lembaga pemerintah daerah, relawan berbaur kental. Saat kami membagi es krim dan roti, para pengungsi wanita berada dalam gedung yang diizinkan masuk gedung hanya pengunjung wanita saja. Sementara beberapa anak-anak pengungsi membaur dengan anak-anak lokal.
Namun pihak keamanan tetap memantau kegiatan anak-anak. Salah seorang ibu sambil menggendong anaknya menarik salah satu anak pengungsi untuk mengambil es krim dan roti. Ternyata pihak keamanan menaruh curiga dan terjadi dialog; Bu… dalam gendongan itu anak siapa? Tegas si Ibu menjawab sambil membuka seledang yang menutupi kepala anaknya dari terik panas mata hari ; anak saya, yang ini anak pengungsi mau saya kasih es krim. Kepedulian dari perspektif berbeda. Bapak Polisi ingin menjaga jangan sampai ada anak pengungsi diadopsi secara tidak legal, Sang Ibu penduduk setempat melihat anak-anak Rohingya seperti anaknya yang perlu mendapat perhatian walau hanya sekedar memberi tahu bahwa ada pembagian roti dan es krim.
Dan saya membagikan senyum lebar untuk Pak Polisi dan Sang Ibu, karena saya melihat dari perspektif positif dan ingin menyebarkan berita yang positif pula. Ada kala orang berfikir negatif dan menyebarkan berita negatif yang bombastis. Berita negatif bisa jadi judulnya “upaya penculikan anak pengungsi yang digagalkan oleh polisi.” Pembaca yang tidak paham kejadian sesungguhnya akan berbawa dalam cara pandang negatif atau buruk sangka
Kalau ada pihak mengatakan timbul kecemburuan penduduk setempat karena banyak sekali bantuan yang mengalir untuk pengungsi. Menurut saya pernyataan itu sangat berlebihan, realita di lapangan tidak seperti itu. Ketika pembagian es krim dan roti dimulai, para relawan dan pihak-pihak terlibat dalam pengkhitmatan pengungsi tidak berfikir mereka akan dapat bagian. Walau ini hanya sebuah sampel kecil, namun cukup mengwakili motivasi dari mereka yang terlibat untuk membantu para pengungsi. Di lapangan, semua orang berfikir untuk memberi bukan untuk mengambil, tidak berlebihan kalau diumpamakan seperti kaum Muhajirin dan Anshar walau tidak sampai ke tingkat itu.
Memang di sana ada dua kelompak pengungsi; asal Bangladesh yang motifnya faktor ekonomi dan Asal Myanmar sebagai kelompok korban terorisme atas nama agama yang dikenal sebagai Rohingya. Kelompok Rohingya perlu perhatian khusus dan karena merekalah penampungan pengungsi itu ada. Kepada penduduk setempat saya tanya; Bapak/Ibu keberatan tidak kalau mereka tinggal permanen di sini? Rata-rata menjawab; untuk pengunsi Rohingya tidak ada masalah karena mereka tertindas di negeri sendiri. Banyak yang berkehendak untuk mengadopsi anak-anak mereka. Dari segi wajah, kulit, dan agama hampir tidak ada yang memisahkan antara Rohingya dengan orang Aceh, hanya bahasa saja yang menjadi pembatas komunikasi mereka.
Ada beberapa dari pengungsi Rohingya bisa berbahasa Arab walau terbata-bata, dan ternyata mereka adalah guru Agama Islam di Myanmar, dari merekalah saya berhasil mengorek beberapa informasi tentang pengalaman di negeri Myanmar dan bagaimana bisa tercampur dengan para pencari kerja asal Bangladesh yang juga sama-sama terkatung-katung di laut lepas.
Salah satu pengungsi Rohingya bernama Hafiz Muhammad Yunus, ia hafal tiga puluh juz Al Quran, mengaku sebagai guru agama Islam dan Imam di bumi kelahirannya, bahkan pada bulan Ramadhan diundang ke India untuk menjadi Imam Taraweh. Tentu saja saya tidak menelan mentah-mentah pengakuanya. Maka saya uji dengan membaca beberapa ayat Al Quran lalu menyeruh Hafiz untuk menyempurnakan, sebagaimana dulu saya dites Al Quran saat belajar di Al Azhar. Ternyata ia bisa melanjutkan dengan bacaan yang bagus sesuai aturan standar, juga irama yang biasa dipakai dalam dunia Qiraah. Tidak ada irama lokal karena quran memang universal.
Kemudian saya panggil penduduk setempat yang banyak sedang berkunjung di lokasi pengungsian, saya minta Hafiz untuk membaca surah Al A’la, semua mendengar dengan cermat karena bacaannya memang bagus dan kebanyakan orang pun hafal surah tersebut walau sedikit panjang. Kemudian saya bertanya para pengunjung rata-rata ibu dan bapak beserta anak-anak mereka. “bagaimana kalau dia menjadi penduduk tetap di Aceh. “ serempak mereka menjawab “bagus bisa jadi guru ngaji buat anak-anak kita” selanjutnya terjadilah dialog dan saya menjadi penerjemah buat mereka. Biasanya saya punya tarif sebagai penerjemah tapi buat pengungsi Rohingya gratis.
Demikian juga Muhammad Khairul Basyar di lokasi pengungsian Kuala Langsa, ia guru agama Islam di negerinya, hafal Quran tiga puluh juz tapi tidak selancar Hafiz Muhammad Yunus. Namun hal berkesan dari pengakuan Khairul Basyar; saya sebagai pengungsi kalau boleh tinggal sampai mati di Aceh, saya tidak mau ke Australia, Amerika, Eropa atau tempat-tempat lain yang biasa dijadikan tujuan pelarian pengungsi. Saya hanya bisa berdoa untuk terpenuhi keinginannya, keputusan ada di tangan para pemimpin negeri dan hukum Negara, tentunya kehendak Allah di atas segalanya.
Untuk sementara kebutuhan pangan sudah terpenuhi sambil terus meningkatkan pemenuhan kebutuhan asasi manusia, maka perlu direncanakan dengan baik pendidik untuk anak-anak mereka dan itu termasuk hak asasi manusia yang sepatutnya dimiliki oleh semua individu. Untuk itu perlu kerjasama terus menerus segala pihak agar mereka bisa hidup layak dimanapun akhir dari pertualangan mencari kedamaian. Kalau mereka bangkit pada suatu saat untuk melawan mungkin akan dilebel sebagai teroris, Maka penuhilah dengan cinta buat mereka walau lewat sebatang es krim dan sepotong roti. By teuku azhar ibrahim


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun